Jurnal: Meresapi Cinta dan Air Mata Suporter PSM Makassar

27 Juni 2019 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain PSM Makassar melakukan selebrasi bersama para pendukungnya usai pertandingan melawan Lao Toyota dalam babak penyisihan Piala AFC 2019 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (13/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemain PSM Makassar melakukan selebrasi bersama para pendukungnya usai pertandingan melawan Lao Toyota dalam babak penyisihan Piala AFC 2019 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (13/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak aktif menulis soal sepak bola pada 2016, topik favorit saya adalah suporter. Maka, ketika redaktur saya, Haikal Pasya, memberi tugas untuk secara khusus meliput suporter PSM Makassar yang pada Rabu (26/2019) akan mengawal Marc Klok dan kawan-kawan berlaga pada ajang AFC Cup melawan Becamex Binh Duong, di Stadion Pakansari, Cibinong, saya antusias bukan main.
ADVERTISEMENT
Saking antusiasnya, saya nyaris tak tidur pada hari sebelum momen liputan tersebut. Alasan utama jelas karena agak gugup hehehe... Toh, ini momen liputan dengan topik favorit saya yang pertama di kumparan.
Namun, di luar itu, saya amat sibuk melakukan riset dengan membaca sejumlah literatur serta mengontak beberapa kenalan yang merupakan orang Makassar. Tujuannya tentu saja agar momen menyenangkan ini tak berakhir dengan tulisan yang 'sekadar beres'.
Sayangnya, riset yang saya lakukan seakan tak berarti karena, utamanya, saya tak menemui sesuatu yang membuat suporter PSM menonjol. Atau, dalam kata lain, ciri khas mereka. Kira-kira semisal beberapa suporter yang pernah saya liput dan tulis secara mendalam sebelumnya, seperti Brigata Curva Sud dengan koreografi atraktif mereka, atau suporter Sriwijaya FC yang punya 'tiga warna'.
ADVERTISEMENT
Redaktur saya memang sudah memberi arahan. Sangat spesifik dan menarik bahkan, yakni untuk membahas soal suporter PSM yang harus melintas pulau guna nyetadion di kandang sendiri. Oke, masalah selesai.
Namun, sekali lagi, karena ini topik favorit saya, saya ingin lebih dari itu. Kalau pun pada akhirnya tidak diselipkan pada tulisan yang menjadi tugas, setidaknya saya punya bahan buat blog yang akhir-akhir ini memang kembali saya isi.
Sayangnya, sekeras apapun saya berpikir, hal tersebut tak kunjung menyelinap di kepala. Alhasil, berangkatlah saya ke Cibinong dengan ide dasar yang semuanya berasal dari redaktur tadi.
Sepanjang perjalanan menuju Cibinong, saya coba move on, yakni dengan berpikir ihwal akan seperti apa bentuk tulisannya nanti, seperti apa judulnya, serta bagaimana lead-nya. Maksudnya, meskipun saya tak bisa mendapat sesuatu yang benar-benar menjadi ciri khas PSM, tulisan yang akhirnya dibikin nanti bisa punya jalinan cerita yang terlihat menarik dan unik. Setidaknya dan semoga.
ADVERTISEMENT
Tapi, lagi-lagi, tak terpikirkan sama sekali. Hingga kemudian saya sudah tiba di Cibinong, dan langsung menuju ke Stadion Pakansari.
Di muka stadion berkapasitas sekitar 40 ribu tersebut, saya bersua beberapa suporter tim Juku Eja basis Jabodetabek. Mereka mendaulat diri sebagai 'Gue PSM'. Salah satu di antaranya, Daeng Iwa, bercakap cukup panjang dengan saya.
Daeng Iwa (kanan) bersama anak dan tiga orang rekannya di Stadion Pakansari, Bogor. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
"Suporter-suporter di sana (Makassar) pasti kecewa gak bisa main di rumah. Tapi saya yakin anak-anak bakalan banyak yang tetap datang. Mereka udah telepon saya juga. Ini kan pertandingan penting. Kita statusnya tuan rumah," Daeng Iwa berujar.
"Walaupun tuan rumahnya harus lintas pulau gini?" saya menimpali.
"Jelas, ya. Itulah cinta."
Beng... Bumi terasa bergetar, langit terbelah menjadi dua bagian, dan saya tiba-tiba mendapat ide untuk inti cerita: Cinta. Ya, cinta. C.I.N.T.A.
ADVERTISEMENT
Kata yang sebetulnya bagi saya agak menggelikan tersebut, entah mengapa, seketika memberi saya gambaran seperti apa tulisan ini nanti: membaginya menjadi dua babak yang masing-masing babaknya berkaitan erat dengan cinta.
Babak pertama tentu saja berisi bahasan soal cinta dalam wujud 'perjuangan' para suporter yang harus menempuh ribuan kilometer guna menyaksikan PSM berlaga di 'kandang sendiri'. Sementara, babak kedua berisi bagaimana cinta dalam wujud 'dukungan' para suporter selama Wiljan Pluim dan kawan-kawan berlaga. Momen menyesakkan yang terjadi di akhir pertandingan, sayangnya, memaksa saya untuk menambahkan 'babak ketiga': Tangisan.
Adapun, soal pembagian babak ini, saya terinspirasi dari film berjudul 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak' yang pada akhirnya juga saya nukil menjadi sub-judul tulisan.
ADVERTISEMENT
Babak Pertama: Perjuangan
Berapa jarak yang mesti ditempuh seorang suporter untuk menyaksikan tim kebanggaan mereka berlaga secara langsung tatkala menjadi tuan rumah?
Kalau pertanyaan itu diajukan ke saya, sih, jawabannya akan seperti ini: 170 kilometer. Ini adalah jarak yang membentang antara Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, dengan rumah saya yang letaknya agak di pelosok Kabupaten Muara Enim sana. Ya, saya suporter Sriwijaya FC, tim yang jadi korban politik itu.
Bagi saya, jarak sedemikian rupa sudah amat jauh. Tak heran bila hingga kini saya baru sekali duduk di tribune Jakabaring. Itu pun karena kebetulan tengah berada di Palembang.
Namun, rupanya jarak tersebut masih belum ada apa-apanya. Ada yang mesti menempuh jarak berkali-kali lipat lebih jauh lagi guna menyaksikan tim kebanggaan berlaga di 'kandang sendiri'. Mereka adalah suporter PSM Makassar.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, PSM tak bisa bermain di kandang mereka pada ajang AFC Cup 2019. Stadion Mattoangin tak lolos verifikasi AFC. Adapun, Stadion Barombong yang tadinya direncanakan sebagai kandang baru PSM, pembangunannya tak kunjung usai.
Alhasil, mereka terpaksa berkandang sementara di Stadion Pakansari, Cibinong, dan para suporter mesti merogoh kocek agak dalam sekaligus memakai banyak waktu untuk menyaksikan PSM berlaga.
Suasana di Stadion Pakansari sehari menjelang laga. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Alam, seorang wirausahawan, adalah salah satu suporter tersebut. Untuk sampai ke Pakansari, ia berangkat langsung dari Makassar dan mesti menempuh jarak sekitar 1.700 kilometer.
Yang menarik, Alam pergi dengan menaiki kapal laut. Saya agak tercengang saat tahu bahwa ia berangkat seorang diri. Apalagi setelah tahu ia menghabiskan waktu tiga hari di atas laut sebelum sampai di Pakansari. Saya lantas bertanya sedikit perihal perjuangan panjangnya tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jalan jauh gini, buat nonton pertandingan kandang, pasti buang banyak uang dong, Bang?" tanya saya.
"Tak masalah itu. Demi PSM," ucap Alam singkat.
"Terus selama di sini tinggal di mana?"
"Itu di basecamp 'Gue PSM', di Jakarta. Beberapa yang datang dari Makassar memang tidur di sana. Tidak cuma saya," katanya lagi.
Seperti yang diucapkan Alam, suporter PSM yang sengaja berangkat dari Makassar memang tak hanya dirinya. Ada beberapa orang lagi, yang berdasarkan penjelasan Alam, jumlahnya bisa mencapai ratusan.
Foto bersama suporter PSM Makassar di Stadion Pakansari, Bogor. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Arif, misalnya, yang pergi dengan menggunakan pesawat dan baru sampai pada Rabu (26/6) pagi. Adapula Diandra bersama dua rekannya, Bayu dan Reza, yang juga mendarat pada saat yang sama, Teddy bersama istrinya yang bahkan sengaja membolos kerja, hingga tentu saja Daeng Uki, sang panglima suporter PSM.
ADVERTISEMENT
Ya, Daeng Uki memang selalu menyempatkan diri hadir langsung di stadion tatkala PSM berlaga. Bahkan, pada pertandingan tandang yang mesti menempuh jarak amat jauh sekalipun, seperti saat Juku Eja berlaga di Vietnam melawan Becamex pada leg pertama, ia hadir. Apalagi sekadar bermain 'kandang' seperti ini. Yahh... meski jaraknya juga tak bisa dibilang dekat.
Saya bertemu dengan Daeng Uki tak lama setelah obrolan singkat dengan Alam di sekitar pintu masuk stadion. Saat itu, Daeng Uki tampak sibuk meladeni para suporter yang mengajaknya berswafoto ria. Tak jarang ia terlihat tersenyum, tertawa, dan sesekali melontarkan candaan.
Salah satu candaan yang paling saya ingat adalah ketika ia berkata bahwa setelah berfoto dengannya, para suporter wajib membeli dagangan yang tengah dijajakan Alam, yang sebagian besar berupa jersi PSM Makassar, kala itu.
ADVERTISEMENT
"Ini kalau habis foto harus beli jersi Alam. Itu syaratnya," ujar Daeng Uki yang direspons oleh tawa para suporter di sekitar sana.
Alam (kanan), seorang suporter PSM, saat menjajakan dagangannya. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Candaan itu membuat saya yakin bahwa sosok bernama Uki Nugraha ini adalah orang yang ramah. Dan, ternyata benar. Saya pun lantas menanyakan beberapa hal yang semuanya ia jawab sembari menyunggingkan senyum.
"Kapan sampai di sini, Daeng?" tanya saya setelah mengenalkan diri.
"Saya tiba tadi malam ya, naik pesawat, dan insya Allah besok pagi mungkin sudah pulang," jawabnya.
"Yang dari Makassar kira-kira ada berapa?"
"Kurang lebih 500-an. Kita berangkatnya pisah-pisah. Ada yang pakai pesawat, naik kapal laut. Tapi yang rombongan juga ada," jawab Daeng Uki lagi.
"PSM kan salah satu tim besar dan tertua di Indonesia, tapi mereka enggak punya stadion yang bisa dibilang memadai sehingga terpaksa berkandang di sini. Mattoangin gak lolos verifikasi, sedangkan Barombong belum beres-beres. Tanggapan Daeng gimana?" saya kembali bertanya dan langsung dijawab Daeng Uki dengan cukup panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam jawabannya, ia berkata bahwa ada kekecewaan dan kegelisahan yang dirasakan. Terlebih, prestasi PSM tengah menaik dan berbagai hal menyangkut stadion memang seakan tak berkembang sama sekali. Padahal, manajemen PSM sudah pernah disentil PT LIB jelang Liga 1 musim lalu digelar.
Namun, kata dia, suporter PSM sejati tak akan mempermasalahkan di stadion mana tim kebanggaan mereka mesti berkandang. Apa yang Anda lihat sendiri hari ini, katanya lagi kepada saya, adalah salah satu buktinya.
"Inilah bentuk fanatisme teman-teman, kecintaan terhadap timnya. Tidak harus berpikir jauh jarak, apa yang harus dikorbankan, pekerjaan, sekolah, yang penting demi PSM," ucap Daeng Uki.
Meski begitu, Daeng Uki tak memungkiri bahwa ia berharap agar laga kandang PSM, terlebih untuk partai penting seperti ini, bisa digelar di Makassar.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap ke depannya bisa menjadi pelajaran buat kita, terutama stakeholder yang ada di Makassar. Bagaimana ke depannya hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi. Alangkah enaknya kalau pertandingan seperti ini bisa dilakukan di Makassar," katanya.
Saat saya tanya apakah ia lebih memilih Stadion Mattoangin direnovasi besar-besaran atau Stadion Barombong segera diselesaikan, Daeng Uki menjawab, "Kami tidak ada masalah di stadion mana pun. Mau Mattoangin, mau Barombong. Yang penting sesuai standar," ujarnya.
"Dan di Makassar.. " saya menyambung ucapannya.
"Ya, itu sudah jelas," pungkas Daeng Uki.
Babak Kedua: Dukungan
Setelah sekitar dua jam berada di luar stadion guna berbincang dengan sejumlah suporter PSM, saya akhirnya mulai berjalan masuk. Sesampainya di tribune timur, saya langsung berjalan menuju bagian depan, berjarak beberapa meter saja dari Daeng Uki yang duduk di atas pagar pembatas. Saya lantas sedikit menaiki pagar pembatas tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari sana, saya bisa dengan jelas melihat ratusan suporter 'Juku Eja' yang hadir. Taksiran saya jumlahnya 800 atau 900 orang. Atau mungkin 1000-an. Sekitar itu.
Saat itu, sebagian besar dari mereka tengah duduk. Namun, tak lama, mereka langsung serentak berdiri ketika para pemain PSM masuk ke lapangan pertandingan. Ada Marc Klok, Rasyid Bakri, hingga Wiljan Pluim dan beberapa pemain lain. Singkat cerita, pertandingan pun digelar dan dimulailah nyanyian-nyanyian yang berasal dari ratusan mulut suporter PSM yang hadir.
Suasana di tribun timur Stadion Pakansari. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Sepanjang pertandingan, nyanyian-nyanyian tersebut tak pernah berhenti. Tiap kali satu nyanyian berakhir, para suporter PSM yang berdiri sembari melompat-lompat langsung melanjutkannya dengan nyanyian lain yang sesekali juga diselingi yel-yel.
Dari sekian banyak nyanyian, tak satu pun yang menyasar tim atau suporter lawan semisal 'tim a dibunuh saja' atau 'tim b anj***'. Nyanyian yang berdendang benar-benar hanya sebagai bentuk dukungan kepada PSM. Kalau pun tim lawan merasa tertekan, ya, itu berarti karena lantangnya gema nyanyian tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari sini, saya paham mengapa PSM tak memiliki musuh dan tak dibenci sebagaimana sejumlah suporter yang ada di Indonesia. Toh, mereka memang sama sekali tak berusaha untuk menjadi yang dibenci. Nyanyian-nyanyian itu adalah salah satu buktinya.
Daeng Iwa memimpin yel-yel suporter PSM Makassar. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Saya lantas membayangkan bakal seperti apa bila saya bisa hadir langsung di kandang PSM sebenarnya, Stadion Mattoangin. Tentu akan menjadi pengalaman tak terpermanai.
Babak pertama pertandingan hari itu, di sisi lain, sudah mendekati ujung dan tampak akan berakhir dengan skor 0-0. Namun, jelang wasit meniup peluit, Wander Luiz, pemain Becamex, tiba-tiba mencetak gol melalui sundulan kepalanya. PSM pun tertinggal 0-1 dan berada pada situasi sulit untuk lolos ke babak berikutnya lantaran agregat kini menjadi 0-2.
ADVERTISEMENT
Sontak, para suporter PSM yang sedari tadi berisik, agak terdiam. Gambarannya adalah ketika kamu berada di dalam kamar mandi seorang diri dan mematikan keran air yang derasnya minta ampun. Sunyi. Namun, Daeng Uki langsung berteriak. Katanya, "Kenapa jadi diam ini. Pertandingan beleum selesai. Masih ada waktu. Ayoo...!"
Para suporter PSM lantas kembali bernyanyi hingga akhirnya peluit ujung babak pertama berbunyi.
Pada babak kedua, PSM meningkatkan tekanan. Berbagai peluang berhasil didapat. Pada saat bersamaan, para suporter meningkatkan intensitas nyanyian mereka. Semakin lama semakin keras. Semakin kencang. Terlebih, ketika PSM berhasil menyamakan kedudukan lewat gol bunuh diri tim lawan pada menit ke-75.
Hal semacam ini terus berlanjut pada menit-menit berikutnya hingga PSM berhasil membalikkan keunggulan melalui Aaron Evans. PSM sendiri menguasai laga, sedangkan nyanyian para suporter semakin menggema.
ADVERTISEMENT
Babak Ketiga: Tangisan
Memasuki akhir pertandingan, sayangnya, serangan-serangan PSM tampak buntu. Skor tak kunjung berubah. Hal itu lantas sedikit mengubah apa yang terjadi di tribune tempat saya berada. Yang saya lihat, para suporter memang masih bernyanyi dengan sangat lantang dan keras seperti sebelumnya. Namun, tak sedikit di antara mereka yang mesti bernyanyi dengan air mata yang mulai menggenang.
Seorang suporter PSM terlihat menangis ketika memasuki pengujung laga. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Di pagar tribune, Daeng Uki juga masih bernyanyi. Tapi, kedua tangannya kali ini membentuk simbol tengah berdoa. Saya berjalan agak mendekat ke arahnya. Lalu tiba-tiba air matanya juga sedikit menggenang.
Pada akhirnya, skor benar-benar tak berubah hingga pertandingan usai. PSM menang, tetapi gagal melaju ke babak berikutnya.
Bermenit-menit kemudian, tepat setelah para pemain dan suporter menyanyikan anthem PSM seusai laga, yang merupakan rutinitas mereka, tribune timur mulai berangsur-angsur ditinggalkan pengunjungnya, termasuk saya.
ADVERTISEMENT
Saya berjalan pelan menaiki tangga menuju lorong keluar stadion. Ketika mendekati lorong, saya berbalik badan dan melihat ke arah tempat saya berada sebelumnya. Di sana, Daeng Uki yang kali ini sedikit berpindah, terlihat duduk di tribune dengan mata yang menyorot tajam ke arah lapangan. Sesekali ia tersenyum tatkala beberapa suporter PSM mendatanginya, sedikit mengajak citcat, dan meminta berswafoto.
Daeng Uki di Stadion Pakansari. Foto: Angga Septiawan Putra/kumparan
Melihat momen itu, seketika insting jurnalis saya berteriak untuk turut mendatanginya dan meminta pendapat soal pertandingan yang berujung kurang mengenakkan bagi PSM itu.
Saya sudah berjalan beberapa langkah. Dua-tiga anak tangga saya turuni. Namun, saat semakin dekat, tiba-tiba saya berhenti dan memilih untuk mengurungkan niat.
Saat itu, saya berpikir bahwa pertanyaan 'bagaimana tanggapan terhadap hasil PSM barusan?' justru hanya membuat saya tampak bodoh. Sebab, air mata yang sebelumnya terlihat agak menggenang di mata Daeng Uki, juga sejumlah suporter PSM lain, sudah dengan sangat jelas menggambarkan semuanya.
ADVERTISEMENT
Itulah cinta. Ia sudah terjelaskan tanpa perlu dijelaskan.