Inter dan Serie A: Aparatus Penebusan Sempurna Alexis Sanchez

4 September 2019 16:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alexis Sanchez, mencari redemption di Inter. Foto: Juan Mabromata/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Alexis Sanchez, mencari redemption di Inter. Foto: Juan Mabromata/AFP
ADVERTISEMENT
Barangkali satu setengah musim ke belakang adalah neraka dalam karier sepak bola Alexis Sanchez. Cuma 5 gol dan 9 assist yang dibuatnya dalam 45 pertandingan di lintas ajang. Ironis, mengingat Sanchez sukses mengemas rata-rata 2,075 gol per laga selama berkarier di Arsenal.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, Sanchez layak untuk melayangkan pembelaan atas buruknya performa ia di Old Trafford. Faktor cedera serta minimnya menit bermain jadi alasan yang cukup logis.
Michael Cox dalam tulisannya di ESPN berpendapat bahwa Sanchez memang tak mendapatkan sokongan yang memadai untuk memainkan peran free-role di United. Argumen Cox masuk akal. Pasalnya, Sanchez mendapatkan sokongan memadai dan ia memainkan peran tersebut dengan sempurna bersama Arsenal.
Namun, Ole Gunnar Solksjaer tak punya banyak waktu untuk bersabar. Buat mereka, Sanchez sendiri yang kesulitan menemukan form. Ketika kesabaran itu habis, manajemen 'Iblis Merah' pun memutuskan untuk melepas Sanchez ke klub Italia, Inter Milan, dengan status pinjaman.
Menukil dari lirik 'Redemption Song' milik Bob Marley, Setelah 'dirampok' oleh bajak laut tua lalu dijual ke kapal dagang yang perlahan karam. So, mampukah Sanchez bangkit dan melakukan penebusan di musim ini?
ADVERTISEMENT
Alexis Sanchez terbaring di lapangan saat Manchester United melawan Reading. Foto: Phil Noble/Reuters
Well, Serie A bukanlah ekosistem yang asing bagi Sanchez. Ia pernah membela Udinese tiga musim, tepatnya pada periode 2008/09 hingga 2010/11.
Oke, "cuma" Udinese, sih. Tapi jangan salah, ia berhasil mengatrol Le Zebrette finis ke peringkat keempat klasemen pada musim pemungkasnya.
Edisi 2010/11 memang jadi momentum Sanchez bersama Udinese. Di bawah arahan Francesco Guidolin, produktivitas Antonio Di Natale cs mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, Udinese mengukir rata-rata 1,4 gol per laga di edisi 2009/10. Sementara di 1,7 gol dibuat mereka semusim setelahnya. Perlu diingat bahwa torehan Udinese itu menjadi yang tertinggi kedua di Serie A --hanya kalah dari Inter Milan.
Tak bisa dimungkiri bahwa Di Natale jadi bintang Udinese di musim itu setelah menyumbang 28 gol dan menyabet gelar Capocannoniere. Dalam perspektif lain, Sanchez adalah komponen penting bagi mereka saat itu.
ADVERTISEMENT
Guidolin intens memakai format dasar tiga bek. Baik itu 3-4-1-2, 3-4-3, 3,5-1-1, dan 3-4-2-1. Paling sering, ya, 3-5-2 dengan menempatkan Sanchez sebagai ujung tombak. Secara posisi, ia memang berada di garis terdepan. Akan tetapi, pada praktiknya, pergerakan Sanchez relatif dinamis alias tak terpaku sebagai striker murni.
Toh, Guidolin memang mengedepankan fluiditas sebagai senjata di lini depan. Di Natale bahkan tak jarang diturunkan di pos gelandang serang, menemani gelandang dinamis macam Goekhan Inler dan Mauricio Isla. Gamblangnya, Sanchez juga diplot sebagai kreator serangan selain menjadi algojo peluang di Udinese. Torehan 12 gol dan 6 assist di musim 2010/11 jadi buktinya.
Alexis Sanchez dan Ole Gunnar Solskjaer. Foto: REUTERS/Hannah McKay
Potensi Sanchez itu tercium oleh Pep Guardiola. Ia kemudian digaet Barcelona dan terpilih jadi tandem Lionel Messi pada musim 2011/12.
ADVERTISEMENT
Sanchez kala itu berbagi tempat dengan Cesc Fabregas dan Pedro Rodriguez dalam skema 4-3-3 dan 3-4-3. Total 12 gol dibuatnya pada musim perdananya di La Liga --terbanyak kedua setelah Messi.
Ingat, bukan perkara mudah untuk bersinergi dengan Messi di barisan terdepan Blaugrana. Selain ketajaman, dibutuhkan juga visi, olah bola, penempatan posisi, serta kemampuan dalam penciptaan peluang yang oke. Bisa dibilang cuma David Villa, Suarez, dan Neymar yang jadi tandem tersukses La Pulga di Camp Nou.
Boleh jadi Sanchez layak untuk diselipkan di sana. Torehan 19 gol dan 10 assist di La Liga edisi 2013/14 bisa menjadi acuan --betapa kemahirannya dalam mengkreasi sekaligus mengkonversi peluang. Oh, ya, jangan lupa bahwa Sanchez pernah mengumpulkan 24 gol dan 10 assist untuk Arsenal di Premier League 2016/17.
ADVERTISEMENT
Conte dan Alexis Sanchez. Foto: Reuters/John Sibley
Menariknya, Inter saat ini tengah ditukangi Antonio Conte, pelatih yang hobi mengaplikasi pakem tiga bek. Hasilnya tokcer pula. Inter sukses melibas dua laga awal dan bertengger di puncak klasemen Serie A sementara.
Mengacu dalam dua laga awal Inter --melawan Lecce dan Cagliari-- Conte bakal intens menerapkan 3-5-2. Ya, wadah dasar Sanchez bersama Udinese 10 musim silam.
Secara urgensi, Conte memang membutuhkan tipikal penyerang yang cepat dan piawai bermain di sisi tepi. Tujuannya demi melengkapi peran Romelu Lukaku. Mantan rekan setim Sanchez di United itu diplot jadi target-man Conte di musim ini. Apalagi, Conte juga telah mendepak Ivan Perisic dan Mauro Icardi dari skuatnya.
ADVERTISEMENT
Alexis Sanchez, pemain anyar Inter Milan Foto: Dok. Inter Milan
Setidaknya ada dua alasan mengapa Sanchez layak berharap kepada Inter sebagai moda penebusan sempurna untuknya. Pertama, Serie A adalah pekarangan pertama yang membawanya sukses di Eropa. Conte jadi faktor pendukung selanjutnya. Ia tak lagi jatuh di tangan pelatih yang salah.
Bukan cuma soal pakem permainan Conte yang nantinya bakal ideal untuk Sanchez, melainkan juga rekam jejak kesuksesannya di Italia --tiga Scudetto bersama Juventus dan satu gelar Premier League dengan Chelsea.