Jurnal: Bergelut Kelakar di Mattoangin

30 Juli 2019 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di sekitar Stadion Andi Mattalatta, Makassar, Minggu (28/7). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di sekitar Stadion Andi Mattalatta, Makassar, Minggu (28/7). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
"Inilah kandang PSM. Mattoangin," kata kenalan saya yang merupakan jurnalis media setempat. "Bagus, toh?" tanyanya menekankan.
ADVERTISEMENT
Saya hanya tertawa kecil mendengarnya sebab tahu bahwa pertanyaan tersebut cuma satire. Di baliknya, ada makna tersirat yang kurang lebih bisa diartikan begini: "Ini kandang PSM. Memprihatinkan, 'kan?
Well, ini bukan rahasia lagi: Stadion Mattoangin atau Andi Mattalatta memang tak megah. Sejak tiba di sana pada Sabtu (27/7/2019) bersama Nugroho Sejati--fotografer kumparan--kesan itulah yang bisa saya tangkap.
Lokasi stadion sebenarnya cukup strategis, di dekat kota, sehingga mudah dijangkau. Jangan bayangkan kandang PSM Makassar ini tidak dikelilingi hamparan sawah atau tambak garam seperti Stadion Gelora Bandung Lautan Api atau Stadion Gelora Bung Tomo.
Namun, penampakannya sempat membikin dahi berkerut. Beton-beton yang menyangga tiap titik tribune tampak kusam dan kurang terawat. Ada coretan di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Coretan tembok di sekitar Stadion Andi Mattalatta jelang final Piala Indonesia, Makassar, Minggu (28/7). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Beberapa titik pada sekelilingnya juga mulai ditumbuhi rumput dan sedikit lumut. Ditambah, cat-cat di sejumlah bagian tampak mengelupas. Bagian teratas di sekeliling tribune utara dan selatan ditanami kawat berduri sehingga membuat kesan mencekam.
Dari pemandangan-pemandangan ini, saya mulai menerka-nerka mengapa AFC tak meloloskan Stadion Andi Mattalatta untuk digunakan di AFC Cup. Dari sini pula saya paham kenapa Daeng Uki, salah satu pentolan suporter PSM, berulang kali melawan getir.
Namun, itu ternyata cuma satu dari sekian banyak hal yang membuat stadion ini tampak memprihatinkan. Masih ada yang lainnya. Misal, kondisi rumput lapangan yang tak begitu bagus, akses masuk ke tribune stadion yang sedikit, hingga ruang konfrensi pers dan media yang terbilang sempit.
ADVERTISEMENT
"Mau lihat yang lebih parah lagi?" tanya kenalan saya tadi. "Besok pas hari pertandingan," katanya.
***
Entah kenapa, saya secara kebetulan begitu sering berjumpa orang Makassar yang bernama Wahyu. Kenalan saya tadi adalah salah satunya. Ya, ia bernama Wahyu.
Kami pertama kali bertemu pada leg I final Piala Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Minggu (21/7). Waktu itu, Wahyu tengah sibuk menyelesaikan tugas kantornya di salah satu sudut ruang media GBK, begitu pula dengan saya. Meski demikian, kami masih menyempatkan diri untuk sedikit mengobrol.
Maskot PSM Makasar di dalam Stadion Andi Mattalatta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Saya ingat bahwa salah satu topik yang paling intens kami bicarakan saat itu adalah soal betapa parahnya kandang PSM. Kata dia, kondisi itu membuatnya merasa agak sedih mengingat PSM termasuk klub tertua dan besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apalagi, Makassar sendiri adalah salah satu kota besar dan padat di negeri ini. Fakta bahwa ia tak memiliki stadion yang layak, sebagaimana yang juga dialami Medan dan Padang, menjadi begitu miris mengingat hampir semua kota besar di Indonesia lain punya stadion megah.
"Gimana dengan Barombong?" tanya saya.
"Halah, enggak bisa diharapkan itu," jawab Wahyu.
"Kenapa?"
"Begini, ya. Kalau kata saya, Stadion Barombong itu sudah salah konstruksi dari awal. Kemarin-kemarin juga sempat ada tribune yang roboh, toh? Jadi, kalau dilanjutkan percuma. Bakal berulang lagi," jelasnya.
Lampu Stadion Andi Mattalatta, Makassar, Minggu (28/7). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Tentu saja ucapan Wahyu itu masih perlu konfirmasi lebih lanjut dengan pihak terkait. Namun, bila melihat sejumlah masalah yang sempat terjadi pada stadion yang mulai dibangun sejak 2011 itu, apa yang ia katakan cukup masuk akal. Lagi pula, per awal Juli lalu, pembangunan stadion itu dihentikan untuk sementara.
ADVERTISEMENT
"Misalnya saya dapat tugas liputan leg II, mau temenin saya ke sana?"
"Enggak janji saya. Agak jauh. Aksesnya juga susah, Mas," jawab Wahyu. "Selebihnya saya usahakan," lanjutnya.
"Oke, minta kontak," saya berujar.
Maka, tibalah saya di Makassar, tepatnya di Stadion Andi Mattalatta (nama resmi Mattoangin), Sabtu (27/7) sore dan kawan saya itu. Ia mengajak saya langsung menuju ruang konferensi pers di bagian dalam stadion. Singkat cerita, konferensi pers berakhir dan pada saat itulah insiden yang dialami Persija terjadi.
Keesokan harinya, saya kembali bertemu Wahyu meski kami mulai sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Wahyu berada di sekitar lapangan bagian luar stadion. Sementara, saya mengitari sejumlah sudut dan berbincang dengan beberapa suporter.
ADVERTISEMENT
Salah satu suporter yang saya temui adalah Edo. Dengan saya, ia bercerita bahwa hari itu hanya ingin datang ke stadion untuk meramaikan, tanpa maksud menonton.
Suporter PSM Makasar mengibarkan bendera di Stadion Andi Mattalatta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Alasannya, kata dia, keadaan kelak pasti kaos. Ia yang tak suka hal semacam itu tentu tak ingin berada di tengah-tengahnya. Edo lantas merinci kaos seperti apa yang ia perkirakan.
"Ini final. Pasti banyak yang datang. Masalahnya, kapasitas stadion cukup, enggak, buat menampung semua suporter?" kata Edo. "Saya sering pusing kalau desak-desakan," lanjutnya.
Ucapan Edo itu kemudian seakan terkonfirmasi dari suporter lain yang sayangnya lupa saya tanyai namanya. Anggap saja namanya "Budi".
Kepada saya, "Budi" berkata bahwa ada banyak suporter lain yang tak kebagian tiket. Ada kemungkinan, ini ulah calo. Di sisi lain, ia juga merasa bahwa tiket tersebut tetap tak akan cukup kendati tak diborong calo.
ADVERTISEMENT
"Sudah punya tiket, tapi kawan saya banyak yang belum. Hari ini sudah habis. Akhirnya beberapa beli sama yang di luar itu tadi (calo). Harganya beda berkali-kali lipat," kata "Budi".
"Ini masyarakat Makassar ada puluhan ribu. Tapi stadion cuma belasan ribu," lanjut dia.
Seorang warga melintasi di sekitar Stadion Andi Mattalatta jelang final Piala Indonesia, Makassar, Minggu (28/7). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kapasitas memang menjadi masalah lain yang dimiliki Stadion Andi Mattalatta. Stadion yang terletak di Jalan Mappanyuki itu cuma bisa diisi oleh sekitar 15 ribu penonton. Jumlah sebesar itu tentu tak cukup untuk menampung tingginya animo masyarakat Makassar terhadap PSM.
Munafri Arifudin, CEO tim berjuluk Ayam Jantan dari Timur itu, turut mengakui hal ini. Secara khusus, ia juga punya harapan besar agar kelak, entah bagaimana, Makassar bisa membangun stadion baru sebagaimana kota-kota besar lain.
ADVERTISEMENT
"Animo masyarakat Sulawesi Selatan terhadap sepak bola sangat besar, tetapi tidak punya infrastruktur baik yang memang dibutuhkan. Sama halnya dengan Persija," kata Munafri di hadapan para wartawan, Minggu (28/7).
"Persija juga animonya sangat besar, sehingga untuk mencari tempat kadang-kadang juga bentrok dengan penggunaan GBK dan sebagainya. Akhirnya mereka akan bangun stadion baru," lanjut dia.
"Nah, kami juga pengin seperti itu. Kami juga pengin animo masyarakat ini kami bisa tampung, kami bisa apresiasi sehingga tidak ada lagi hal-hal seperti kekurangan tiket, dan sebagainya. Mungkin saja bisa kurang, tetapi tidak akan sebanyak seperti sekarang ini," katanya lagi.
Omong-omong soal kapasitas, khusus hari itu, yang menjadi korban tak cuma suporter, tetapi juga para jurnalis tulis. Ya, saat itu saya dan puluhan jurnalis lain tak bisa menempati tribune media Stadion Andi Mattalatta karena ditempati oleh undangan dan PSSI. Setidaknya, begitu informasi yang saya tangkap.
ADVERTISEMENT
Sebelum laga leg II final Piala Indonesia ditunda, panggung berwarna merah ini akan ditempati jurnalis sebagai pengganti tribun media. Foto: Angga Putra/kumparan
Para jurnalis akan disediakan tribune tambahan di sisi sudut utara tribune stadion. Tribune tambahan ini berupa panggung tiga tangga berwarna merah yang ketinggiannya dapat dibilang agak sejajar dengan lapangan.
Dengan ketinggian semacam itu, tentu saja para jurnalis bakal kesulitan menyimak secara utuh jalannya laga. Terlebih, letaknya benar-benar di pojok. Kabar buruk bagi mereka yang mendapat tugas membikin laporan pertandingan.
Meski demikian, saya cukup antusias saat itu. Saya ingin merasakan bagaimana sensasi menangkap pertandingan dari sudut yang tak biasa. Ini benar-benar momen langka.
Namun, saat hendak menuju ke sana, saya yang kala itu masih di luar tiba-tiba mendengar informasi panpel via pengeras suara. Informasi itu berbunyi bahwa PSSI secara resmi telah menunda laga.
ADVERTISEMENT
Sontak, saya lega sekaligus kecewa.