Jurnal: Memaknai Fragmen Sepak Bola Vietnam Melalui My Dinh Stadium

25 Maret 2019 15:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Seketika begitu menginjakkan kaki di Vietnam, saya dan rekan liputan kali ini, Nugroho Sejati, langsung menuju My Dinh National Stadium, Vietnam.
ADVERTISEMENT
Ya, memang kami harus langsung menuju ke sana. Selain karena untuk mengejar pelatih Timnas U-23 Indonesia, Indra Sjafri, kami juga harus ke sana untuk menyaksikan sesi uji lapangan Timnas U-23. Maka, meski badan masih lelah akibat perjalanan dekat-tapi-jauh dari Jakarta ke Hanoi, kami harus tetap mampir.
Singkat kata, sampailah saya dan Jati di My Dinh National Stadium. Dari luar, tampak kegagahan dari stadion yang menjadi markas Timnas Vietnam ini. Area yang luas di tengah kota, diselingi oleh laju kendaraan yang seolah tanpa henti, menjadi pemandangan dari sekeliling My Dinh National Stadium.
Suporter Vietnam menyalakan cerawat di sekitar Stadion My Dinh, Hanoi, jelang laga Vietnam vs Indonesia di babak kualifikasi Piala Asia U-23 2020. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Jati pun mengunggah sejarah dari stadion ini di akun Instagram yang ia miliki. Dalam sekelebat ingatannya, stadion ini adalah stadion yang pernah menjadi saksi dari kedigdayaan Le Cong Vinh, pemain legendaris Vietnam, yang membawa timnya melaju ke perempat final Piala Asia 2007.
ADVERTISEMENT
Dalam sekelebatan ingatan Jati juga, di stadion ini, 15 tahun silam, Timnas Indonesia pernah mengalahkan Vietnam dengan skor 3-0 lewat dua gol dari pemain dari timur Indonesia, Mauly Lessy (Ambon) dan Boaz Salossa (Sorong) plus Ilham Jayakesuma. Saat itu, Timnas Indonesia berlaga di Piala AFF 2004.
"Wah, luas juga pengetahuan sejarah anak ini," ujar saya dalam hati.
Sedangkan, dalam sekelebat ingatan saya, di My Dinh, sosok pemimpin perempuan Vietnam yang saya tidak tahu siapa namanya, melambai-lambaikan tangan kala Vietnam membobol gawang Indonesia. Ia lalu berjingkrak usai Vietnam mampu membobol gawang Indonesia lagi. Itu terjadi saat semifinal leg II Piala AFF 2016 silam.
Suasana usai pertandingan di babak Kualifikasi Piala Asia U-23 2020 Indonesia melawan Vietnam di Stadion My Dinh, Hanoi, Minggu (24/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Yah, yang namanya bangunan memang seperti itu. Ia adalah bukti sejarah cum artefak yang kelak menjadi cara bagi orang mengingat sebuah peristiwa penting yang sudah terjadi. Tapi, khusus untuk My Dinh, apakah ia sekadar bukti sejarah?
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, ia adalah cermin dari sepak bola Vietnam itu sendiri.
***
Dalam sebuah tulisan yang tayang di laman "The Guardian" pada 2016 silam, berjudul "Football in Hanoi, where Premier League clubs trump the Vietnamese champions" yang digubah Thomas Barrett, disebutkan bahwa Vietnam punya potensi besar untuk jadi negara sepak bola yang besar. Talenta sebagai salah satu aspek dasar sudah mereka miliki.
Nguyen Quang Hai sudah menjadi idola lapangan bahkan sejak usianya masih 19 tahun. Nguyen Chong Phuong sekarang sudah bergerak lagi ke Korea Selatan, membela Incheon United setelah sebelumnya sempat main di Jepang. Belum lagi beberapa talenta lain yang sama apiknya macam Nguyen Van Quyet, Nguyen Van Toan, Luong Xuan Truong, serta Nguyen Trong Hoang.
ADVERTISEMENT
Mirip dengan kondisi di Indonesia, Vietnam juga memiliki talenta-talenta yang bisa diandalkan. Barrett juga menyebut bahwa masih ada kemurnian di sepak bola Vietnam, sesuatu yang memang jadi kekhasan tersendiri dari sepak bola Asia Tenggara yang mungkin tidak bisa ditemukan di Eropa sana.
Ya, memang Vietnam sukses menjadi runner-up Piala Asia U-23 2018. Mereka juga berhasil menembus babak perempat final Piala Asia 2019, serta jadi juara Piala AFF dalam dua gelaran: 2008 dan 2018. Sepak bola mereka, dari luar, tampak gagah dengan raihan prestasi dari satu musim ke musim lainnya, mirip seperti My Dinh National Stadium yang terlihat megah dari luar.
Suasana di dalam Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Namun, jika masuk lebih ke dalam lagi, tampak bahwa My Dinh National Stadium masih memiliki borok di sana-sini. Memang, dari segi lapangan, kemegahan itu masih terjaga. Namun, dari segi fasilitas stadion, My Dinh National Stadium masih kalah jauh dibandingkan Stadion Utama Gelora Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Suasana di dalam Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Lift yang gelap, toilet yang tak terurus, debu di kursi tribune, serta beberapa karat di atap stadion serta besi-besi yang ada di sekitaran stadion, membuat stadion ini tampak tidak terurus. Sampah berserakan, ditambah lagi dengan cat-cat tembok stadion yang mengelupas, membuat stadion ini malah terlihat begitu mencekam.
Wastafel di dalam Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Ada satu pengalaman unik lain yang dialami para rekan pewarta Indonesia saat akan menuju ruang konferensi pers. Kurang fasihnya masyarakat Vietnam dalam berbicara bahasa Inggris membuat kami berkeliling mencari ruang konferensi pers tersebut, sampai akhirnya kami menemukan sendiri ruangannya yang ternyata juga sempit dan tidak terlalu bagus.
Dengan statusnya sebagai Stadion Nasional, sudah selayaknya pihak Federasi Sepak Bola Vietnam (VFF) atau pemerintah Vietnam mampu mempermak stadion ini jadi lebih bagus lagi. Kegagahan dan aura yang sudah terbentuk dari stadion ini, seharusnya bisa ditopang dengan lebih apik oleh stadion yang bersih dan terawat.
ADVERTISEMENT
Namun, ada satu hal yang juga bisa ditelisik dari hal tersebut. Dengan tampak "membiarkan" My Dinh National Stadium sedikit terbengkalai, Vietnam seolah ingin menunjukkan wajah dari sepak bola yang mereka miliki. Di tengah gemilang prestasi sejak 2018 sampai awal 2019, sepak bola Vietnam sebenarnya masih memiliki banyak masalah.
Lapangan tenis di dalam Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Selain kalah pamornya V-League dengan liga-liga luar macam Premier League, Bundesliga, maupun La Liga, ternyata memang kondisi sepak bola Vietnam pun dipenuhi oleh korupsi dan skandal pengaturan skor di sana-sini. V-League bahkan pernah menduduki posisi ketiga liga terkorup di dunia.
Pada 2013 silam, salah satu klub V-League, Vissai Ninh Binh bahkan memutuskan mundur dari liga setelah 13 pemainnya ketahuan terlibat dalam skandal pengaturan skor. Sejak sepak bola jadi profesional di Vietnam pada 2000 silam, sudah banyak pelaku sepak bola mulai dari manajer, wasit, dan pemain yang dipenjara karena kasus serupa.
ADVERTISEMENT
Tak heran, dengan kondisi seperti ini, V-League tidak terlalu tenar dibandingkan dengan liga-liga luar dari Eropa. Jangan heran juga bahwa ketika Anda berkunjung ke sini dan berkata bahwa Anda ingin menonton laga sepak bola lokal, mungkin beberapa orang akan menertawakan dan juga mencemooh Anda.
"Buat apa nonton liga yang mungkin sudah diketahui hasilnya?" mungkin begitu yang ada di benak mereka.
***
Pernah ada sebuah adagium yang menyebut bahwa kondisi sepak bola suatu negara mencerminkan kondisi dari bangsa negara itu sendiri. Jika sepak bolanya bagus, maka negara itu maju. Jika sepak bolanya stagnan, berarti negara ini masih punya banyak hal yang mesti dibenahi. Bukan cuma bagi Indonesia, hal itu tampak berlaku juga bagi Vietnam.
ADVERTISEMENT
Sekarang, mereka boleh saja sudah banyak meraih prestasi, menampakkan diri sebagai federasi yang berkembang bahkan sempat mendapatkan penghargaan sebagai federasi paling berkembang di wilayah Asia pada 2016 silam. Mereka dinominasikan meraih ini bersama federasi India dan Malaysia.
Suporter Vietnam di sekitar Stadion My Dinh, Hanoi, jelang laga Vietnam vs Indonesia di babak kualifikasi Piala Asia U-23 2020. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Namun, dari kondisi My Dinh National Stadium yang megah di luar dan masih rusak di dalam, perlu disadari bahwa sepak bola Vietnam masih perlu pembenahan, karena apa jadinya jika hanya etalasenya saja yang baik, sedangkan dalamnya masih bobrok. Ini juga bisa jadi pelajaran bagi Indonesia dalam membenahi sepak bola dalam negeri mereka.
"Ya, intinya kredit harus diberikan pada pemain, klub, dan Park Hang-seo (pelatih Vietnam). Federasi tidak," ujar salah seorang suporter Vietnam di Twitter.
ADVERTISEMENT