Haruskah Joachim Loew Diganti?

28 Juni 2018 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Haruskah Joachim Loew diganti? (Foto: Reuters/Thilo Schmuelgen)
zoom-in-whitePerbesar
Haruskah Joachim Loew diganti? (Foto: Reuters/Thilo Schmuelgen)
ADVERTISEMENT
scha·den·freu·de
/ˈSHädənˌfroidə/
noun
pleasure derived by someone from another person's misfortune.
ADVERTISEMENT
***
Ada hal-hal yang, meskipun sudah diusahakan sedemikian rupa, tetap tidak akan pernah terwujud. Menggantang asap, misalnya, atau menegakkan benang basah. Atau, mengharapkan Jerman untuk berjaya di tanah Rusia.
Sudah dua kali Jerman mencoba untuk menaklukkan Fatherland. Sekali pada musim dingin dan sekali pada musim panas. Dua-duanya berakhir nahas. Dua-duanya berujung pada rasa malu berskala nasional. Dua-duanya bermuara pada schadenfreude yang, ironisnya, merupakan istilah dari bahasa Jerman sendiri.
Melihat Jerman celaka memang menyenangkan. Ada semacam kesepakatan yang membuat mereka selalu terlihat superior. Teknologi yang sulit ditandingi, orang-orang yang kompeten, dan duit yang tak berhenti mengalir. Tiga hal itulah yang jadi citra Jerman di bidang apa pun, termasuk sepak bola.
Empat tahun silam, dengan modal seperti itu, Jerman sukses keluar sebagai pemenang dan tak ada dahi yang dikernyitkan karenanya. Wajar saja jika mereka jadi yang terdepan. Maka, ketika kini mereka tersungkur, pesta pora pun digelar seantero dunia. Biar mampus, kata orang.
ADVERTISEMENT
Dan memang, Jerman kini sudah mampus. Joachim Loew, pelatih Die Mannschaft yang sebelumnya seperti tak punya cela itu, sampai kehabisan kata-kata untuk memberi pleidoi
Di hadapan para kuli tinta, Loew memilih untuk mengekspos dirinya habis-habisan. Dia sadar bahwa orang-orang yang duduk di depannya itu tak ubahnya sekawanan hiu yang tengah mencium anyir darah. Maka, melawan pun tak dijadikannya pilihan. Laiknya seorang defeatist kronis, Loew berujar, "Kami memang tidak pantas menjadi juara. Jangankan juara, lolos ke 16 besar saja kami tidak layak."
Loew benar. Jerman memang tidak pantas untuk lolos. Ada tiga skirmish yang harus mereka hadapi di Rusia. Dari tiga pertarungan kecil itu, hanya satu yang berhasil mereka menangi. Itu pun mereka raih dengan tubuh bersimbah darah dan lebam di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Meksiko, Jerman seperti petinju-petinju naif yang mencoba untuk menganvaskan Muhammad Ali. Mereka memukul dan terus memukul, tetapi tidak pernah kena karena Meksiko selalu berhasil menghindar dengan bertahan di kedalaman; persis Ali yang doyan sekali bertahan di tali ring itu. Lalu, di saat Jerman lengah dan kehabisan akal, Meksiko menyengat mereka lewat aksi cantik Hirving Lozano.
Pada pertarungan kedua melawan Swedia, Jerman hampir saja mengalami apa yang mereka derita kala bersua Meksiko. Beruntung, mereka punya pemain sekelas Marco Reus dan Toni Kroos yang mampu menciptakan gol praktis dari ketiadaan. Secara tim, Jerman sama sekali belum impresif, tetapi kemampuan individual Reus dan Kroos itu memberi mereka harapan. Toh, selama ini mereka memang dikenal sebagai tim yang suka telat panas di turnamen.
ADVERTISEMENT
Kroos saat mencetak gol ke gawang Swedia. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
Kroos saat mencetak gol ke gawang Swedia. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
Semestinya, Jerman sudah mulai panas pada laga ketiga. Terlebih, lawan mereka cuma Korea Selatan yang sama sekali belum punya koleksi poin. Bagi Jerman, ini seharusnya jadi titik balik untuk mendorong mereka ke tempat yang seharusnya mereka tempati. Namun, kenyataannya laga ini justru jadi titik tempat mereka diharuskan untuk balik kanan.
Ya, Jerman tidak pantas lolos. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dari sini? Haruskah Loew ditumbalkan seperti ketika Adolf Hitler menumbalkan Walther von Brauchitsch pascakegagalan di Rusia dulu?
Perlu diingat bahwa Loew adalah salah satu pelatih Jerman tersukses. Dia sudah menangani Tim Nasional selama lebih dari satu dekade dan di bawah kendalinya, Jerman seperti selalu membaik dari turnamen ke turnamen. Puncaknya, tentu saja, ketika mereka menjadi juara dunia 2014 lalu dan saat memenangi Piala Konfederasi 2017 dengan menggunakan skuat pelapis. Artinya, Loew sudah memberi bukti nyata.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu pula dicatat bahwa Loew punya beberapa dosa di Piala Dunia 2018 ini. Dosa-dosa inilah yang akhirnya membawanya pada hasil terburuk Jerman di Piala Dunia sejak 1938. Bagi negara sepak bola seperti Jerman, negara nomor dua yang paling sering masuk final Piala Dunia setelah Brasil, ini adalah aib. Terlepas dari prestasi terdahulunya, Loew juga layak ditendang seperti halnya Vicente del Bosque diminta angkat kaki oleh Timnas Spanyol pasca-Piala Dunia 2014.
Pertanyaannya, apakah dosa Loew memang lebih besar daripada jasanya sehingga dia layak untuk dipecat?
Hmm, tidak juga. Saat ini, Loew masih punya kontrak dengan DFB sampai 2022 dan sebenarnya dia masih cukup layak untuk dipertahankan. Pertimbangannya adalah keberhasilan Loew di Piala Konfederasi itu. Pada ajang itu, Loew menunjukkan keberanian untuk menggunakan pemain-pemain yang sebelumnya jarang diberi kesempatan. Ke depannya, inilah yang harus dilakukan pelatih 58 tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
Jerman juara Piala Konfederasi. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Jerman juara Piala Konfederasi. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Sebetulnya, di Piala Dunia 2018 ini Loew sudah menunjukkan keberanian itu dengan lebih memilih Julian Brandt ketimbang Leroy Sane. Ketika dipercaya turun, Brandt selalu bermain apik. Yang jadi masalah, keberanian Loew itu tidak cukup besar alias tanggung. Pasalnya, Brandt sendiri justru tidak pernah dimainkan sejak awal olehnya.
Apa yang terjadi pada Brandt itu bukan kasus tunggal. Sami Khedira, Mesut Oezil, dan Timo Werner adalah bukti lainnya. Loew seperti merasa berutang pada Khedira dan Oezil atas jasa-jasanya di masa lampau sehingga dia tidak menghiraukan buruknya performa kedua pemain itu.
Untuk Werner, dia adalah pesepak bola Jerman dengan raihan gol terbanyak di Bundesliga tetapi gaya bermainnya tidak pas dengan cara bermain Timnas. Mario Gomez semestinya lebih cocok jika ditempatkan sebagai titik fokal serangan Jerman karena kebisaannya menahan bola dan mengeksekusi umpan-umpan lambung. Namun, Werner tetap dipilih sebagai penyerang utama karena reputasinya itu tadi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, hal-hal macam inilah yang harus dilepaskan Loew. Keberaniannya dalam mencoret Sane itu juga harus dia terapkan di sektor-sektor lain. Keberaniannya berangkat ke Piala Konfederasi dengan nama-nama baru itulah yang kudu dia replikasi kalau memang dirinya dipertahankan usai Piala Dunia 2018 ini.
Nah, lalu bagaimana seandainya Loew dipecat? Siapa yang kira-kira bakal cocok untuk menggantikannya?
Eks pelatih RB Leipzig, Ralph Hasenhuettl. (Foto: AFP/John MacDougall)
zoom-in-whitePerbesar
Eks pelatih RB Leipzig, Ralph Hasenhuettl. (Foto: AFP/John MacDougall)
Ini juga yang menjadi persoalan mengapa Jerman sebaiknya bertahan dulu dengan Loew. Saat ini, hanya ada satu pelatih Jerman dengan reputasi bagus yang menganggur. Dia adalah Ralph Hasenhuettl, eks pelatih RasenBallsport Leipzig yang angkat kaki pada musim panas ini lantaran gagal mencapai kesepakatan dengan klubnya terkait kontrak.
Hasenhuettl memang belum punya pengalaman yang banyak. Akan tetapi, dia adalah sosok yang sudah membuktikan kapasitasnya sebagai pelatih. Keberhasilan membawa Leipzig lolos ke Liga Champions pada musim debutnya di Bundesliga adalah bukti. Namun, minimnya pengalaman Hasenhuettl dalam menangani nama-nama besar itu bisa jadi problem tersendiri di Timnas Jerman.
ADVERTISEMENT
Selain Hasenhuettl, praktis tak ada pelatih Jerman lain dengan reputasi apik. Kendati begitu, bisa saja DFB melakukan apa yang mereka perbuat dulu ketika mengangkat Loew. Saat itu, mereka memberhentikan Juergen Klinsmann untuk memberi tempat kepada Loew.
Saat ini, Loew punya tiga asisten dalam diri Marcus Sorg, Miroslav Klose, dan Thomas Schneider. Di antara mereka, Sorg-lah yang paling punya banyak pengalaman karena sudah melatih sejak 1999 lalu.
Namun, tak seperti Loew yang sudah pernah mengantarkan Stuttgart berprestasi di medio 1990-an, Sorg sebelumnya hanya berkutat di klub-klub semenjana. Ketika dipercaya menangani Freiburg saja dia dipecat karena buruknya prestasi. Inilah risiko yang dihadapi DFB jika ingin menggantikan Loew dengan salah satu dari asistennya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, setidaknya sampai Euro 2020 nanti, Jerman sejatinya tak punya opsi lain kecuali bertahan dengan Loew. Hanya, Loew sendiri juga harus membenahi armadanya. Dia harus berani mencoret nama-nama yang sekiranya sudah tidak punya rasa lapar lagi dan kualitasnya sudah menurun. Dia harus berani mengulang segalanya dari nol agar kehormatan Jerman tak lagi diinjak-injak seperti di Rusia kali ini.