Hikayat 'Si Kurus' Jatuh Bangun di Sepak Bola Indonesia

12 September 2018 16:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kurniawan Dwi Yulianto  (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Kurniawan Dwi Yulianto (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Di hadapan 200 pesepak bola muda yang mengikuti seleksi Diklat Salatiga, kepercayaan diri Kurniawan Dwi Yulianto memudar. Padahal, pria kelahiran Magelang itu dikarunia kemampuan olah bola yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Kurniawan sadar betul bahwa saat itu ia tengah dalam situasi pelik. Diklat Salatiga cuma membutuhkan delapan pemain terbaik plus dua penjaga gawang. Ia tak begitu yakin bakal terpilih. Akan tetapi, tim pelatih Diklat Salatiga punya keyakinan bahwa Kurniawan merupakan pemain muda bertalenta.
Benar saja, di Diklat Salatiga, kualitas Kurniawan menyoal mengolah si kulit bundar melesat. Jika tak demikian, Kurniawan tak mungkin diangkut oleh Diklat Ragunan dan terpilih menjadi anggota tim muda Sampdoria Primavera --proyek kerja sama PSSI dan Italia-- pada 1993 ketika usianya masih menginjak 17 tahun.
Kurniawan sendiri tak membutuhkan waktu yang panjang untuk membuktikan diri. Di Turnamen Mantova 1994, Kurniawan tahu apa yang mesti ia lakukan sebagai striker agar banyak pihak menaruh minat: mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Dengan kelincahan dan kecerdikan memanfaatkan ruang-ruang di pertahanan lawan, Kurniawan dapat membidik gawang lawan sekaligus menyandang predikat sebagai pemain terbaik di akhir turnamen. Pelatih Sampdoria saat itu, Sven-Goran Eriksson, tak ragu memberikan puja-puji.
Namun, seperti yang diucapkan pelatih Levante, Joaquin Caparros, dalam sepak bola nasib seseorang bisa berubah dalam tempo lima menit. Apa yang diucapkan Caparros memang benar. Kurniawan pernah berada dalam situasi tersebut. Puja-puji yang didapatkan nyatanya tak lantas membuat nasib baik menghampiri.
Kesempatan untuk mempertontonkan kebolehan di atas lapangan tak didapatkan Kurniawan. Ia memang sempat membelalakkan mata banyak pihak kala Sampdoria memainkan uji tanding lawan Sestri Levante. Saat itu, Kurniawan yang masih berusia 18 tahun mampu melesakkan gol spektakuler dari jarak 40 meter. Akan tetapi, itu tak bisa jadi jaminan.
ADVERTISEMENT
Belum laga permasalahan Kurniawan dengan PSSI yang memaksa ia untuk angkat kaki dari Sampdoria dan mencari destinasi baru. Sebelum memutuskan untuk balik ke Tanah Air, klub Swiss, FC Luzern, merekrut Kurniawan pada musim 1994-1995.
Di FC Luzern, nasib Kurniawan tak lantas membaik. Kisah buruk bersama Sampdoria terulang yakni tak mendapatkan menit bermain yang cukup. Selama satu musim, ia cuma memainkan 12 laga. Kendati begitu, ada satu gol yang terus berkelidan di benak Kurniawan. Gol tersebut terjadi ketika FC Luzern bersua FC Basel.
Dalam laga yang berlangsung pada 9 April 1995 itu, pelatih Jean-Paul Brigger memasukkan Kurniawan dalam starting XI. Kurniawan sadar bahwa ini adalah kesempatan langka yang mungkin saja tak akan ia dapatkan pada laga-laga selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Maka itu, satu-satunya hal yang mesti Kurniawan lakukan adalah bermain dengan sebaik-baiknya. Hebatnya, ia berhasil mencatatkan nama di papan skor pada menit ke-23 lewat sundulan. Sejak itu, Kurniawan menasbihkan diri sebagai pespak bola Indonesia pertama yang mencetak gol di kompetisi resmi Eropa.
Lagi-lagi, nasib berkata lain dan tak memihak kepada Kurniawan. Musim selanjutnya, ia kesulitan mendapat tempat setelah aturan pemain non Eropa diberlakukan. Kurniawan mengambil keputusan untuk kembali ke Indonesia dan bermain untuk Pelita Jaya.
Di Indonesia, Kurniawan adalah bintang. Begitulah pecinta sepak bola nasional memandang Kurniawan. Bahkan, berseliweran kabar yang mengatakan bahwa Kurniawan merupakan pemain dengan gaji termahal di Liga Indonesia ketika itu. Dengan insting tajamnya di depan gawang, Kurniawan layak mendapatkan itu.
ADVERTISEMENT
Namun, bersama Pelita Jaya, performa Kurniawan tak bisa dikatakan spesial kendati tak bisa dikatakan jelek-jelek amat. Selama empat musim berseragam Pelita Jaya, Kurniawan merangkum 18 gol dari 36 laga. Catatan itu membikin PSM Makassar kepincut untuk memakai jasanya.
Ada perbedaan besar antara sosok Kurniawan di Pelita Jaya dan PSM. Jika di Pelita Jaya ia masih mendapatkan puja-puji, tak demikian ketika bersama PSM. Di PSM, Kurniawan mendapatkan caci maki, bahkan ketika ia berada di atas lapangan.
Kisah bermula saat rekan setimnya, Kuncoro, tertangkap dilarikan ke Rumah Sakit karena mengonsumsi obat-obatan terlarang. Ketika itu, Kuncoro mengaku bahwa ia tak sendirian. Ia mengatakan bahwa pemain Persebaya Surabaya, Mursyid Efendi, terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang.
ADVERTISEMENT
Mursyid tak sendirian ketika berhadapan dengan hukuman. Ia mengaku bahwa Kurniawan pun ikut terlibat. Kendati tak terbukti terlibat dalam penggunaan narkoba oleh PSSI di bawah rezim Agum Gumelar, Kurniawan tetap mengaku bahwa ia akrab dengan dunia malam dan obat-obatan terlarang.
Di tengah caci maki, Kurniawan berupaya menutup telinga. Ia tahu bahwa prioritasnya bukan mendengarkan hinaan pendukung PSM. Yang mesti ia lakukan saat itu adalah membuktikan diri bahwa ia masih layak menjadi andalan.
Pada final Liga Indonesia musim 1999/2000, Kurniawan begitu keras mencoba melucuti predikat buruk yang melekat pada dirinya. Insting tajamnya di depan gawang kembali hidup. Ia mampu melesakkan sepasang gol ke gawang PKT Bontang dan mengantarkan PSM merengkuh titel juara. Ya, PSM menutup laga final dengan kemenangan 3-2.
ADVERTISEMENT
Sejak itu hingga kini, sudah ada 12 klub yang menghiasi curriculum vitae-nya. PSPS Pekanbaru, Persebaya, Persija Jakarta, PSS Sleman, Persitara Jakarta Utara, sampai klub Malaysia, Serawak FA, pernah memakai jasa Kurniawan. Selama 19 tahun menjadi pesepak bola, Kurniawan merangkum 172 gol untuk klub-klub yang dibelanya.
Bersama Timnas Indonesia, ketajaman Kurniawan begitu diandalkan. Kendati tak pernah memasukkan trofi ke dalam kabin, Kurniawan sempat menyandang status sebagai pencetak gol terbanyak bagi 'Garuda' dengan 33 gol --sebelum Bambang Pamungkas menyalip dengan 38 gol.
Meski statusnya direbut Bepe --demikian Bambang disapa, Kurniawan tetap yang terbaik menyoal ketajaman. Itu bisa dilihat dari rasio 0,56 gol per laga yang dicatatkan Kurniawan selama memperkuat Timnas. Sedangkan, Bepe cuma mencatatkan rasio 0,44 gol per laga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di Piala AFF 2004, Kurniawan menjadi pahlawan. Status tersebut berawal ketika Timnas memainkan babak semifinal leg kedua. Berlaga di Stadion Nasional Bukit Jalil, Timnas lebih dulu tertinggal 0-1 sampai babak pertama usai. Lebih nahas lagi lantaran pada leg pertama Timnas keok 1-2.
Artinya, Timnas mesti mencetak tiga gol demi melaju ke babak final. Selepas jeda, Kurniawan dimasukkan oleh pelatih Timnas, Peter White. Kurniawan begitu tenang saat memasuki lapangan. Tak ada raut tegang yang terpancar dari pemain bernomor punggung 10 itu.
Beberapa menit kemudian, Kurniawan berhasil mencetak gol penyeimbang. Gol tersebut tercipta berkat kejelian Kurniawan dalam memanfaatkan lubang di pertahanan Malaysia. Tak ada perayaan berlebihan, Kurniawan berlari untuk mengambil bola dan sesegera mungkin menyimpan di tengah lapangan. Tujuannya, agar pertandingan kembali berlangsung.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Kurniawan sukses memantik semangat juang rekan-rekannya. Charis Yulianto, Ilham Jaya Kusuma, dan Boaz Solossa, panas. Ketiga pemain itu mencatatkan nama di papan skor, Timnas akhirnya menang 4-1 dan berhak melaju ke partai puncak.
Sayang, di babak final, Indonesia harus mengakui keunggulan Singapura dengan agregat 2-5. Kendati begitu, Piala AFF 2004 merupakan ajang yang amat spesial bagi Kurniawan. Selain menasbihkan diri sebagai legenda sepak bola Indonesia.
Kurniawan di konferensi pers jelang laga vs Mauritius. (Foto: Alan Kusuma/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kurniawan di konferensi pers jelang laga vs Mauritius. (Foto: Alan Kusuma/kumparan)
***
Pada 2014, Kurniawan mengambil ketetapan untuk gantung sepatu dan mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola. Setelah itu, ia memutuskan untuk tinggal di Malaysia dan berbisnis. Meski demikian, Kurniawan tak pernah meninggalkan sepak bola Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan, Kurniawan menghiasi layar kaca sebagai pengamat sepak bola. Ia pun menetapkan masa depan di dunia kepelatihan dan mengambil lisensi kepelatihan.
ADVERTISEMENT
Upaya Kurniawan akhirnya membuahkan hasil. Pada 11 September 2018, ia menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia. Pelatih kepala, Danurwindo, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang membuat ia memilih Kurniawan sebagai asisten: Salah satunya adalah kualitas.
Dalam uji tanding melawan Mauritius di Stadion Wibawa Mukti, Kurniawan mampu mengantarkan Timnas meraih kemenangan meski ia berada di bangku pemain. Keberhasilan itu membikin banyak pihak menaruh harapan agar 'Si Kurus' bisa mengantarkan Timnas merengkuh Piala AFF 2018. Setidaknya sebagai asisten pelatih.