Jadi, Apakah Arsenal Sudah Siap Menerima Tuchel?

26 Maret 2018 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tuchel semasa melatih Dortmund. (Foto: Christof STACHE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tuchel semasa melatih Dortmund. (Foto: Christof STACHE / AFP)
ADVERTISEMENT
“Saya belajar ekonomi supaya ibu saya bisa tidur lebih nyenyak,” seperti itu jawaban Thomas Tuchel sewaktu ditanya mengapa ia memilih untuk belajar di fakultas ekonomi semasa kuliah.
ADVERTISEMENT
Mereka yang belajar ekonomi sewaktu kuliah, di semester awal, akan diperhadapkan dengan mata kuliah Teori Ekonomi Makro dan Teori Ekonomi Mikro, apa pun namanya di setiap negara.
Pada dasarnya, Teori Ekonomi Makro adalah ilmu yang mempelajari dan membahas segala peristiwa, fenomena, dan masalah yang terkait dalam ekonomi dalam ruang lingkup yang besar. Sesuai namanya, ruang lingkup Ekonomi Mikro hanya terbatas pada kegiatan ekonomi yang sempit dan khusus. Ia lebih fokus kepada persoalan-persoalan internal perusahaan, termasuk apa yang mereka miliki dan apa yang jadi masalah mereka.
Ada alasan mengapa setiap mahasiswa ekonomi harus mempelajari dan lulus mata kuliah ini. Dua mata kuliah ini adalah inti dari setiap ilmu yang ada di fakultas ekonomi.
ADVERTISEMENT
Siapa pun yang menyandang gelar sarjana ekonomi (atau lebih tinggi), idealnya, harus dapat memberikan solusi ekonomis walaupun harus berhadapan dengan masalah-masalah di luar perusahaan (makro) dengan memanfaatkan apa yang ada dalam perusahaan (mikro).
Dan sebagai orang yang pernah mempelajari ekonomi, itu pulalah yang dilakukan oleh Tuchel, setidaknya di sepanjang kariernya sebagai pelatih.
Laiknya pelatih pada umumnya, Tuchel memulai kariernya sebagai pesepak bola. Yang berbeda, umur kariernya sebagai pemain tidak panjang, hanya enam tahun. Stuttgarter Kickers menjadi klub profesional pertamanya sebagai pesepak bola. Ia menjalin kontrak pada tahun 1992.
Ia bukan pilihan utama siapa pun yang menjadi pelatih saat itu. Selama dua tahun, ia hanya bermain sebanyak delapan kali di klub ini.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, ia pindah ke SSV Ulm. Kepindahan Tuchel ke Ulm ibarat degradasi. Kickers berkompetisi di Bundesliga 2, sedangkan Ulm berkompetisi ada di divisi tiga.
Tak hanya penurunan divisi, ia juga mengalami cedera lutut tahun 1998 sehingga harus pensiun dini. Ralf Rangnick, yang menjadi pelatihnya saat itu, membuka mata dan memantik keberaniannya untuk memulai karier sebagai manajer.
“Saya iri dengan teman-teman saya di Ulm. Mereka cepat sekali dipromosikan. Sementara, saya seperti jalan di tempat, bahkan tidak berjalan.”
Kekecewaan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk Tuchel sebagai manajer di Mainz. Entah seperti apa proses detailnya. Yang jelas, ia menukangi Mainz sejak tahun 2008 hingga 2014.
Bila sepak bola punya satu hukum, bahwa gelar hanya bisa dimenangi bila bekerja bersama klub mapan dengan sistem yang sudah stabil, maka Tuchel selalu berusaha untuk menjadi anak yang patuh.
ADVERTISEMENT
“Saya dan seluruh orang yang ada di dalam tim tidak pernah punya keinginan untuk melanggar hukum ini.” Dan di sinilah Tuchel menggunakan apa-apa yang dipelajarinya di bangku kuliah.
Tuchel tahu bahwa Mainz adalah klub yang inferior. Di sinilah ia harus menggunakan pemahamannya akan ekonomi mikro. Lalu ila membicarakan persaingan Bundesliga, maka pembicaraan akan mengarah pada dominasi Bayern Muenchen. Dan untuk hal yang kedua ini, ia harus menggunakan prinsip-prinsip ekonomi makronya. Karena, dominasi berkaitan dengan iklim pasar secara menyeluruh.
Bila sistem yang stabil itu belum ada, maka sistem itulah yang harus ia ciptakan. Bila klub yang dinaunginya itu memang belum mapan, maka membangun klub lewat prestasi di atas lapangan menjadi tugas utamanya sebagai pelatih.
ADVERTISEMENT
“Jika saya berkata kepada mereka segala sesuatu yang tidak saya inginkan, maka saya hanyalah seorang pengkritik. Tapi, peran saya di sini adalah penyedia jasa, sehingga saya harus membantu dan mendukung para pemain. Saya hanya bisa memakai apa yang ada untuk mencapai apa yang belum ada, bukan sebaliknya.”
Mainz sempat diantarkan ke peringkat lima pada klasemen akhir musim 2010/2011 dan pada musim terakhirnya bersama Mainz ia berhasil mengantarkan kesebelasannya tersebut bertengger di posisi ketujuh dan meraih tiket ke kompetisi Liga Europa.
Babak baru Tuchel sebagai pelatih hadir saat ia menerima pinangan Borussia Dortmund. Bukan pekerjaan mudah, karena ia ditunjuk sebagai suksesor Juergen Klopp yang berhasil tampil sebagai pelatih yang mendongkrak prestasi dan citra Dortmund di ranah sepak bola Eropa.
ADVERTISEMENT
Klopp adalah sosok yang begitu dicintai, tak hanya oleh pemain tapi juga para suporter. Klopp adalah sosok pelatih yang ekspresif. Dengan jabatannya yang maha mentereng itu ia tidak segan-segan untuk menunjukkan emosinya seterbuka-terbukanya ketika memimpin timnya bertanding di pinggir lapangan.
Sekilas, ia tampak seperti manajer-manajer Italia yang kerap heboh dari pinggir lapangan, hanya ia lebih lunak. Jangan harap menyaksikan Antonio Conte santai-santai saja saat melihat anak didiknya melakukan kesalahan di atas lapangan.
Jangankan kesalahan, saat timnya menang, tapi tidak sesuai dengan standarnya, ruang ganti Juventus bakal jadi salah satu tempat paling mengerikan yang ada di dunia ini. Namun, Klopp berbeda. Ia masih bisa tersenyum saat anak-anaknya melakukan kekonyolan saat bertanding.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pemain Dortmund di era Klopp juga dengan senang hati mencintainya sebagai pelatih. Ia memiliki pendekatan yang lebih hangat sebagai pelatih. Ia membangun dengan pemain dan staf lainnya sebagai teman, bahkan guru. Karena pendekatannya ini, jarang seorang Klopp didera kabar memiliki hubungan negatif dengan para pemainnya.
Orang seperti inilah yang harus digantikan Tuchel di Dortmund. Dibandingkan dengan Klopp, Tuchel tampil sebagai sosok yang lebih lantang dan keras. Mulai dari pemain hingga pemilik klub, mulai dari jurnalis hingga Presiden UEFA, semua pernah merasakan seperti apa kerasnya Tuchel.
Ia adalah gambaran paling sempurna tentang seperti apa orang Jerman yang sebenarnya. Keras, tahu apa yang dapat dilakukan dengan suaranya, bicara tanpa babibu walaupun sikapnya itu bisa saja membikin kuping dan hati lawan bicaranya panas.
ADVERTISEMENT
Salah satu fragmen paling mencolok yang pernah terjadi di sepanjang karier Tuchel sebagai pelatih Dortmund adalah saat ia bersitegang dengan para petinggi Dortmund.
11 April 2017 barangkali tercatat sebagai salah satu hari terberat bagi Dortmund. Pada hari itu, tiga ledakan menghantam bus yang sedang mengangkut para pemain Dortmund ke Westfalenstadion untuk melakoni laga perempat final Liga Champions melawan Monaco.
Pemain andalan Dortmund, Marc Bartra, menjadi salah satu korban. Tulang di lengan alumnus La Masia itu patah dan tangannya mengalami luka cukup parah akibat terkena pecahan kaca bus.
Para pemain Dortmund tidak pernah sampai ke stadion pada hari itu. Laga pun ditunda dan baru digelar keesokan harinya. Para suporter tuan rumah yang sudah telanjur menyemut di Westfalenstadion pun akhirnya harus pulang sambil memeram kecemasan dan trauma.
ADVERTISEMENT
Tuchel dan trofi DFB Pokal. (Foto: Ina FASSBENDER / POOL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tuchel dan trofi DFB Pokal. (Foto: Ina FASSBENDER / POOL / AFP)
Laga yang ditunda keesokan harinya inilah yang menjadi pangkal kegeraman Tuchel terhadap manajemen klubnya sendiri. Ia tidak setuju bila pemain-pemainnya harus langsung bermain dalam waktu 24 jam pasca-pengeboman bus itu terjadi.
Tak tanggung-tanggung, Managing Director Dortmund, Hans-Joachim Watzke, dan Sport Director, Michael Zorc, menjadi sasaran amuknya. Di mata Tuchel saat itu, manajemen dan UEFA mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi para pemain dan staf yang terlibat dalam pertandingan.
Dortmund pun kalah dari AS Monaco di ajang Liga Champions. Padahal sebelumnya, Dortmund tengah berada dalam periode performa terbaik.
Bukti kerasnya watak Tuchel juga tergambar dari hubungannya yang buruk dengan pencari bakat Dortmund, Sven Mislintat. Konflik keduanya muncul perkara transfer pemain. Kabarnya, Tuchel begitu menginginkan Oliver Torres, tapi Mislintat gagal mendatangkannya karena Torres bergabung ke FC Porto.
ADVERTISEMENT
Tuchel murka. Saking murkanya, ia melarang Mislintat memasuki area latihan Dortmund. Perlakuan buruk itu pun diakui oleh Watzke dalam rapat tahunan anggota klub pada akhir November 2017 lalu. Watzke bahkan menyalahkan diri sendiri akibat membiarkan Tuchel berlaku buruk dan berlebihan kepada Mislintat selama 1,5 tahun.
Lucunya, sudah hijrah ke Arsenal sebagai pencari bakat. Bila Tuchel benar-benar bergabung dengan Arsenal, tentunya konflik macam tadi harus segera diselesaikan. Pasalnya, bukannya tak mungkin hal-hal yang belum selesai itu justru mengganggu pekerjaan klub.
Buruknya hubungan Tuchel dan manajemen juga dipicu oleh kecenderungannya untuk bebas dari kekangan. Sebagai pelatih, ia tak mau diatur-atur. Prinsipnya, apa-apa yang menyangkut pemain dan tim di atas lapangan adalah wewenangnya. Manajemen mengatur segala hal di balik layar.
ADVERTISEMENT
Manajemen Dortmund adalah tipe manajemen yang realistis. Mereka tak mau mempertahankan pemain-pemainnya, termasuk bintang lapangan mereka, bila memang sudah tak mungkin. Yang namanya perusahaan, pasti butuh uang untuk hidup. Makanya, bila tawar-menawar dirasa pas, mereka tak akan ragu untuk melepas pemain.
Tuchel tidak demikian. Bagaimana mungkin ia dapat menciptakan performa tim yang brilian bila pemain-pemain andalannya dirampas. Ia menganggap klub merusak pekerjaannya saat mereka melepas Robert Lewandowski, Mats Hummels, dan Henrikh Mkhitaryan. Apalagi, dua nama pertama dilepas ke Bayern Muenchen. Konon, kepulangan Mari Goetze ke Dortmund juga bertolak belakang dengan rencana Tuchel.
Anehnya, Dortmund bisa punya prestasi di bawah kepelatihan Tuchel. Tak ada yang bisa membantah bahwa raihan ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh kesuksesan Klopp sebelumnya. Dortmund di bawah kepemimpinan Tuchel berkompetisi sebagai tim yang menikmati warisan skuat Klopp.
ADVERTISEMENT
Tahun pertama, Tuchel berhasil mengembalikan Dortmund ke zona Liga Champions. Tahun kedua, membawa Dortmund mencapai poin tertinggi dalam sejarah meskipun gagal menjadi juara, menjuarai DFB Pokal. Di Liga Champions pun, mereka baru tersingkir di babak perempat final. Khusus untuk DFB Pokal, gelar ini menjadi raihan terakhirnya bersama Dortmund. Tuchel akhirnya sanggup memenangi DFB Pokal setelah tiga musim berturut-turut gagal di partai puncak.
Walau minim jam terbang, Tuchel adalah juru taktik yang cerdas. Kapasitas Tuchel lahir akibat tempaan. Ia tidak pernah melatih klub superior (sebelum di Dortmund tentunya), sehingga mau tidak mau, ia menggunakan prinsip-prinsip ekonomi yang didapatnya selama di bangku kuliah.
Sebagai pelatih, Tuchel tak ragu untuk berguru pada pelatih-pelatih lainnya. Ia bahkan menyerap banyak ilmu dari idolanya sendiri, Josep 'Pep' Guardiola.
ADVERTISEMENT
Walaupun Guardiola adalah saingannya, ia tak ragu untuk bertemu dengan Guardiola di sebuah kafe di Muenchen demi belajar taktik. Katanya, ia begitu terpesona dengan gaya permainan Barcelona di era Guardiola.
Ada banyak pihak yang menyetujui bahwa Klopp dan Tuchel memiliki sistem permainan yang sama. Namun, kalau diperhatikan, ada perbedaan mendasar yang ditunjukkan oleh keduanya.
Perbedaan paling mendasar adalah bagaimana keduanya membangun serangan. Klopp adalah tipe oportunis, ia membangun serangan dengan memanfaatkan kesalahan lawan. Sementara Tuchel, ia adalah manifestasi terbaik dari entrepreneurship -yang mungkin diterimanya semasa kuliah- di atas lapangan bola. Ia menciptakan peluangnya sendiri.
Ilmu dari Guardiola yang mengedapankan penguasaan bola diserap dan diterapkan Tuchel. Lantas, Dortmund di bawah kepemimpinan Tuchel menyerang dengan mengombinasikan positioning dan umpan-umpan pendek.
ADVERTISEMENT
Tuchel memimpin latihan Dortmund. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tuchel memimpin latihan Dortmund. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
Bagi Tuchel, segala sesuatu harus dilakukan dengan baby steps, langkah-langkah kecil. Makanya, ketimbang tampil mengejutkan dengan umpan-umpan langsung, ia lebih suka memulai serangan dengan umpan-umpan pendek. Siapa pun yang mempelajari manajemen dan bisnis di bangku kuliah, pasti pernah menerima ilmu ini, setidaknya di Pengantar Bisnis.
Bila Klopp hanya menerapkan satu jenis serangan dalam timnya, tidak demikian dengan Tuchel. Klopp terkenal dengan gegenpressing-nya. Yang jadi ide dasarnya adalah, menekan lawan sedemikian rupa hingga menciptakan peluang untuk tim. Begitu peluang itu muncul, maka anak-anak asuh Klopp akan bereaksi cepat untuk mencetak gol dan merebut angka.
Sementara Tuchel, ia menjadikan penguasaan bola sebagai alat untuk menciptakan peluang. Ia dapat melakukan banyak hal dengan penguasaan bola, termasuk membongkar pertahanan lawan.
ADVERTISEMENT
Di masa Tuchel, Dortmund memperlihatkan permainan bek sayap yang menarik. Siapa pun yang menjadi bek sayap dipaksa sedekat mungkin dengan gawang dan garis tepi, tidak boleh sejajar dengan bek tengah.
Berguru pada Guardiola membuat setiap pelatih tahu apa artinya ruang. Bila bek sayap mengambil posisi sedekat mungkin dengan garis tepi, maka ruang bagi timnya akan semakin luas. Bayangkan bila kedua bek sayap ini menempel ketat dengan bek tengah, terutama saat mereka menguasai bola. Posisinya akan di situ-situ saja.
Selain itu, menempatkan bek sayap di garis tepi adalah tipuan paling tricky bagi pemain lawan. Bila mereka sibuk mengawal para bek sayap ini, kemungkinannya, mereka akan kehilangan penjagaan di area tengah yang tentunya dapat dimanfaatkan oleh Dortmund.
ADVERTISEMENT
Sebagai pelatih, Tuchel juga senang bertaruh. Maksudnya, ia gemar merotasi pemain. Jadi, siapa pun yang ada dalam tim punya kesempatan untuk mengeluarkan apa yang terbaik dari dirinya sendiri. Dan bagi setiap pesepak bola, tidak ada waktu yang lebih pas selain pertandingan untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Ramainya pemberitaan Tuchel sebagai calon terkuat dari suksesor Arsene Wenger di Arsenal memang menarik. Belakangan, Wenger bahkan mengecap dirinya sebagai korban diskriminasi usia. Ada banyak pihak yang menganggap bahwa Wenger, baik secara pribadi maupun sistem, sudah usang. Ia dinilai tak sanggup lagi bersaing dengan modernisasi sepak bola.
Lantas, keberadaan Tuchel pasti bakal menarik. Apalagi, dibandingkan Wenger, pengalaman Tuchel jelas tak ada apa-apanya. Usia kepelatihannya masih seujung kuku bila dibandingkan milik Wenger.
ADVERTISEMENT
Namun, tak jarang, sepak bola bukan hal yang bergantung pada pengalaman, tapi menciptakan pengalamannya sendiri. Dan bukannya tak mungkin, Arsenal mendapat pengalaman baru bila Tuchel benar-benar pindah ke Arsenal. Soal seperti apa pengalamannya, tak ada yang tahu. Bisa lebih baik, bisa lebih buruk.