Jurnal: Mendadak “Bonek” di Malaysia

28 Agustus 2017 15:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Timnas Indonesia di Shah Alam (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Timnas Indonesia di Shah Alam (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tak terasa sudah sembilan hari saya mengembara di Kuala Lumpur (KL). Menikmati teraturnya tata kota serta mumpuninya transportasi mereka. Menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya menyenangkan, perjalanan dinas saya kali ini juga cukup menarik. Mengapa? Itu karena selama sembilan hari berada di KL, saya harus melakukan perjalanan Jakarta-KL bolak-balik sebanyak enam kali!
Ya, saya harus terbang enam kali dengan jarak tempuh dua jam. Jadi, total saya menghabiskan waktu 12 jam di atas langit. Naik pesawat yang sama, dengan majalah yang sama--sampai bosan saya membacanya. Dari awalnya tak tahu di mana letak tandas (toilet), sampai akhirnya saya mengetahui seluk-beluk Kuala Lumpur International Airport (KLIA).
Menarik, bukan?
Namun, pengalaman saya selama berada di KL tentu tak kalah menarik dengan petualangan saya di bandara. Dan, ada satu momen yang tak akan pernah saya lupakan.
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi ketika saya hendak menuju Stadion Shah Alam untuk meliput partai semifinal SEA Games 2017 antara tuan rumah Malaysia U-22 melawan Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-22 pada Sabtu (26/8/2017) lalu.
Saya berangkat dari Jakarta pada Sabtu pagi dan tiba di KL tengah hari. Setelah menarik napas selama beberapa jam di hotel, saya langsung bergegas menuju stadion pada pukul 16.30 waktu setempat.
LRT di Malaysia. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
LRT di Malaysia. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Ketika itu, saya memiliki alternatif untuk mencapai lokasi pertandingan, yaitu ikut dengan rombongan jurnalis Indonesia yang berangkat dengan bus atau memesan taksi online.
Namun, saya memutuskan untuk tak memilih keduanya. Saya pilih naik LRT (Light Rail Transit) yang kebetulan stasiunnya dekat dengan hotel saya menginap.
ADVERTISEMENT
Jika ditanya, mengapa tak pilih yang mudah saja? Naik bus tak keluar ongkos, tinggal duduk, lalu sampai di stadion. Atau pesan taksi online yang siap menjemput di depan pintu hotel.
Tidak, karena saya mengikuti insting ketika itu. Insting yang mengatakan saya akan dapat “sesuatu” dalam perjalanan nanti. Dan, insting saya berkata benar.
Setelah naik LRT dari Stasiun Bukit Bintang, saya lantas turun di stasiun pusat KL Sentral. Saya harus melanjutkan perjalanan menggunakan KTM (Keretapi Tanah Melayu). Tetapi, saya ragu harus turun di stasiun mana.
Kebetulan, saya lihat sekumpulan orang yang memakai atribut kesebelasan Malaysia di stasiun. Saya menghampiri mereka, dan bertanya apakah hendak menuju Stadion Shah Alam. Dan, ternyata benar.
ADVERTISEMENT
“Kalau begitu, boleh saya bareng?” tanya saya.
“Ya, boleh lah,” jawab salah satu dari mereka.
Jadilah, saya berada di tengah-tengah kumpulan suporter lawan. Mereka pun tersenyum begitu tahu saya berasal dari Indonesia.
Suporter Malaysia (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Malaysia (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
Entah apa makna dari senyumannya. Mungkin juga mereka heran ‘ini orang kok berani-beraninya, di negara orang, jalan bareng dengan suporter lawan pula’.
Saya sih cuek saja. Sepanjang perjalanan kami lantas mengobrol seputar pertandingan. Mereka tentu berharap Malaysia yang melaju ke final, tetapi menghadapi Indonesia juga ngeri-ngeri sedap.
Obrolan kami yang cukup seru itu berakhir ketika tiba di Stasiun Batu Tiga. Kami berpisah. Saya kemudian bertemu lebih banyak suporter Malaysia yang berkumpul di stasiun kecil itu.
ADVERTISEMENT
Setelah keluar stasiun, saya bingung mau naik apa ke stadion. Suporter tuan rumah banyak yang menyetop taksi. Tapi, saya berpikir perjalanan saya bakal sia-sia kalau ujung-ujungnya naik taksi juga.
Bermodal nekat, saya lantas mengikuti rombongan kecil orang beratribut tim Malaysia yang berjalan kaki. Lumayan jauh saya berjalan. Kira-kira 2-3 kilometer. Harus menaiki jembatan penyebrangan yang cukup tinggi pula.
Saya benar-benar tak tahu arah ketika itu. Hanya mengikuti arah angin. Dan, ketika saya turun dari jembatan penyebrangan, kondisi sekitar lantas sepi. Mereka yang tadi berjalan, melanjutkan perjalanannya dengan naik taksi.
Prinsip saya akhirnya goyah juga. Daripada tak sampai tujuan, akhirnya saya pun menyerah dengan ikut naik taksi yang sudah menunggu di tepi jalan. Di dalamnya, saya lihat sudah ada tiga orang penumpang. Sang sopir terus memanggil-manggil saya untuk ikut naik.
ADVERTISEMENT
Timnas U-22 dan dukungan penuh para suporter. (Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas U-22 dan dukungan penuh para suporter. (Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA)
Saya lihat di sekitar sudah tak ada lagi taksi. Setelah memastikan tujuan ke stadion, saya lantas naik. Sampai detik itu, saya berpikir bahwa taksi yang saya naiki ini seperti angkot yang bisa dinaiki siapa saja.
Lagipula, saya juga pernah naik taksi di wilayah Kalimantan yang memang mengangkut penumpang di pinggir jalan. Berbeda dengan Jakarta yang diisi dengan hanya satu orang atau satu keluarga.
Namun, jujur saja hati kecil saya masih ragu. Tiga orang yang bersama saya hanya penumpang biasa atau satu keluarga.
Penasaran, saya tanya seorang remaja yang duduk di samping saya. Tapi, jawabannya dengan Bahaya Melayu tak saya pahami benar. Yang saya tangkap, dia sudah ditunggu salah satu keluarganya di stadion.
ADVERTISEMENT
Oke, jadi mereka adalah penumpang biasa dan tak saling kenal. Tapi, nanti dulu, segala keraguan serta asumsi sotoy saya akhirnya terjawab begitu tiba di gerbang stadion.
“Berapa ongkos yang harus saya bayar?” tanya saya ke remaja tadi.
“Tak usahlah, ayah saya dah bayar tuh,” jawabnya.
Suporter Malaysia di Semi Final Sea Games 2017 (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Malaysia di Semi Final Sea Games 2017 (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
Astaga, jadi mereka satu keluarga. Seorang bapak dan dua anaknya. Lah, terus saya ngapain numpang taksi mereka? Nekat benar saya main masuk saja tadi.
Ah, betapa malunya saya.
Setelah turun, tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada mereka sebelum akhirnya berpisah.
Sepanjang perjalanan dari gerbang ke stadion, saya jadi senyum-senyum sendiri (lebih tepatnya menertawakan diri sendiri) mengingat apa yang baru saja saya lewati.
ADVERTISEMENT
“Ini sih bonek (bondo nekat) namanya,” gumam saya dalam hati.