Jurnal: 48 Jam Menjadi Suporter Liverpool di Kiev

27 Mei 2018 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
penggemar Liverpool di final Liga Champions. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
penggemar Liverpool di final Liga Champions. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
I
“We must turn from doubters to believers,” kalimat dari Juergen Klopp itu terngiang-ngiang di kepala saya. Saat itu, mata saya sedang tertuju dengan pertandingan Liverpool melawan AS Roma dalam leg I babak semifinal Liga Champions. Rasanya sulit untuk tak berharap, mengingat Liverpool bisa menang 5-2 atas I Lupi dengan kondisi trisula maut kami -- Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane -- tampil apik.
ADVERTISEMENT
Usai laga, tangan saya seperti punya nyawa yang lain. Tangan saya mengambil gawai, mengabarkan Bianca, pacar saya, bahwa kami akan menyewa sebuah apartemen di Kiev untuk dua hari dua malam, terhitung sejak tanggal 25 Mei. Masa bodoh walau kami masih harus melakoni leg II. Setelah laga seperti itu, saya yakin Liverpool akan tanding di final Liga Champions pada 26 Mei (waktu Inggris -red) mendatang.
II
Pada akhirnya, Liverpool memang lolos ke final Liga Champions. Namun, hal tersebut tak membuat segalanya jadi mudah. Tiket untuk penggemar Liverpool hanya dialokasikan untuk 16.626 orang. Saya pikir, UEFA ini tinggal di gua mana, sih? Apa mereka tak tahu ada banyak penggemar Liverpool yang ingin ke sana?
ADVERTISEMENT
Kondisi ini membuat saya nelangsa, tentu saja. Saya, Bianca, dan teman-teman penggemar Liverpool yang lain, melayangkan petisi kepada UEFA soal betapa bodohnya keputusan itu. Tentu saja tidak digubris. Maka, mau tak mau saya mencari tiket ke final Liga Champions dari tanggal 3 Mei. Repotnya lagi, saya tidak bisa mencari tiket via daring (online -red).
Pasalnya, mencari tiket final Liga Champions secara daring itu hanya akan memberimu dua pilihan. Pertama, merogoh kocek dalam-dalam. Sialnya, saya tak punya begitu banyak uang. Kedua, ada begitu banyak laman palsu yang mengaku menjual tiket.
Sementara membeli secara luring (offline -red) tidak segampang 'kamu datang ke toko, lalu bayar'. Sama seperti daring, di dunia nyata ada banyak orang yang tertipu oleh mereka yang mengaku punya tiket final Liga Champions. Beruntung, setelah 18 hari lamanya, Bianca mengabari saya bahwa ada teman dekatnya dari Jerman yang tahu penjual tiket final Liga Champions yang dapat dipercaya.
ADVERTISEMENT
Kamu tahu apa yang lucu? Temannya Bianca ini penggemar AC Milan. Tim yang menjadi korban kesaktian Liverpool di final Liga Champions 2005. Usai soal tiket laga jelas, saya pun, memesan tiket pesawat hari itu juga. Totalnya, jika dihitung dengan tiket laga dan tiket pesawat hingga penginapan, saya menghabiskan kurang-lebih 2 ribu poundsterling (sekitar 37,5 juta rupiah).
III
Penginapan sudah, tiket final sudah, tiket pesawat pun juga sudah. Jadi, apalagi yang kurang? Hmm… ada satu lagi. Uang.
Bianca datang kepada saya pada suatu sore di tanggal 25 Mei. Dia bilang, “Sayang, kita tidak bisa mendapatkan uang Ukraina di sini.” Bianca sendiri kerja di salah satu bank di kota Liverpool dan katanya, akibat perang di Donbass, uang Ukraina tak bisa masuk ke Inggris.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu saja sedikit mengkhawatirkan saya. Saya jadi waswas seandainya tidak ada money changer di Kiev nanti. Semoga saja ada.
Di hari Jumatnya, saya dengar kabar bahwa ada ribuan penggemar Liverpool tak bisa ke Kiev akibat penerbangan mereka dibatalkan secara sepihak. Beberapa yang gagal pergi adalah teman saya. Bayangkan, kamu punya tiket, tapi kamu tak bisa pergi. Ah… kenapa begitu berat untuk sekadar nonton partai final?
IV
Sekarang hari Jumat, jam menunjukkan pukul 3:37 pagi waktu Inggris. Kereta yang saya dan pacar saya tumpangi sudah pergi meninggalkan Liverpool dan berjalan menuju Manchester. Saya dan Bianca akan pergi ke Bandara Duesseldorf via Bandara Manchester. Pesawat kami sendiri berangkat pukul 6:40 pagi.
ADVERTISEMENT
Kami tiba di Bandara Duesseldorf pukul 9:30 pagi. Sesampainya di sana, kami harus menunggu dengan waktu yang begitu lama, karena pesawat ke Kiev baru akan tiba pukul 2:15 siang waktu Jerman. Saat kami sudah berada di pesawat, kami butuh empat jam untuk sampai ke Kiev. Membosankan.
Untuk membunuh rasa bosan, saya membayangkan para penggemar Liverpool yang sudah ada di sana. Saya bayangkan akan sebagus apa penggemar Liverpool mendekorasi sektor suporter Liverpool di Stadion Olimpiade Kiev, atmosfer final, hingga penyerang-penyerang maut kami. Semoga saja, segala lelah yang saya rasakan bisa terbayar.
Penggemar Liverpool, Robert Rogers, dan pacarnya. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Penggemar Liverpool, Robert Rogers, dan pacarnya. (Foto: Dok. Istimewa)
V
Kiev lebih bagus daripada yang saya bayangkan. Saat hendak ke hotel, pilot pesawat yang saya tumpangi membantu saya berkomunikasi dengan pengendara taksi, karena sopir ini hanya bisa bahasa Ukraina. Bianca dan saya pun sepakat untuk memberikan syal Liverpool sebagai balas jasa atas kebaikan si pilot itu.
ADVERTISEMENT
Usai menerimanya, dia bilang sambil tertawa, "Bagus! Saudara saya penggemar Manchester United. Pasti dia akan kesal melihat ini!"
Apartemen kami juga bagus. Jendelanya mengarah ke Kota Kiev yang saya pikir, begitu menyejukkan mata. Kamar mandinya bersih, kamar tidurnya layak, dan dapurnya bisa digunakan. Meski pada akhirnya saya sangat susah menemukan uang Ukraina, orang-orang Ukraina masih menerima uang dengan mata uang lain: Euro. Syukurlah.
Saya sendiri baru berjalan-jalan pada hari Sabtu (26/5) akibat kelelahan. Seperti penggemar Liverpool yang lain, saya dan Bianca berjalan menuju Fan Park pada hari itu.
Di sana, kami – penggemar Liverpool – menyanyikan beberapa chants Liverpool, terutama 'Allez! Allez! Allez'. Kami terus menyanyi selayaknya seolah-olah kami ini mesin pemutar musik dan seseorang menekan tombol repeat.
ADVERTISEMENT
Kalau di Fan Park suasananya sudah hebat, ya, tebak saja apa yang terjadi di NSC Olimpiyskiy. Kami bernyanyi dengan lantang memberikan dukungan kepada tim kami. Kami bernyanyi selayaknya hanya kamilah yang mengisi stadion tersebut.
Di benak kami, kami bisa menjadi pembeda seperti di Istanbul tahun 2005. Mulanya, saya pikir hal tersebut bisa saja terjadi.
Saat laga ini berjalan 30 menit, Mohamed Salah terpaksa ditarik keluar akibat aksi bertahan Sergio Ramos. Mengetahui itu, kami pun menyanyikan namanya dengan begitu lantang. Dan Salah meresponsnya dengan tangisan yang membuat hati saya pilu.
Saat kami kebobolan akibat aksi bodoh Karius di menit 50 pun, kami tetap bernyanyi. Empat menit kemudian, giliran Sadio Mane yang mencetak gol. Kami bernyanyi lebih keras dari sebelumnya dengan harapan, para penggawa Liverpool terpacu semangatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhirnya, takdir menunjukkan bahwa ia tak berpihak pada kami. Di menit 63, Gareth Bale melancarkan tendangan salto di kotak penalti. Sektor suporter Liverpool saat itu terdiam. Tak lama, tangan saya tergerak untuk memberikan tepuk tangan kepada Bale atas gol tersebut.
Beberapa menit setelah itu, kami baru menyanyi lagi. Namun, tak selantang sebelumnya. Di menit 82, kami betul-betul terdiam saat tepisan Karius malah membawa bola masuk ke dalam gawang. Seketika saya paham, dunia sudah tahu bahwa Liverpool kalah 1-3 dari Madrid dengan cara yang bodoh. Dan itu berarti, tidak ada trofi keenam Liga Champions Liverpool di Kiev.
VI
Saya terserang stockholm syndrome usai laga. Di laga itu, saya tahu seberapa ‘jahatnya’ dua kesalahan Karius tersebut terhadap mimpi kami. Meski begitu, saya juga merasakan sedih saat kiper asal Jerman itu menangis sendiri di depan gawang yang sudah menjadi saksi bisu buruknya malam yang telah ia lalui.
Loris Karius tertunduk di atas lapangan. (Foto: Reuters/Phil Noble)
zoom-in-whitePerbesar
Loris Karius tertunduk di atas lapangan. (Foto: Reuters/Phil Noble)
Usai menangis, Karius pun berdiri. Tapi ia tak berdiri untuk pergi ke terowongan selayaknya pengecut. Dengan keberanian yang masih tersisa, ia menghadap ke sektor penggemar Liverpool dan meminta maaf. Saya membalas aksinya itu dengan tepuk tangan. Rupanya, tangan penggemar Liverpool yang lain pun tergerak juga untuk melakukan hal yang serupa.
ADVERTISEMENT
Usai kejadian itu, saya dan Bianca memutuskan pulang ke apartemen. Di kamar, saya menangis dan tak percaya mimpi kami lepas dari tangan kami.
====
Tulisan ini ditulis berdasarkan hasil wawancara kumparanBOLA dengan Robert Rogers. Scouser yang mendirikan media komunitas LFCTR. Mention saja akun Twitter @RobRLFC jika ingin berbincang-bincang tentang Liverpool.