Juventus dan Inter: Perseteruan Duo Culas

7 Desember 2017 13:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
"Inter, aku membencimu." (Foto: AFP/Roberto Salomone)
zoom-in-whitePerbesar
"Inter, aku membencimu." (Foto: AFP/Roberto Salomone)
ADVERTISEMENT
"Saya bisa saja menuntut Gigi Simoni atas segala yang dia katakan tentang saya," kata Piero Ceccarini dalam sebuah wawancara awal Februari 2017 lalu dan di situ, Ceccarini sedang berbicara mengenai insiden yang sudah terjadi hampir 20 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Kata orang, para suporter sepak bola punya ingatan pendek dan itu pun tidak salah. Seringkali, mereka bisa dengan mudah menyerang seseorang karena satu kesalahan tanpa mengindahkan apa yang seseorang itu sebelumnya telah lakukan. Romelu Lukaku, misalnya, menjadi salah satu sasaran tembak favorit suporter Manchester United musim ini setelah keran golnya sempat macet. Padahal, pada awal-awal musim, tiada kemenangan United yang diraih tanpa kontribusi Lukaku. Sependek itulah memori para suporter sepak bola.
Namun, tentu saja perkara panjang pendeknya ingatan itu kontekstual. Ada beberapa hal yang selalu terekam dan tak pernah mati. Biasanya, ketika sebuah momen sampai tertanam begitu dalam, ada signifikansi yang luar biasa darinya, entah itu baik maupun buruk.
Apa yang dilakukan Ceccarini, misalnya. Walau "dosa" itu sudah dia lakukan dua dekade silam, tidak pernah ada maaf dari para tifosi Internazionale untuknya. Jika Serie A musim 1997/98 adalah "la grande ruberia" ("perampokan besar"), maka seharusnya, Piero Ceccarini sudah mendekam di bui.
ADVERTISEMENT
Nyatanya tidak begitu. Ceccarini, sampai detik ini, masih bebas. Bahkan, tiap kali ditanyai soal "dosa" itu, dirinya selalu bersikeras bahwa dia tidak bersalah. Malah, menurut Mark Neale dalam kolomnya di The Guardian, seiring bertambahnya tahun, keyakinan Ceccarini itu justru semakin hebat saja.
"18 tahun telah berlalu dan saya masih yakin kalau kontak itu tidak seharusnya dihukum dengan tendangan penalti," tegas Ceccarini. "Saya bilang ke (Gianluca) Pagliuca, kalau ini adalah olahraga basket, Ronaldo-lah yang melakukan pelanggaran."
Kontak yang dibicarakan Ceccarini itu terjadi antara Ronaldo Luiz Nazario de Lima dengan Mark Iuliano. Ronaldo kala itu merupakan penyerang andalan Inter, sedangkan Iuliano adalah salah satu palang pintu milik Juventus.
Insiden itu terjadi pada partai Serie A pekan ke-30. Ketika itu, hanya ada 18 klub di Serie A dan musim pun tinggal menyisakan empat laga lagi. Namun, Inter punya tugas maha berat. Walau cuma tertinggal satu angka dari Bianconeri, mereka harus bertandang ke Stadio delle Alpi di Turin.
ADVERTISEMENT
Kedua tim ketika itu memiliki nama-nama kelas dunia di skuatnya. Dari kubu tuan rumah ada Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi, Didier Deschamps, Edgar Davids, dan tentu saja, Alessandro Del Piero. Sementara itu, tim tamu datang dengan diperkuat pemain-pemain macam Diego Simeone, Youri Djorkaeff, Gianluca Pagliuca, Beppe Bergomi, dan Ronaldo.
Laga itu, seperti sudah bisa diduga, berjalan sengit. Dengan tempo cepat, kedua tim berusaha untuk mencetak gol secepat mungkin, sebanyak mungkin. Akan tetapi, ketika babak pertama usai, hanya ada satu gol yang tercipta dan gol itu berasal dari sepakan kaki kiri Alex Del Piero. Sampai titik itu, tidak ada masalah. Juventus unggul karena mereka memang pantas untuk unggul.
Akan tetapi, pada babak kedua, narasi berubah drastis. Inter yang tertinggal berupaya dua kali lipat untuk membobol gawang Angelo Peruzzi. Ronaldo yang sebelumnya pun sudah menyulitkan kemudian diberi sosok pendamping bernama Ivan Zamorano.
ADVERTISEMENT
Ronaldo dan Inter bak pasangan yang dikutuk. (Foto: Claudio Villa/Allsport)
zoom-in-whitePerbesar
Ronaldo dan Inter bak pasangan yang dikutuk. (Foto: Claudio Villa/Allsport)
Inter pun semakin percaya diri. Namun, mereka kemudian akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Keberuntungan, atau dalam hal ini Piero Ceccarini, tidak berpihak pada mereka.
Semua bermula dari insiden pada menit ke-69 yang melibatkan Diego Simeone dan Edgar Davids. Dalam sebuah upaya perebutan bola, Simeone justru menendang kaki Davids dan hal ini berujung pada sebuah perkelahian kecil. Seharusnya, di situ baik Simeone maupun Davids langsung diusir wasit. Akan tetapi, Ceccarini bergeming dan menganggap itu sebagai insiden biasa. Tendangan bebas diberikan untuk Juventus.
Juventus gagal memanfaatkan tendangan bebas itu. Malah, bola kemudian berhasil dikuasai Inter dan berujung pada sebuah serangan balik yang kemudian berakhir dengan insiden antara Ronaldo dan Iuliano itu. Prosesnya tidak penting karena memang poinnya bukan di situ. Yang jelas, dalam insiden itu terlihat bagaimana Ronado dijatuhkan oleh Iuliano dengan tubuhnya. Celaka bagi Inter karena Ceccarini tidak berbuat apa-apa.
ADVERTISEMENT
Para pemain Inter, tentu saja, memprotes keras keputusan itu, sampai-sampai mereka tidak sadar kalau bola sudah berada di kaki Davids. Pemain asal Belanda itu kemudian mengirim bola kepada Zidane yang dengan segera menyodorkan bola kepada Del Piero. Ketika Del Piero merangsek masuk ke kotak penalti, dia dijatuhkan oleh Taribo West. Kali ini, Ceccarini meniup peluitnya.
Amarah para pemain serta ofisial Inter pun akhirnya sampai di ubun-ubun. Semua orang mengerubungi Ceccarini, termasuk Pagliuca yang sampai mengejar sang pengadil dan Gigi Simoni yang keluar dari bangku cadangan. Upaya itu tidak berhasil. Penalti tetap diberikan dan Simoni diusir keluar lapangan.
Del Piero sendiri akhirnya gagal mengeksekusi penalti itu karena Pagliuca yang sudah terkecoh ternyata masih mampu menyelamatkan bola. Para pemain Inter melihat itu sebagai sebuah pertanda. Mereka pun terus menggencarkan serangan dan bahkan, berhasil membobol gawang Peruzzi. Sayangnya, oleh Ceccarini, gol yang dicetak Zamorano itu dianggap tidak sah karena menurutnya, Zamorano sudah terlebih dulu melanggar sang kiper. Sampai laga berakhir, skor 1-0 untuk kemenangan Juventus tetap bertahan.
ADVERTISEMENT
Juventus pun pada akhir musim berhasil menjadi juara. Meski Inter akhirnya mendapat gelar "hiburan" berupa trofi Piala UEFA, bagi mereka itu semua tidak cukup. Menurut hemat mereka, seharusnya ada dua gelar yang mereka raih, tetapi itu tidak terwujud karena "la grande ruberia" itu.
Kesumat Inter terhadap Juventus pun semakin dalam saja. Pasalnya, itu bukan pertama kalinya mereka dicurangi oleh "Si Nyonya Tua". Hampir empat dekade sebelumnya, sebuah insiden yang tak kalah memalukan sudah sempat terjadi.
Narasinya mirip. Pada musim 1960/61, Inter sedang berusaha mengejar Juventus yang ada di peringkat pertama Serie A. Pada April 1961, saat pengujung musim sudah di depan mata, Inter harus bertamu ke Stadio Comunale di Torino (sekarang Stadio Olimpico Grande Torino) untuk menantang Juventus.
ADVERTISEMENT
Laga itu, tentu saja, mendapat perhatian besar dari khalayak hingga akhirnya, penonton di Stadio Comunale membeludak. Ada sekitar 5 ribu orang yang tidak kebagian tempat duduk di tribune dan mereka pun menyaksikan laga dari sentelban. Sampai di sini sebenarnya tidak ada masalah.
Akan tetapi, saat laga baru berusia 30 menit, para suporter Juventus menyerbu lapangan. Wasit pun, mau tidak mau, menyetop pertandingan.
Menurut aturan yang berlaku, dengan situasi seperti itu, Juventus seharusnya dinyatakan kalah 0-2 dan mereka pun sebelumnya sudah pernah diberi "hadiah" semacam ini. Akan tetapi, mereka kemudian mengajukan banding kepada FIGC dan banding itu diterima. Laga kedua tim pun harus diulang.
Tentu saja, Inter tidak menerima keputusan itu, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Akhirnya, Angelo Moratti (Presiden Inter) dan pelatih Helenio Herrera sepakat untuk menyampaikan protes mereka dengan cara unik: mengirimkan tim primavera untuk bertanding melawan Juventus.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, Juventus pun menang 9-1 atas tim junior Inter itu. Di akhir musim, Juventus berhasil keluar sebagai kampiun Serie A.
Apa yang terjadi pada musim 1960/61 itu memang sangat sulit diterima oleh para Interisti karena mereka pun melihat adanya kejanggalan. Adapun, kejanggalan yang dimaksud adalah fakta bahwa jabatan presiden FIGC saat itu dipegang oleh bos Juventus, Umberto Agnelli (ayah Andrea Agnelli). Jika fans Inter menaruh curiga, itu sangat bisa dimaklumi. Dari sinilah rivalitas sengit Juventus dan Inter itu lahir. Pada tahun 1967, jurnalis sepak bola legendaris, Gianni Brera, memberi julukan Derby d'Italia untuk rivalitas antara keduanya.
Semua itu, pada akhirnya mencapai puncak pada 2006 ketika Juventus dipaksa turun ke Serie B dan menyerahkan dua gelar juara karena dianggap bersalah dalam kasus Calciopoli. Bagi fans Inter, ini adalah keadilan, tetapi bagi fans Juventus, ini adalah akal-akalan. Tak heran jika kemudian istilah "Farsopoli" menyeruak.
ADVERTISEMENT
Moggi dalam sidang Calciopoli. (Foto: AFP/Giulio Piscitelli)
zoom-in-whitePerbesar
Moggi dalam sidang Calciopoli. (Foto: AFP/Giulio Piscitelli)
Pada skandal Calciopoli itu, Juventus memang tidak sendiri. Selain mereka, ada pula Milan, Lazio, dan Fiorentina. Namun, hanya Juventus yang sampai harus turun ke Serie B dan ini, tentu saja, merupakan sumber kebahagiaan tak terperi bagi para Interisti.
Namun, klaim Juventus bahwa Calciopoli ini merupakan akal-akalan belaka sebenarnya tidak salah-salah juga. Ada tiga bukti kuat yang senantiasa mereka pegang kukuh. Pertama, ini adalah skandal yang diungkap dengan penyadapan telepon dan menyadap telepon adalah spesialisasi Inter. Kedua, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Inter pun bersalah tetapi bukti-bukti itu tidak pernah sampai pengadilan. Terakhir, Juventus (lebih tepatnya dua petinggi mereka, Luciano Moggi dan Antonio Giraudo) dinyatakan tidak bersalah pada 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
Untuk penyadapan telepon ini, nama Marco Tronchetti-Provera layak dikemukakan. Pasalnya, dia adalah salah satu petinggi Inter yang juga merupakan bos dari TIM (Telecom Italia). Sebelum Calciopoli menyeruak, Inter sudah pernah melakukan penyadapan telepon dan hal itu dilakukan Massimo Moratti terhadap pemainnya sendiri, Christian Vieri.
Kemudian, untuk soal bukti itu, dalam persidangan awal memang semuanya begitu memberatkan Juventus sehingga mendemosi mereka tampak sebagai sebuah keputusan yang tidak mungkin salah. Namun, beberapa tahun berselang, lewat penyelidikan yang dilakukan Carabinieri, ditemukanlah adanya kejanggalan dalam penyampaian bukti itu sehingga akhirnya, Corte di Cassazione (Mahkamah Agung Italia) memutuskan bahwa "bukti yang ada tidak mendukung tuntutan yang diajukan".
Walau begitu, semuanya sudah terlambat. Walaupun pada awalnya rivalitas Juventus dan Inter ini hanyalah konsekuensi dari kesuksesan keduanya, rivalitas ini kemudian berubah menjadi permusuhan yang mendarah daging. Bagi Juventus, Inter adalah merda dan begitu pula sebaliknya. Kedua tim ini pun, rasanya, bakal selalu terjebak dalam lingkaran ini sampai akhir zaman nanti.
ADVERTISEMENT
=====
*) Derby d'Italia antara Juventus dan Internazionale akan tersaji pada Minggu (10/12/2017) dini hari pukul 02.45 WIB di Allianz Stadium, Turin.