'I Think, therefore I am' ala Solskjaer

10 April 2019 19:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Solskjaer saat mendampingi United hadapi PSG. Foto: AFP/Franck Fife
zoom-in-whitePerbesar
Solskjaer saat mendampingi United hadapi PSG. Foto: AFP/Franck Fife
ADVERTISEMENT
“Pelatih. Ole selalu berpikir sebagai pelatih,” seperti itu Gary Neville bicara tentang Ole Gunnar Solskjaer.
ADVERTISEMENT
Neville tidak perlu bicara panjang-lebar untuk meyakinkan orang-orang bahwa ia mengenal Solskjaer. Semua orang hanya perlu memutar ulang memori tentang sepak terjang keduanya saat masih berstatus sebagai pemain Manchester United.
Perjalanan Solskjaer sebagai pesepak bola tidak seperti Neville yang menghabiskan seluruh karier seniornya sebagai penggawa United. Neville mengabdi kepada United sejak 1992 hingga 2011.
Ia menjadi salah satu pemain yang tercatat sebagai Class of 92 yang termasyhur itu. Sementara, Solskjaer baru tiba di United pada 1996 setelah menghabiskan enam tahun bersama dua klub Norwegia, Clausenengen dan Molde.
Namun, bukan berarti keduanya tidak punya kesamaan. Baik Solskjaer maupun Neville, sama-sama menutup karier sebagai pesepak bola profesional di United. Jika Solskjaer gantung sepatu pada 2007, Neville melakoni laga profesional terakhirnya pada 2011.
ADVERTISEMENT
Gary Neville dan Ole Gunnar Solskjaer kala membela Manchester United pada 2002. Foto: ADRIAN DENNIS / AFP
Yang menjadi pembeda berikutnya adalah jalan yang ditempuh keduanya usai gantung sepatu. Keduanya memang masih bergelut dengan taktik, berikrar tetap bersetia dengan sepak bola, enggan berjauh-jauhan dengan lapangan bola.
Neville berjalan dengan langkah yang lebih dandy: tampil di berbagai acara stasiun televisi, membicarakan sepak bola, mengomentari permainan tim-tim manapun--termasuk United. Singkatnya, Neville menjadi selebriti sepak bola.
Sementara, Solskjaer mengambil jalur yang lebih konservatif. Bertungkus-lumus di lapangan bola, meniti karier sebagai pelatih dari jenjang yang tak elite. Pada 2008 hingga 2011, Solskjaer bertugas sebagai manajer Manchester United Reserves. Keputusan yang apa boleh bikin, membuatnya luput dari sorotan.
Namun dalam tulisannya di Sky Sports yang berjudul How Ole Gunnar Solskjaer Poured His Life into Coaching, Neville berkisah bahwa di waktu-waktu itu pun, Solskjaer mengambil kesempatan untuk berinteraksi sebagai pelatih dengan pemain-pemain tim utama. Tentu ia tidak bisa seenaknya ngegas masuk ke lapangan dan mengambil alih tugas Sir Alex Ferguson.
ADVERTISEMENT
Solskjaer dan Ferguson dalam sebuah konferensi pers. Foto: Reuters / Carl Recine
Yang dilakukannya sederhana, malah terkesan seperti orang kurang kerjaan. Solskjaer melatih beberapa pemain yang cedera dan ada dalam tahap akhir pemulihan, yang menu latihannya mesti dibedakan dengan mereka yang segar bugar.
Mengapa Solskjaer mau bersusah-payah melakukan apa yang sebenarnya bukan tugasnya? Jawaban Neville sederhana: ‘Ia selalu ingin bicara’. Dan kalau boleh menambahkan jawaban Neville, Solskjaer selalu ingin bicara sebagai pelatih.
***
Jauh sebelum Solskjaer lahir, ratusan tahun sebelum ia menjejakkan kaki ke atas lapangan bola, dunia berkenalan dengan ‘cogito, ergo sum’.
Kalimat itu bila diterjemahkan ke Bahasa Inggris akan menjadi ‘I think, therefore I am’. Lantas, bila diubah ke dalam Bahasa Indonesia secara plastis akan menjadi “Saya berpikir, maka saya ada.”
ADVERTISEMENT
Alexis Sanchez dan Ole Gunnar Solskjaer. Foto: REUTERS/Hannah McKay
Kalimat tadi merupakan muara dari pemikiran filsuf Prancis, Rene Descartes. Secara sederhana, Descartes ingin bicara soal pemujaannya pada pikiran.
Alur logika Descartes sebenarnya rumit, tapi bukan berarti tidak bisa disederhanakan. Baginya, fungsi akal adalah untuk berpikir dan menggunakan akal untuk berpikir merupakan ciri manusia yang paling saklek. Maka, manusia menjadi ada ketika mereka menggunakan akal untuk berpikir.
Barangkali tak satu pun dari kita yang mengetahui dengan pasti apakah Solskjaer penggemar ide Descartes. Ya, kecuali mereka yang pernah bicara dengan intim dengan pelatih berkebangsaan Norwegia ini.
Namun demikian, Solskjaer membuktikan bahwa untuk menjadi pelatih Manchester United, ia harus berpikir sebagai pelatih Manchester United bahkan sebelum ia menjadi pelatih Manchester United.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain Manchester United merayakan gol Andreas Pereira. Foto: REUTERS/Phil Noble
Barangkali itu pulalah yang membuat Solskjaer rela-rela saja menambah pekerjaannya saat masih bertugas sebagai pelatih United Reserves. Siapa pun yang berprofesi sebagai pelatih sepak bola, pasti ingin menjabat sebagai pelatih tim utama. Terlebih, tim utama dari sebuah klub yang begitu dicintai dan dipujanya.
Maka, anggaplah keputusan Solskjaer untuk mengerjakan ‘remeh-temeh’ tadi sebagai latihan untuk membuatnya terbiasa berpikir sebagai pelatih tim utama United. Semuanya disempurnakan dengan kegagalan Solskjaer saat melatih Cardiff. Toh, kegagalan adalah bagian dari realitas.
Pengalaman pahit memang tak sedap buat dikecap. Tapi, hidup kan tak tentang yang manis-manis melulu. Lantas, bila waktunya tiba, Solskjaer sudah siap untuk menjalani tugasnya sebagai pelatih United apa pun musimnya--entah itu musim baik, entah itu musim buruk.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, Solskjaer datang sebagai pelatih interim United saat kondisi tidak baik-baik saja. Setelah ditinggal Sir Alex, United limbung. Pelatih datang silih berganti, pemecatan menjadi kabar yang tak lagi asing bagi publik Old Trafford.
United bukannya tak bisa merengkuh gelar juara sama sekali. Tapi United yang sekarang berbeda dengan United era Sir Alex--era yang dipercayai sebagai periode kejayaan.
Banner untuk Sir Alex Ferguson. Foto: Reuters / Jason Cairnduff
Tahun-tahun bersama Sir Alex adalah periode yang menyenangkan karena didominasi dengan keriaan. Para pencinta United akan menjalani musim demi musim dengan perasaan aman. Tak peduli sehebat apa pun perkembangan tim-tim lawan, mereka akan menghadapi musim dengan pikiran, “Ah, tenang saja. Di akhir musim nanti kami jadi juara.”
ADVERTISEMENT
Pemikiran seperti itu tidak ujug-ujug muncul. Perjalanannya panjang. Yang jelas, pemikiran macam tadi bisa dimiliki para suporter United karena di sepanjang pengabdiannya, Sir Alex tak pernah lelah mentransfer pemikirannya bahwa United adalah klub besar dan hebat.
Cara mentransfernya seperti apa? Tentu saja lewat penampilan, kemenangan demi kemenangan, dan rangkaian gelar juara. Pemain pun tak lepas dari upaya itu. Cerita-cerita soal hairdryer treatment itu menjadi salah satu bukti.
Pemikiran seperti itulah yang hilang setelah Sir Alex angkat kaki dari pinggir lapangan. Mereka yang menjadi penerus Sir Alex memang bukan orang goblok. Coba, kurang cerdas apa manusia bernama Jose Mourinho itu?
Ingatlah kawan-kawan, kuantitas bacotan tidak selamanya berbanding lurus dengan level kegoblokan. Camkan.
ADVERTISEMENT
- Foto: Alex Livesey/Getty Images
Yang menjadi persoalan, orang-orang ini tidak pernah menjalani musim dengan otak yang dipenuhi dengan pemikiran Sir Alex. Singkat kata, mereka tidak pernah melatih dengan pemikiran ‘Kami ini United’ versi Sir Alex.
Kabar baiknya, Solskjaer adalah orang yang pernah menjalani musim tak mudah sekaligus sarat kejayaan bersama Sir Alex. United yang dikenal Solskjaer adalah United yang gagah, bukan United yang lunglai walau dihajar kekalahan dan kondisi tak menguntungkan.
Kabar baik keduanya, Solskjaer juga giat mentransfer pemikiran itu kepada para pemainnya. Caranya juga tak kalah sederhana: ngobrol.
Sejak Solskjaer menjabat sebagai pelatih--baik interim maupun tetap--pemain-pemain United terbiasa mengobrol. Solskjaer rajin benar berbicara secara intimate dengan para pemain. Tujuannya untuk menyuntikkan positivisme.
ADVERTISEMENT
Para pemain Manchester United latihan di Aon Training Complex jelang pertandingan Liga Champions melawan PSG. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Terkesan moralis, sih. Tapi, sejauh ini, hasilnya memang tak menyedihkan. Yang jelas, ada perbedaan yang ditunjukkan saat United bertanding di bawah asuhan Solskjaer dan bukan Solskjaer di era after Sir Alex.
Dari cara bermain pun demikian. Tak sekadar garang, tapi tangguh. Pemain di posisi mana pun, selama tak menimbulkan kekacauan sistem permainan, dipersilakan naik membantu seerangan. Karena lini pertahanan United tidak bisa disebut istimewa, Solskjaer mengakalinya dengan agresivitas dalam menekan lawan saat mereka kehilangan bola.
Sederhananya seperti ini, kalaupun kau payah membendung serangan lawan, maka gunakanlah kemampuanmu untuk mematikan serangan lawan. Tak heran, saat menekan lawan yang memegang bola, lini pertahanan United hanya menyisakan dua atau tiga orang.
ADVERTISEMENT
Entah pembicaraan pribadi macam apa yang dilakukan Solskjaer kepada para pemainnya saat mereka kalah 0-2 dari Paris Saint-Germain di leg pertama babak 16 besar Liga Champions 2018/19.
Para pemain Paris Saint-Germain merayakan gol ke gawang Manchester United. Foto: Phil Noble/Reuters
Yang jelas dalam konferensi pers setelah laga, tak ada omelan Solskjaer yang menuding pemain A buruk, pemain B ya elah... Yang dikatakan Solskjaer, yang berkali-kali disuarakannya di hadapan media adalah, United akan bangkit. Bounce back, comeback, fight back, dan back-back yang lain.
Hasilnya jitu. Mereka melangkah ke babak perempat final usai mengalahkan PSG 3-1 di leg kedua--di kandang lawan pula. Marcus Rashford, anak muda yang acap disebut tak dewasa saat Mourinho melatih itu, mencetak gol penentu dari titik putih.
ADVERTISEMENT
Lihat pula baik-baik ekspresi David de Gea yang berdiri di ujung gawang sesaat setelah Rashford menundukkan Gianluigi Buffon yang pengalamannya selangit mesra itu. Dilihat dari posisinya, ia memang terpisah jauh dari kawan-kawannya yang memenuhi area dekat kotak penalti.
Tapi, begitu junior dan kawannya itu merayakan gol di pengujung laga, De Gea menjadi satu. Ia berteriak garang, melompat, mengacungkan tinju ke udara di ujung lapangan, dari depan gawang yang menjadi area hidup dan mati untuknya.
Pemain-pemain Manchester United merayakan kelolosan mereka ke perempat final Liga Champions 2018/19. Foto: REUTERS/Benoit Tessier
Satu-dua bulan sebelum United menghajar balik PSG, Rashford membagikan cerita ini lewat cuitannya di akun Instagram. Unggahannya itu memperlihatkan foto Solskjaer yang berbincang dengan Rashford, Jesse Lingard, dan Anthony Martial di depan gawang saat sesi latihan di Dubai.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang membuat Solskjaer mengajak ketiganya bicara. Mungkin karena ketiganya acap digempur kritik oleh pelatih terdahulu.
Hanya mereka berempat yang tahu pasti apa yang jadi topik pembicaraan waktu itu. Tebak-tebak saja sendiri.
Mungkin Solskjaer berkata, “Bos, hanya karena kalian pernah melewati waktu-waktu buruk, bukan berarti kalian jadi pecundang seumur hidup” atau “Coba cek Wikipedia apa yang saya lakukan pada 26 Mei 1999. Bangku cadangan tak selalu tentang permainan buruk.”
ADVERTISEMENT
Barangkali lewat pembicaraan-pembicaraan pribadi macam itulah, Solskjaer membagi pikiran ‘Kami ini United’. Mungkin yang disampaikan Solskjaer lewat obrolan depan gawang, di tempat-tempat ngopi ataupun bar-bar sudut Kota Manchester adalah, kalaupun United yang ideal itu sekarang belum ada secara fisik, berpikirlah dulu sebagai United yang ideal itu.
ADVERTISEMENT
Dan Solskjaer tak berhenti sampai di situ. Ia mengajak orang-orang di balik layar yang pernah ikut dijejali dengan pemikiran Sir Alex. Kembalinya Mike Phelan, yang dianggap otak taktis di balik kesuksesan Sir Alex dahulu, menjadi salah satu contoh. Ada pula Michael Carrick dan Mark Dempsey yang tak asing dengan era keemasan United.
Pun dengan Nicky Butt yang menjabat sebagai direktur akademi. Mungkin jika kita menggali cerita Paul Brand, si analis tim utama, juga akan ditemukan kisahnya yang beririsan dengan era kejayaan United. Siapa tahu sebagai sesama orang Skotlandia ia pernah ngebir-ngebir dengan Sir Alex sambil bicara semalam suntuk.
***
Perjalanan Solskjaer sebagai pelatih United baru seumur jagung. Terlalu dini untuk melabelinya sebagai pelatih bertangan dingin, kelewat tak masuk akal untuk mengharapkannya menjadi Sir Alex yang lain, dan terlampau naif untuk mengecapnya sebagai juruselamat United.
ADVERTISEMENT
Tapi, jika bersikap adil--yang sulitnya setengah mati-- itu saja bisa dilakukan sejak dalam pikiran, mungkin membangun kejayaan juga bisa dilakukan sejak dalam pikiran.