news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Karena Inggris Memang Tidak Butuh Playmaker

4 Juli 2018 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekik girang para pemain Inggris. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pekik girang para pemain Inggris. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
Sebuah turnamen tidak hanya bisa dimenangi dengan bermain cantik. Perlu cara lain untuk mendapatkan gelar, termasuk mengubah wajah. Dan itu dipraktikkan oleh Gareth Southgate di Tim Nasional (Timnas) Inggris.
ADVERTISEMENT
Ada 23 pemain yang dipanggil oleh Southgate untuk memperkuat Inggris di Piala Dunia 2018. Tujuh di antaranya adalah gelandang dan tak ada satu pun pemain yang berperan sebagai pengatur serangan atau playmaker. Dele Alli? Bukan. Jesse Lingard? Juga bukan.
Permasalahan tersebut didasari oleh minimnya ketersediaan playmaker berkebangsaan Inggris saat ini. Di Premier League saja, enam kesebelasan terbesar mereka tak menggunakan jasa pengatur serangan asal Inggris.
Southgate sebenarnya telah mencoba beragam cara untuk memaksimalkan peran playmaker dalam beragam laga uji tanding jelang Piala Dunia 2018. Beberapa pemain juga coba diberi peran playmaker. Namun, hasilnya nihil.
Dalam beragam uji tanding jelang Piala Dunia 2018, keberadaan playmaker justru membuat serangan Inggris mandek. Beberapa pemain yang coba berperan sebagai playmaker seperti Jack Livermore dan Adam Lallana juga tak tampil mengesankan.
ADVERTISEMENT
Dari tujuh nama yang dipanggil, Alli dan Lingard sebenarnya juga pernah dicoba untuk berperan sebagai playmaker. Alli saat bersua Nigeria dan Lingard saat melawan Kosta Rika. Lagi-lagi hasilnya mengecewakan.
Southgate lantas berdamai dengan keadaan. Paham bahwa tim asuhannya memiliki pemain sayap yang agresif dan ofensif, Kieran Trippier dan Ashley Young, ia menggunakan jalan tersebut untuk menekan pertahanan lawan.
Empat laga perdana, keputusan tersebut diaplikasikan di lapangan oleh Southgate. Dari empat laga tersebut, persentase mereka menyerang pertahanan lawan melalui dua sisi lapangan mencapai 37,4% di sisi kiri dan 39,7% di sisi kanan.
Strategi tersebut dipilih oleh Southgate melihat kapasitas duel udara Harry Kane. Meski hanya punya rasio kemenangan duel udara sebanyak 48% di Premier League musim lalu, tapi ia berhasil membukukan enam gol lewat sundulan.
ADVERTISEMENT
Serangan lewat sisi sayap sebenarnya tak hanya ditujukan untuk Kane, tapi juga Alli, Lingard, dan Raheem Sterling. Meski berada di dalam kotak penalti, ketiganya jarang melakukan duel udara dan lebih sering menunggu bola muntah.
Upaya tersebut menjadi kekuatan open play Inggris. Dari 58 upaya percobaan yang dilakukan Inggris ke gawang lawan, 24 di antaranya dimulai dari serangan via sisi lapangan. Angka tersebut hanya kalah dari Brasil yang memulai 28 percobaan dari sisi lapangan.
Pandainya Southgate, ia punya cara lain untuk menjadikan Inggris tajam: memanfaatkan set piece. Awalnya, hal tersebut dianggap sebagai blunder. Pasalnya, terakhir kali mereka mencetak gol lewat set piece di Piala Dunia terjadi pada Piala Dunia 2010 silam.
ADVERTISEMENT
Situasi tendangan bebas Inggris. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Situasi tendangan bebas Inggris. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
Catatan tersebut setidaknya membuat Southgate belajar. Saat dilantik, ia memperkenalkan Allan Russell. Tak banyak yang tahu siapa Russell, karena sebelumnya ia hanya seorang attacking coach, yang tugasnya memantapkan bola mati, di kompetisi amatir Amerika Serikat.
“Kami menilai bahwa mereka (bola mati) bisa menjadi kunci sebuah turnamen dan kami punya keyakinan bahwa bisa potensi tersebut bisa kami kembangkan,” kata Southgate usai laga menghadapi Panama, Minggu (24/6/2018) silam.
Per hari ini (4/7/2018), Piala Dunia 2018 genap mempertandingkan 56 pertandingan. Dari jumlah tersebut, telah tercipta 146 gol di mana 46 gol di antaranya terjadi lewat situasi bola mati—entah itu penalti, tendangan bebas, atau sepak pojok.
Dari jumlah tersebut, enam gol atau 4% di antaranya diciptakan oleh Inggris. Tiga gol dari sepak pojok (dua saat melawan Tunisia dan satu saat bersua Panama). Sementara tiga gol lain dibukukan lewat titik putih (dua saat menghadapi Panama dan satu bertemu Kolombia).
ADVERTISEMENT
Kecemerlangan Southgate membaca kelemahan timnya memang patut untuk diberi apresiasi. Meski penting, keberadaan playmaker tidak selamanya menjamin Inggris bakal meraih kemenangan.
Langkah Southgate untuk terus memaksimalkan situasi bola mati boleh jadi adalah keputusan cermat. Bermain cantik adalah pilihan, tapi bermain efektif lebih diperlukan.