news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Joachim 'Jogi' Loew: Bukan Sekadar Pelatih Melek Fesyen

27 Maret 2018 15:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jogi di sesi latihan jelang laga vs Norwegia. (Foto: John MACDOUGALL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jogi di sesi latihan jelang laga vs Norwegia. (Foto: John MACDOUGALL / AFP)
ADVERTISEMENT
Bila orang-orang Jerman punya prinsip untuk bekerja sehebat-hebatnya, maka untuk urusan berdiri di pinggir lapangan pun Joachim Loew melakukannya dengan berkelas.
ADVERTISEMENT
Nama Joachim Loew akan menjadi yoa-kim-luv (Saya juga luv padamu, Mas!) bila dilafalkan. Nama dan wajahnya kelewat serius, seperti orang Jerman pada umumnya. Namun, seserius-seriusnya kedua hal tadi, ia punya nama panggilan yang menggemaskan: Jogi.
Jogi tidak suka memasuki lapangan dengan serampangan. Ia melakukannya dengan gaya. Perhatikanlah seperti apa dandanannya di pinggir lapangan.
Untuk persoalan kemeja pun dia tak sembarangan. Kemeja putihnya itu dirancang khusus oleh label fesyen asal Jerman, Strenesse. Namanya pun tak sembarangan, Jogi Hemd. Mereka hanya memproduksinya dalam dua warna, hitam dan putih.
Jogi Hemd memang dirancang slim fit. Kenakanlah dengan membuka kancing paling atas dan menggulung lengannya sampai hampir sesiku. Lalu, berdirilah sambil bertolak pinggang. Ini menjadi salah satu hal terkeren yang bisa dilakukan orang dengan Jogi Hemd.
ADVERTISEMENT
Kalaupun tidak mengenakan Jogi Hemd, Jogi akan memilih kardigan, jas, ataupun kaus oblong --lengkap dengan jam tangan keluaran IWC Schaffhausen yang memang dirancang khusus untuknya dan Timnas Jerman itu. Intinya, apa pun yang dikenakan Jogi, semuanya akan terlihat keren. Berkelas. Bergaya.
Jogi tak butuh usia muda untuk mencuri perhatian. Walau usianya sudah menginjak 58 tahun, Jogi menua dengan gaya, ia menjadi dewasa dalam elegansi.
Elegansi Jogi tak berhenti sampai remeh-temeh dandanan. Apa yang dikerjakannya bersama Timnas Jerman menjadi bukti. Terhitung sejak tahun 2006, Jogi menangani Die Mannschaft.
Selama kurang lebih 12 tahun menukangi, lebih dari 100 kemenangan berhasil direbut Jerman. Seluruh gelar juara yang diraih Jerman setelah tahun 2000, semuanya ada berkat olah taktik Jogi.
ADVERTISEMENT
Bila menyoal gelar juara, maka di dalamnya akan termasuk Piala Dunia 2014 yang menghebohkan itu. Cerita kemenangan yang didahului dengan keberhasilan meluluhlantakkan Brasil di partai semifinal Piala Dunia 2014 dengan skor 7-1.
Cerita tentang perjalanan karier Jogi tidak melulu tentang keberhasilan dan gelar juara mentereng. Jauh sebelum kesuksesannya sebagai pelatih Timnas Jerman, ia patah hati seiring dengan kakinya yang patah.
Sebagai pesepak bola, Jogi malang-melintang. Ia merantau dari satu kota ke kota lainnya. Umur kontraknya di setiap klub tak panjang. Sebagian besar --karena memang tak semua-- pemain yang tak menetap dalam jangka waktu lama di setiap klub berarti ia tak cukup bagus untuk klub tersebut.
Tahun 1994, saat usianya menginjak 34 tahun, ia mengumumkan pensiun sebagai pesepak bola. Keputusan gantung sepatu ini menimbulkan dua spekulasi: Kariernya memang sudah mentok dan patah tulang kering yang menyisihkannya dari pertandingan.
ADVERTISEMENT
Lantas, dimulailah babak baru kehidupan Jogi sebagai pelakon sepak bola: menjadi pelatih.
Salah besar bila mengira kariernya langsung melejit sebagai pelatih. Serupa dengan kariernya sebagai pesepak bola, hitung-hitungan umur kontraknya sebagai pelatih pun tak panjang.
Sejak tahun 1994 menjadi pelatih, VfB Stuttgart menjadi klub yang paling lama dilatihnya. Ia menjadi arsitek Stuttgart selama dua tahun. Selebih dan sebelumnya, ia hanya melatih selama setahun di satu klub.
Momentum kebangkitan Jogi sebagai pelatih justru muncul dalam situasi tak sedap. Tahun 2004, ia didepak dari kursi kepelatihan klub asal Austria, Austria Wien.
Setelahnya, ia menganggur. Menyandang status sebagai pengangguran selama tiga bulan, ia justru kembali belajar mengenai kepelatihan, khususnya dalam menangani pemain.
ADVERTISEMENT
Jika ada satu orang yang diutangi oleh Jogi, maka Juergen Klinsmann adalah orangnya. Tahun 2004 hingga 2006 ia menjabat sebagai asisten pelatih Timnas Jerman, mendampingi Klinsmann.
Piala Dunia 2006 menjadi penanda dari kebangkitan Timnas Jerman. Disebut kebangkitan karena Jerman gagal di gelaran Piala Eropa 2000.
Timnas Jerman di sebuah sesi latihan. (Foto: AFP/Daniel Roland)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Jerman di sebuah sesi latihan. (Foto: AFP/Daniel Roland)
Di kompetisi negara-negara Eropa ini, Jerman mengakhiri fase grup sebagai juru kunci dengan catatan tak pernah menang. Setelah bermain imbang 1-1 melawan Rumania, Jerman kalah 0-1 dari Inggris dan takluk 0-3 dari Portugal.
Jerman pulang dini. Tertunduk dan menanggung malu. Kekalahan bertubi bila mengingat di gelaran Piala Dunia 1998 pun mereka kalah 0-3 dari Kroasia di partai perempat final.
Setelah dua kegagalan beruntun ini, sepak bola Jerman berbenah. Mereka mereformasi sistem pembinaan pemain muda pada tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Di Jerman, salah satu syarat supaya klub bisa bermain di Bundesliga dan Bundesliga 2 yang merupakan dua level kompetisi teratas adalah, memiliki akademi sepak bola. Tak sembarang akademi. Di dalamnya harus ada, setidaknya, 12 pemain Jerman di setiap kelompok umur.
Konon, klub-klub Bundesliga dan Bundesliga 2 menghabiskan sedikitnya 75 juta euro per tahun untuk mengelola dan menghidupi akademi-akademi itu. Bukan harga yang murah, tapi pantas.
Piala Dunia 2006 adalah kemelut bagi Jerman. Klinsmann menolak untuk memperpanjang masa baktinya sebagai pelatih. Di tengah situasi yang tak menentu ini, Jogi memasang taruhan yang tak aman. Ia mengajukan diri sebagai pelatih Jerman.
Namun, ternyata, Jogi tak sekadar bertaruh. Ia memperjuangkan apa yang dimulainya. Menjadi pelatih, menjadi juru taktik yang berarti otak di balik layar yang menentukan keberhasilan ataupun kegagalan Jerman.
ADVERTISEMENT
“Kami membutuhkan persiapan yang matang dan awal yang baik untuk segala sesuatu. Perjalanan kami panjang, kami menghadapi jalan-jalan yang lurus dan gunung-gunung yang tinggi.”
“Penting bagi kami untuk merotasi tim, untuk bekerja sebagai tim dan menciptakan roh bagi tim kami sendiri. Jerman, sebagai negara dan sebagai pelakon sepak bola, membutuhkan semuanya. Tak boleh ada yang terlewat.”
Jogi di laga vs Prancis, Piala Eropa 2016. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jogi di laga vs Prancis, Piala Eropa 2016. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
Kalimat-kalimat itu terlontar dari Jogi, beberapa saat setelah mereka memenangi Piala Dunia 2014 dan dalam persiapan mereka menghadapi Piala Eropa 2016.
Jogi menggunakan metafora yang menarik soal perjalanan panjang Timnas Jerman. Ada dua unsur yang ia gunakan dalam kalimat tadi: jalan yang lurus dan gunung-gunung yang tinggi.
Agak mengherankan, karena sebagian besar pelatih atau siapa pun yang menggiati sepak bola cenderung untuk menggunakan frasa jalan yang berliku dan gunung yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Jalan yang berliku menggambarkan kepayahan demi kepayahan, sementara gunung yang tinggi melambangkan capaian yang lebih tinggi, yang lebih menantang.
Namun, Jogi tidak demikian. Ia memilih frasa jalan yang lurus. Sebagai orang Jerman yang hidup dalam koridor sepak bola Jerman hampir di sepanjang hidupnya, rasanya kelewat batas bila Jogi tak paham seperti apa sepak bola Jerman sebelum gagal di pentas Piala Eropa 2000.
Sebelum Euro 2000, Jerman sudah tiga kali memenangi Piala Dunia (1954, 1974, dan 1990), dan mengantongi tiga gelar juara Piala Eropa (1972, 1980, dan 1996). Artinya, sebelum gembar-gembor reformasi sepak bola Jerman itu pun, Jerman sudah tampil sebagai negara super di pentas sepak bola dunia.
Mengutip Alec von Schoenburg dalam tulisannya yang berjudul 'The Brains Behind the Team Hungry to Win World Cup', di Jerman, sepak bola lebih dari sekadar olahraga. Ia memiliki sebuah tendensi untuk menjelaskan kepada dunia seperti apa Jerman yang sebenarnya. Tendensi inilah yang membuat orang-orang dapat berlari secara paralel dengan momen-momen historis yang pernah terjadi di Jerman.
ADVERTISEMENT
Jogi paham benar bahwa Jerman sudah punya kelasnya sendiri dalam sepak bola. Dan sebagai pelatih Timnas, hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengingatkan kembali kepada pemain-pemainnya, terutama yang muda-muda itu, yang kadung termakan omongan menyoal kesemenjanaan sepak bola Jerman, bahwa sebenarnya mereka adalah negara yang berkelas.
Menjadi berkelas adalah persoalan menjadi dewasa. Bila seseorang ingin disebut sebegai sosok yang berkelas, maka ia harus menanggalkan watak kekanak-kanakannya. Sementara, adalah mustahil untuk mengharapkan seseorang menjadi dewasa bila ia diperlakukan sebagai anak-anak.
Jogi menjadikan siapa pun di timnya, tak peduli sesenior atau semuda apa dia, sebagai orang dewasa.
“Para pemain menghormatinya karena ia memperlakukan mereka sebagai orang-orang dewasa. Ia tidak memerintah mereka, tapi memberanikan mereka untuk berdebat dan ia pun mendengarkan mereka,” seperti itulah pendapat Roland Eitel, penasehat Klinsmann di Timnas, mengenai Jogi dalam wawancaranya bersama Von Schoenburg.
ADVERTISEMENT
Jogi di sesi latihan Timnas Jerman. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jogi di sesi latihan Timnas Jerman. (Foto: PATRIK STOLLARZ / AFP)
Orang-orang Jerman dipandang berkelas karena mereka paham identitasnya. Mereka kerap tampil sebagai pribadi yang blak-blakan dan tahu apa yang dapat mereka lakukan dengan suaranya. Jogi pun menuntut kerja keras dari semua pemain dan stafnya. Dan tuntutan itu ia tunjukkan dengan kesempatan yang sama bagi setiap pemain untuk membela negaranya dalam pertandingan.
Seseorang tidak akan bisa tampil sebagai sosok yang berkelas bila ia tidak percaya diri. Karenanya, saat pemain-pemain utamanya berlibur, Jogi memberikan tempat kepada pemain-pemain lapis keduanya untuk bertanding.
Jogi bukan seorang yang pragmatis, tetapi ia juga menolak untuk statis. Baginya, percuma berpegang pada satu metode atau tradisi tapi tak cukup efektif untuk digunakan dalam pertandingan. Karenanya, ia tak segan untuk mengubah-ubah formasi tim. Lihatlah bagaimana formasinya berubah-ubah. Mulai dari 4-4-2, 4-4-3 hingga 4-2-3-1. Yang menarik, dalam partai perempat final Piala Eropa 2016 melawan Italia, Jogi justru menggunakan skema tiga bek dalam formasi 3-5-2.
ADVERTISEMENT
Jerman memang lambat panas, peluang pertama mereka baru didapat di pengujung babak pertama. Namun, babak kedua lain cerita. Jerman mengambil alih pertandingan. Mereka tampil menekan, walau bukan berarti Italia tak menyerang sama sekali.
Jogi bahkan menginstruksikan anak-anaknya untuk memberikan pressing tinggi pada pemain belakang Italia. Tujuannya untuk mencegah bangunan serangan Italia dari area pertahanan. Hasilnya tak mengecewakan, Jerman berhasil menahan imbang Italia 1-1 hingga babak perpanjangan waktu usai (120 menit). Setelahnya, mereka memenangi drama adu penalti dengan skor tipis 6-5. Sayang mereka gagal melangkah ke partai puncak karena kalah 0-2 dari Prancis di babak semifinal.
Jerman adalah negara yang tumbuh dengan rasa malu yang teramat sangat. Mereka punya cacat seumur hidup yang rasanya tak mungkin untuk disembuhkan. Namun, lihatlah bagaimana Jerman memperbaiki diri.
ADVERTISEMENT
Bila di era Perang Dunia mereka dikenal sebagai negara sadis, dewasa ini mereka tampil sebagai negara yang berkelas yang begitu sigap memberikan pertolongan, bahkan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para pengungsi. Jerman bekerja keras dan belajar dari kesalahan. Etos hidup seperti ini pulalah yang dijejali Jogi kepada para anak didiknya.
"Saya ingin memperbaiki sudut pandang menyoal kekalahan dengan cara yang bersahabat. Kami bisa saja membuat kesalahan, belajar dari kesalahan-kesalahan itu, dan memperbaikinya."
Jogi tak asal bicara. Pasca-kegagalan di semifinal itu, Jerman menjadi juara di Piala Konfederasi 2017. Di partai final mereka mengalahkan Chile dengan skor tipis 1-0. Permainan cepat dan sarat pressing menjadi ciri yang kerap ditampilkan Jerman di kompetisi ini.
ADVERTISEMENT
Atas segala yang dilakukan Jogi kepada anak-anak asuhnya, tak jarang pula ia menuai kritik. Kebanyakan, kritik-kritik itu mempermasalahkan Jogi yang kelewat memperhatikan masalah psike dan nutrisi para pemain. Menurut para pengkritik itu, pemain-pemain Jerman itu sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun, orang-orang berkelas bisa memilih mana kritik yang harus ditanggapi, mana yang harus diabaikan. Jogi tak banyak bicara. Ia mengolah taktik dan memasuki lapangan dengan berkelas. Anak-anak didiknya melakoni pertandingan, meresponi kemenangan dan kekalahan dengan cara yang tak serampangan.
Sekarang, Piala Dunia sudah di depan mata. Entah apa hasilnya bagi Jerman, tapi setidaknya mereka paham bahwa mereka punya kelas yang tak sembarangan. Dan yang namanya berkelas, ia tak surut digempur kekalahan, ia tak luntur disanjung kemenangan.
ADVERTISEMENT