Jurnal: Harap Tenang, Ada Ujian

29 Mei 2018 12:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain Liverpool menyesali kekalahan. (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Liverpool menyesali kekalahan. (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
ADVERTISEMENT
Masih saja sayup-sayup terdengar orang bernyanyi, “Allez… Allez… Allez…” padahal, saat ini sudah pukul 1 dini hari waktu Kiev. Ini sudah hari Minggu, sehari setelah final Liga Champions digelar.
ADVERTISEMENT
Ah, bagaimana jadinya jika Liverpool yang keluar sebagai juara Liga Champions musim ini? Begitu pikirku. Sayang, sejarah tak mengenal pengandaian.
***
Aku hampir linglung malam itu, satu malam sebelum final Liga Champions digelar.
Setelah menyantap makan malam di 17.804 —satu-satunya restoran Indonesia di Kiev—, aku berjalan mencari keramaian. Hingga sampailah aku pada suatu jalan yang penuh dengan suporter Liverpool. Tak perlu berpikir panjang, aku langsung menghampiri keramaian itu.
Betapa lemasnya badan ini. Aku tak pernah membayangkan akan merasakan atmosfer yang seperti itu. Mereka bernyanyi dan menari. Menenteng bir di tangan kiri, sembari mengangkat tangan kanan dan menyanyikan lagu-lagu dukungan khas Liverpool. Sungguh menyenangkan.
Mungkin ada orang yang ingin menghabiskan hari-hari dan uangnya untuk menyaksikan konser grup band ataupun penyanyi kesayangan mereka. Namun, sepertinya aku akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk merasakan suasana yang seperti ini.
ADVERTISEMENT
Rasa-rasanya setiap suara yang keluar dari mulut mereka begitu orisinil, membuatku mengapung, mengapung, lalu mengapung lebih tinggi, sampai membuatku hilang ingatan.
“Kau dari mana? Punya tiket?” tanya seseorang menghampiriku yang sedang duduk dan meneguk bir.
“Dari Indonesia. Tak punya tiket,” jawabku.
“Jauh sekali! Lalu kenapa kau sampai hafal mati dengan nyanyian-nyanyian ini?”
“Ini terlalu sepele. Aku hafal mati. Bahkan lebih hafal nyanyian-nyanyian itu ketimbang rumus turunan aljabar,” kataku.
Entah tanah macam apa Kiev ini, tiba-tiba ia menawariku untuk membeli tiket temannya yang tak bisa datang ke Kiev. Penerbangan si teman dari Liverpool dibatalkan secara sepihak.
“Asal harganya masuk (akal), aku mau,” jawabku.
“Oke, temui aku di Taras Shevchenko, besok, sebelum ke stadion. Aku akan menjualnya dengan harga bagus.”
ADVERTISEMENT
***
Banner Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Banner Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
Aku pernah ingat cerita Mas Dalipin*. Katanya, orang Inggris selalu senang menghabiskan waktu di taman saat musim panas tiba. Siang itu, aku aku seperti menyaksikan pernyataan Mas Dalipin itu di depan mataku.
Ribuan pendukung Liverpool bernyanyi, makan, dan meminum bir di taman Taras Shevchenko dengan bertelanjang dada, seakan mereka baru pertama kali merasakan panasnya matahari.
“Aku menjual ini (tiket pertandingan) 400 euro,” kata orang yang semalam kutemui.
“Aku cuma ada 300 euro,” kataku.
Sebenarnya, aku juga tak yakin kalau uangku sampai 300 euro. Tapi, aku memberanikan untuk menawarnya. Kapan lagi aku bisa menyaksikan pertandingan final Liga Champions di Liverpool End? Begitu pikirku.
“Kalau begitu, mari kita main lempar koin. Siapa yang menang,” ia menantangku.
ADVERTISEMENT
Aku menang.
Bam! Senyuman ini bakalan abadi, meski lesung pipiku tahu bahwa senyuman tersebut adalah senyuman dusta. Senyuman yang —masih menurut perkiraan lesung pipiku—, hanya akan bertahan sampai tengah malam tiba.
Aku abaikan peringatan lesung pipiku.
Kami terus bernyanyi di taman kota itu. Botol bir kian berserakan. Sebagian orang semakin lantang meneriakkan yel-yel. Sebagian lagi, sibuk berbagi optimisme. Membagikan pengandaian yang indah-indah kalau-kalau Liverpool bisa juara tahun ini.
Hingga pada akhirnya, detik jam memaksa kami untuk segera melucuti spanduk-spanduk yang telah dipasang mengelilingi taman, kemudian meminta kami segera bergerak menuju stadion.
Cawan-cawan mulai dibakar. Ekstase kami semua memuncak!
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
Di sisi lain, aku sadar, ada beberapa pasang mata yang menatapku sinis. Sayup-sayup kudengar juga percakapan mereka. “Bagaimana bisa orang Asia itu bisa mendapat tiket pertandingan di tribune kita?” kira-kira begitu pertanyaan mereka.
ADVERTISEMENT
Tak aku hiraukan. Aku tetap masuk dalam kerumunan yang berjalan menuju stadion, lalu ikut mengantre untuk masuk ke stadion. Cerita tentang sinisme orang lokal Liverpool pada orang asing sudah menjadi cerita yang tak asing buatku.
Hal itu cukup mudah dipahami, karena memang banyak orang Liverpool yang sering sekali tak kebagian tiket lantaran dibeli oleh orang lokal. Sedikit malu, dan merasa tak enak, memang, mendengar percakapan yang demikian. Akan tetapi, aku tetap tak peduli. Aku berharap, senyumku ini bisa abadi dan akan kuceritakan pada anak cucuku nanti.
Memang, malam itu malam keparat. Mau dikata apa lagi.
Ternyata senyumku —yang semula akan abadi itu— tak bertahan lama. Bahkan tak bertahan sampai tengah malam, seperti yang sudah diperkirakan lesung pipiku. Dan pada akhirnya, bukan cerita yang indah-indah yang akan aku ceritakan pada anak-cucuku nanti.
ADVERTISEMENT
Anak-cucuku akan kuceritakan tentang bagaimana lemasnya aku ketika melihat Mo Salah harus keluar pada menit ke-31 sambil memegangi bahu. Cerita itu akan aku bubuhi bagaimana Karim Benzema mendapat gol 'gratis' dari Loris Karius. Lalu, akan kututup dengan cerita bagaimana tulang-tulangku yang semula menempel dengan daging seperti dilucuti setelah menyaksikan dua gol dari Gareth Bale.
Ya, pada intinya, anak-cucuku akan tahu bahwa senyumku itu hanya sampai menit ke-31.
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
***
Sampai hari ini aku bahkan hampir lupa untuk mengucapkan terima kasih pada Dua Lipa. Entah apa jadinya jika tak ada Dua Lipa di malam itu. Mungkin senyumku itu tak bisa bertahan selama itu. Sayangnya, setelah berterima kasih pada penyanyi asal Inggris itu, mataku tetap kuyu. Masih belum percaya dengan apa yang aku alami.
ADVERTISEMENT
Tenang… tenang. Ini ujian. Apa yang aku alami ini seperti sihir. Dingin dan menanggul menggigil. Sedingin hari-hari terakhirku di Kiev. Sedingin tulisan ini. Dingin.. dan semakin dingin. Hampir basi, tetapi semoga saja bisa dipanasi di Jakarta.
Ibuku tak perlu tahu cerita yang semacam ini. Ibuku tak pernah tahu kenapa aku bisa menggilai klub sepak bola ini sampai begini rupa. Sewaktu kecil, aku memang tak pernah dikudang untuk menggilai sebuah klub bola.
Sewaktu kecil aku selalu dikudang agar kelak menjadi dokter ataupun pilot. Beliau tak pernah menginginkanku untuk mencintai klub sepak bola atau menjadi supporter klub bola yang jauh di antah berantah sana. Ini murni pilihanku. Jadi, ibu tak perlu tahu.
ADVERTISEMENT
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Liverpool di Kiev. (Foto: Sigit Prasetyo/kumparan)
Seberat apa pun ujian ini, aku harus menghadapinya sendiri. “Kelak engkau sendiri,” begitu pesannya semenjak aku masih dalam ayunan.
Karenanya, aku mohon. Jangan beritahu ibuku. Karena aku akan mengulangi hal ini lagi, lagi dan lagi. Sampai senyumku benar-benar abadi. Sampai lesung pipiku tak mampu lagi menertawakan senyumku.
Ssstt…
====
*Sapaan untuk Yusuf Arifin, Kepala Jurnalisme Kolaborasi kumparan.
**Tulisan ini dibuat oleh Sigit Prasetyo, warga Indonesia pendukung Liverpool yang menonton final Liga Champions di Kiev, Ukraina. Ia menuliskannya kepada wartawan kumparanBOLA, Marini Saragih.