news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jurnal: Menyusuri Museum Tsunami, Menyusuri Harapan Rakyat Aceh

9 Desember 2017 10:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diorama di Musem Tsunami Aceh. (Foto: ANTARA/Septianda Perdana)
zoom-in-whitePerbesar
Diorama di Musem Tsunami Aceh. (Foto: ANTARA/Septianda Perdana)
ADVERTISEMENT
"Pagi itu, jam 08.17 pagi. Hari Minggu kala itu. Tak pernah aku kira bahwa gempa yang kuat akan menghantam kota Aceh ini. Ibu aku udah tinggalkan rumah lebih dahulu. Gimana nggak? Gempanya kuat sekali."
ADVERTISEMENT
Kodensa membuka percakapan bersama kumparan (kumparan.com) ketika berada di Jalan Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Aceh. Siang itu, cuaca di Serambi Mekah tengah dirundung mendung. Perlahan, hujan mulai turun, walaupun sedikit-sedikit.
Jika ditilik dari sudut jalan, berdirilah kokoh sebuah bangunan berbentuk perpaduan antara gelombang air laut dan juga kapal. Indah dan megah menjadi dua kata yang pas untuk menggambarkannya.
Letak bangunan itu berjarak 500 meter dari masjid kebanggan rakyat Aceh, Masjid Baiturrahman. Bangunan itu tak lain adalah Museum Tsunami Aceh.
Bagi pengunjung yang ingin masuk ke dalam museum, harus terlebih dahulu mengambil tiket di pintu gerbang kedatangan. Letaknya ada sebelah kiri. Kendati demikian, tak perlu was-was untuk merogoh kocek dalam karena kalau kita hanya ingin mengelilingi museum, pihak pengelola tidak memungut biaya.
ADVERTISEMENT
Beberapa langkah setelahnya, sebelum pintu masuk, di sebelah kiri, akan terlihat helikopter polisi dengan keadaan yang telah rusak. Dari sini, Kodensa mengajak kami berpetualang, mengingat tragedi yang terjadi di Aceh 13 tahun silam: gempa maha dahsyat dan gelombang Tsunami Samudera Hindia.
Sejurus kemudian, kami masuk melalui pintu bawah museum itu. Suasana gelap telah menanti. Ada lorong bertinggi 40 meter dengan sisi kiri dan kanan dinding dialiri oleh air. Di tempat itu, ada jalan yang sedikit menurun. Ketika melintasinya, percikan air akan membasahi sepanjang perjalanan.
Ada suara gemuruh air laut yang dipadukan dengan suara-suara teriakan orang. Awalnya pelan, lama kelamaan menjadi kencang. Lantunan ayat-ayat suci Alquran pun turut serta diperdengarkan di ruangan gelap itu.
ADVERTISEMENT
"Paham yang aku dapat, jalan ini menggambarkan situasi orang-orang pas gelombang air laut yang cepat sekali datang. Disapu air, otomatis orang-orang ini lari lah mencari jalan keluar," ucap Kodensa sembari berjalan perlahan meneruskan kisahnya.
Di ujung jalan, ada cahaya. Filosofi di baliknya, kata Kodensa, setelah gelap akan selalu ada terang. Setelah ada musibah akan selalu ada jalan keluarnya.
Di sana kami memasuki ruangan yang tak begitu terang dengan lampu kecil-kecil sebagai penerangnya. Kodensa mengatakan ruangan itu sengaja dibuat redup agar suasana sedih yang dirasa oleh masyarakat Aceh bisa dirasakan pengunjung. Ruangan itu bernama Ruang Kenangan.
Pameran Lukisan di Museum Tsunami Aceh (Foto: Irwansyah Putra)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran Lukisan di Museum Tsunami Aceh (Foto: Irwansyah Putra)
Di situ, ada banyak tembok seperti nisan, namun lebih besar. Di tengahnya terdapat layar dan di layar itu ada slide yang berisi foto-foto saat terjadi tsunami.
ADVERTISEMENT
Foto-foto di ruangan itu diabadikan oleh Bedu Saini. Dia adalah pewarta foto dari media lokal di Aceh. Bedu, yang kala itu tengah berada di alun-alun Simpang Lima, tak jauh dari Masjid Baiturraman, bersiap menuju kantornya. Dari kejauhan, Bedu melihat air besar seketika datang. Sejurus kemudian, dia mengabadikan momen tersebut.
"Nah, foto-foto yang ada di sini adalah karya dia. Tetapi lagi asyik ambil-ambil gambar, teringat dia akan keluarganya. Langsung lah dia pulang dan menitipkan kamera miliknya di salah satu toko di depan dia motret. Teringat dia bagaimana dengan nasib keluarganya," kenang Kodensa.
Bedu pulang dengan tergesa-gesa, namun semua berujung pilu. Dua dari empat anaknya harus terseret arus tsunami.
"Orang toko itu langsung memberikan kamera Bedu ke salah satu media terbesar di Aceh ini. Dari situlah awal mulanya sampai masyarakat kita sampai (orang-orang) belahan dunia sana bisa melihat foto-foto tsunami ini," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Kapal terdampar dekat wilayah bisnis lokal kota Aceh, menyusul Tsunami besar  26 Desember 2004. (Foto: Michael L. Bak via Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal terdampar dekat wilayah bisnis lokal kota Aceh, menyusul Tsunami besar 26 Desember 2004. (Foto: Michael L. Bak via Wikimedia)
Setelah dari ruangan ini, Kodensa mengajak kami menanjak ke satu ruangan dengan bentuk cerobong asap. Pada ruangan itu, di temboknya, tertulislah nama-nama yang didedikasikan untuk para korban tsunami di sekelilingnya, dan jika menatap ke atas, ada cahaya putih bertulisan Allah dalam bahasa Arab. Suasana di ruangan itu gelap, hanya beberapa lampu yang meneranginya dan itu bernama Sumur Doa.
"Di sini, setiap pengunjung berdoa untuk mereka yang telah mendahului kita semua. Di sini pula, maknanya adalah bahwa dalam keadaan gelap akan selalu ada Allah yang akan melihat dari atas," ucapnya.
Setelah tiga ruangan kami lalui dengan gelap, kami beranjak melewati melewati Ramp Cerobong, sebuah jalan yang hampir melingkar, menikung seperti di dalam sebuah kapal pesiar, yang di dekat temboknya ada pagar besi.
ADVERTISEMENT
Ketika melewatinya, ada rasa cemas. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, "Di mana jalan keluarnya?"
Setelah terus berjalan, kami ternyata menuju Jembatan Harapan. Ketika melalui jembatan ini, rasanya seperti melewati air tsunami menuju ke tempat yang lebih tinggi.
Tsunami Aceh 2004. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Tsunami Aceh 2004. (Foto: Wikimedia Commons)
"Kalau ada air datang, orang-orang pasti berlari mencapai tempat yang lebih tinggi. Jalan agak menanjak inilah orang-orang berlari menuju bukit atau gunung-gunung agar bisa menghindari air besar itu," tutur Kodensa.
Saat melewati Jembatan Harapan, akan tepampang di atas langit-langitnya 52 bendera negara dari berbagai belahan dunia yang betuliskan "Damai" sesuai dengan bahasa masing-masing negara. Setelah melewati itu, terlihatlah tiga miniatur kota Aceh sebelum, saat terjadinya, dan setelah terjadinya tsunami.
ADVERTISEMENT
Biasanya, pada lantai itu ada pemutaran film berdurasi 15 menit. Film itu menhelaskan bagaimana awal mula gempa datang, kemudian tsunami menghantam, dan akhirnya datang pertolongan. Namun, pada kesempatan kali ini, ruangan pemutaran film tengah direnovasi.
Setelahnya, kami menapaki tangga untuk ke lantai tiga. Kami memasuki Ruangan Pamer Tsunami. Pada ruangan ini terdapat berbagai barang peninggalan pasca-tsunami. Barang yang ada di sana benar-benar bermacam-macam, mulai dari Alquran, sepada motor, mesin jahit, sampai perhiasan-perhiasan.Semua barang itu diabadikan dalam satu kotak kaca.
Pada ruangan yang sama terdapat juga foto raksasa dan artefak tsunami. Salah satu artefak itu adalah jam besar yang mati saat waktu menunjukkan pukul 08.17. Jam itu adalah jam Masjid Raya Baiturrahman.
ADVERTISEMENT
"Setiap 26 Desember, ada pameran foto-foto di musem ini. Tapi, kayaknya mulai tahun ini (2018, red) udah nggak akan ada lagi. Semua orang menangis, sedih dan (merasa) pilu pasti kalau mengingat-ngingat kejadian itu," ucap Kodensa.
Artefak lainnya adalah miniatur-miniatur tentang tsunami. Misal, orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut dan berlarian menyelamatkan diri saat gelombang melebihi tinggi pohon datang menerjang mereka.
Kemudian di sisi lainnya, ada foto yang menunjukkan warga Aceh yang mulai membangun masa depannya dengan kembali bangkit. Bersama-sama masyarakat maju dari keterpurukan, kembali membangun Aceh sebagai provinsi.
Di ruangan ini juga ada berbagai nama negara yang ikut menyumbang kepada Indonesia untuk pembangunan Aceh. Diertakan pula nominal berapa dolar yang disumbangkan untuk membangun Aceh.
ADVERTISEMENT
Di luar dugaan, melihat bangunan Museum Tsunami Aceh yang besar dan membangkitkan penasaran itu, saya berpikir bahwa perjalanan kami masih jauh. Tetapi, ternyata memang hanya ada empat ruagan itu yang bisa dimasuki karena ruangan lainnya adalah ruangan-ruangan administrasi.
"Yang paling membuat penasaran itu kan melewati jembatan gelap, sumur doa, dan jembatan harapan tadi," ucap Kodensa sembari mengajak kami ke pintu keluar.
====
*Jurnalis kumparan, Alan Kusuma, mendatangi Aceh untuk meliput turnamen sepak bola Aceh World Solidarity Cup (AWSC), yang merupakan bagian dari peringatan bencana tsunami Aceh.