Jurnal: Disiram Rohani di Tengah Ironi

15 Agustus 2017 13:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waktu (ilustrasi). (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Waktu (ilustrasi). (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
ADVERTISEMENT
Day one. Setelah mengepak baju serta barang-barang keperluan liputan, maka berangkatlah saya menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Senin (14/8/2017). Prosedur rutin sebelum keberangkatan dilewati dengan mulus seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan saya dan fotografer kumparan, Aditia Noviansyah, ke Kuala Lumpur, Malaysia, guna meliput perhelatan SEA Games 2017, tampaknya bakal berjalan biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial. Waktu kami habiskan dengan saling bertukar cerita selama liputan di lapangan dulu.
Sebagai informasi, Ano —sapaan akrab Aditia— ini merupakan fotografer kawakan. Namanya bahkan sempat tenar manakala kejadian Bom Sarinah pada tahun lalu. Jika Anda pernah melihat foto viral pelaku bertopi menenteng pistol di tengah jalan… ya, itulah hasil jepretannya.
Setelah sempat delay selama hampir setengah jam, panggilan untuk boarding pun tiba pada pukul 11.55 WIB. Kami duduk tepat di belakang pintu darurat. Saya duduk di kursi lorong, sementara Ano di sebelah saya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan berlangsung cukup lancar, meski beberapa kali lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Goyangan lumayan kuat sesekali dirasakan, tetapi secara umum berjalan lumayan mulus.
Sekitar satu jam perjalanan, saya yang sedang berdiam diri, tiba-tiba disapa seorang pria yang duduk di seberang saya.
"Assalamualaikum..."
Karena suara bising dari mesin pesawat, saya mendekatkan telinga saya. Pria paruh baya itu kemudian mengulangi salamnya.
"Walaikumsalam..." jawab saya.
Salam itu akhirnya menjadi pintu masuk bagi kami berbincang. Ia memperkenalkan diri sebagai Kasim dari Semarang, Jawa Tengah.
Kasim duduk sebaris bersama dua orang temannya, sementara satu orang lainnya duduk terpisah. Pria berpeci putih dan berjanggut panjang itu membuka obrolan seputar pekerjaan. Tak lama, obrolan kami spesifik masuk ke masalah agama.
ADVERTISEMENT
Kasim bercerita bahwa ia bersama keempat rekannya hendak menuju India dan Bangladesh. Di dua negara saling bersebelahan itu, Kasim mengaku akan melakukan dakwah dari masjid ke masjid.
Di tengah obrolan yang cukup hangat itu, saya iseng bertanya tentang persoalan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini kerap diwarnai isu SARA. Akan tetapi, pertanyaan saya itu tampaknya tak menarik baginya. Cukup kecewa juga, sih, tapi obrolan tetap berlanjut.
Ruang tunggu sebelum terbang ke KL. (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ruang tunggu sebelum terbang ke KL. (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
Kasim banyak bercerita seputar ajaran-ajaran Islam dengan mencontoh Nabi Muhammad S.A.W. Dari hal-hal kecil, seperti makan tak boleh sambil berdiri sampai tata cara tidur.
Ia bertanya kepada saya tentang pekerjaan saya. Saya tak jawab spesifik, hanya bilang saya kerja di Jakarta, dan kebetulan sedang dinas ke Kuala Lumpur.
ADVERTISEMENT
"Sewaktu kerja diusahakan tetap ibadah (salat). Jangan ditinggalkan dan kalau bisa di awal waktu. Saya juga dulu kerja di proyek di Jakarta. Suka ninggalin salat karena kerjaan yang numpuk. Tapi, waktu itu hati saya nggak tenang," ujar Kasim.
Mendengar pernyataan itu, saya merasakan wajah saya seperti ditampar bolak-balik. Hati saya seperti tertusuk belati tajam. Entah sudah berapa kali saya lalai dalam beribadah. Duh.
Ingatan saya pun melayang kepada kondisi beberapa tahun silam ketika masih menjadi reporter di lapangan. Saking gigihnya mencari berita, tak jarang saya salat di akhir waktu, bahkan terlewatkan.
Saya lantas terdiam. Tapi, saya coba untuk tenang. Saya tanya bagaimana awal mula dia berhijrah. Ini menarik karena setiap orang biasanya punya kisah tersendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan saya belum dijawab, obrolan kami terhenti ketika lagi-lagi terjadi goncangan cukup kuat. Tak lama, kami pun mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur.
Saya dan Kasim serta teman-temannya kemudian berjalan bersama menyusuri pintu keluar bandara. Berbincang ringan sambil sesekali diiringi tawa.
Saya pun berinisiatif untuk meminta foto bersama sebagai kenang-kenangan. Setelah berfoto, kami bersalaman satu per satu sambil mendoakan masing-masing agar selamat dan lancar dalam beraktivitas.
Ah, entah apa maknanya dari perjalanan saya ini. Berkali-kali melakukan perjalanan dinas, baru kali ini saya mendapat siraman rohani. Mungkin Kasim melihat wajah saya yang penuh kegelisahan sehingga dipikirnya perlu mendapat pencerahan.
Perjalanan lantas kami lanjutkan menuju UKM Stadium di Bangi. Di sana, Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-22 tengah melakukan latihan terakhir menjelang laga melawan Thailand di Stadion Shah Alam pada Selasa (15/8) ini.
ADVERTISEMENT
Saya bertemu beberapa rekan jurnalis di sana. Kawan-kawan senasib sepenanggungan ketika sama-sama meliput di lapangan dahulu.
Sejumlah pemain Timnas U-22 di Hotel Royal Chulan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pemain Timnas U-22 di Hotel Royal Chulan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Selama satu setengah jam, skuat "Garuda Muda" berlatih. Mematangkan strategi bermain guna mencari cara meruntuhkan tembok pertahanan Thailand yang kokoh itu.
Tepat pukul 18.00 waktu setempat, latihan pun berakhir. Bima Sakti —asisten pelatih Timnas U-22— menghampiri sekumpulan jurnalis untuk memberikan perkembangan terkini dari pasukannya.
Satu per satu, pemain serta ofisial Timnas U-22 pun meninggalkan stadion yang berlokasi di lingkungan kampus itu, Universiti Kemerdekaan Malaysia (UKM). Akan tetapi, masih ada satu orang yang belum bergabung dengan rekan-rekannya.
Di atas tribun, terlihat Dicky Indrayana sedang tegesa-gesa merapikan sarung. Ya, saya tak salah lihat. Kiper Timnas U-22 itu baru saja menunaikan salat Ashar.
ADVERTISEMENT
Ketika pemain lain melepas lelah sesuai latihan, Dicky yang masih mengenakan kaos latihan, memilih untuk menyendiri guna menjalankan kewajibannya sebagai muslim.
Dia turun dengan berlari kecil karena tahu rombongan pemain dan ofisial lainnya telah menunggu di dalam bus. Ketika berjalan menuju bus, saya hampiri penggawa Bali United itu.
Sejumlah pertanyaan singkat saya ajukan. Jujur saya kagum plus kaget dengan apa yang Dicky lakukan. Karena bertahun-tahun meliput kegiatan Timnas Indonesia, baru kali ini saya melihat pemain beribadah tepat setelah latihan usai.
Saya tanya mengapa harus salat di stadion.
"Sudah mepet waktunya (dengan waktu Maghrib). Jadi, saya salat di sini saja. Namanya kewajiban 'kan nggak bisa ditinggalin. Mau kapan dan dimana pun," katanya.
ADVERTISEMENT
….dan saya pun teringat, saya belum salat Zuhur dan Ashar saat itu.