Karier Ranieri di Leicester dalam Kilas Balik

24 Februari 2017 15:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ciao, Ranieri. (Foto: John Sibley/Reuters)
Claudio Ranieri boleh pergi, tapi namanya tidak akan pernah bisa dihapus dalam lembar sejarah Leicester City.
ADVERTISEMENT
Selama lebih dari 100 tahun klub berdiri, prestasi terbaik Leicester adalah menjadi runner-up Liga Inggris pada 1929. Selebihnya, terutama pada era 1990-an dan 2000-an, Leicester lebih sering berkutat di papan tengah dan bahkan zona degradasi.
Dengan status sebagai klub semenjana, pendukung mereka tidak pernah berekspektasi besar pada klub atau berharap yang muluk-muluk. Sampai kemudian datanglah Ranieri pada 2015.
Ranieri, sama seperti Leicester, belum pernah menjadi juara di liga mana pun ia melatih. Ini pertemuan yang sudah digariskan dari sananya.
Kendati belum pernah menjuarai liga, Ranieri tetaplah berkah tersendiri buat The Foxes. Dengan segudang pengalamannya dari Italia hingga Yunani, plus CV yang bertuliskan pernah menukangi beberapa klub besar, Ranieri jelas merupakan upgrade dari Nigel Pearson.
ADVERTISEMENT
Bersama Pearson, Leicester mengakhiri musim 2014/2015 di posisi ke-14. Di Piala FA, mereka hanya bermain sampai babak kelima. Di Piala Liga Inggris? Tersingkir di babak kedua. Sudah. Tidak ada yang luar biasa.
Namun, karena ke-tidak-luar-biasa-an itu jugalah Leicester tidak memasang target muluk kepada Ranieri. Pokoknya, Leicester cukup menghindar dari degradasi saja. Ranieri menyimpulkannya dengan kalimat sederhana: “target kami cukup 40 poin saja.”
Buat Anda yang belum paham, 40 poin adalah patokan kasar dari jumlah poin yang bisa membuat sebuah tim aman dari jerat degradasi.
Siapa sangka ekspektasi yang teramat kecil itu meletup menjadi euforia. Pada Mei 2016, penyanyi tenor asal Italia, Andrea Bocelli, berdiri di hadapan puluhan ribu suporter Leicester di KingPower Stadium. Ada pesta hari itu.
ADVERTISEMENT
Dengan suaranya yang merdu, Bocelli bersenandung. Ia menyanyikan “Nessun Dorma”, sebuah aria gubahan Giacomo Puccini yang bercerita tentang usaha seorang pangeran bernama Calaf untuk menaklukkan Putri Turandot, yang hatinya sudah kepalang beku itu.
Awalnya tidak ada yang mengetahui nama Calaf. Dengan cerdik, si pangeran tak dikenal itu menjadikannya bahan taruhan dengan Turandot. Jika Turandot tak bisa menebak namanya hingga pagi datang, Calaf berhak untuk menikahinya.
Dalam opera bernama “Premier League”, Ranieri adalah Calaf-nya, sementara trofi juara adalah Turandot.
Pada bulan Mei itu, ia meraih trofi juara liga pertamanya —yang pertama juga untuk Leicester.
Namun, kita semua tahu apa yang terjadi sembilan setelah pesta juara itu. Di sini, kumparan merangkum sedikit perjalanan Ranieri selama menjadi manajer Leicester. Termasuk juga, pasang dan surut di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ekspresi manajer Leicester City, Claudio Ranieri, dalam sebuah pertandingan Premier League melawan Bournemouth. (Foto: Dan Mullan)
13 Juli 2015
Di pertengahan musim panas, Ranieri, yang beberapa bulan menganggur setelah didepak dari jabatannya sebagai pelatih Tim Nasional Yunani, digaet Leicester. Ia diberikan kontrak selama tiga tahun.
Melihat reputasi Ranieri yang belum pernah menjuarai liga, penunjukannya sempat ditanggapi dengan skeptis. Namun, mengingat Leicester hanya memasang target bertahan di Premier League, penilaian skeptis itu pergi dengan sendirinya.
3 Agustus 2015
Ranieri menggaet N’Golo Kante dari Caen dengan nilai 5,6 juta poundsterling. Kante adalah pembeliannya yang keempat —setelah Christian Fuchs, Robert Huth, dan Shinji Okazaki.
Kelak, Kante menjadi pembelian terbaik Ranieri di musim 2015/2016.
24 Oktober 2015
Leicester, yang cuma ditargetkan bertahan di Premier League itu, menang 1-0 atas Crystal Palace berkat gol tunggal Jamie Vardy. Kemenangan di pekan ke-10 tersebut membuat mereka duduk di posisi kelima klasemen.
ADVERTISEMENT
Yang lebih menarik, dalam 10 pertandingan itu, Leicester hanya menelan satu kekalahan. Selebihnya, mereka meraih lima kemenangan dan empat hasil imbang. Tidak terlalu buruk.
26 Desember 2015
Pada Boxing Day tahun 2015 ini, Leicester kalah 0-1 dari Liverpool di Anfield. Gol semata wayang Liverpool di pertandingan itu dicetak oleh striker asal Belgia, Christian Benteke.
Kendati kalah, posisi Leicester di puncak klasemen tidak tergoyahkan. Waktu itu, sudah empat pekan beruntun Leicester memuncaki klasemen.
16 Januari 2016
Leicester bermain imbang 1-1 dengan tuan rumah Aston Villa. Meski gagal mendapatkan poin penuh, Leicester kembali ke puncak klasemen Premier League. Sebelumnya, selama tiga pekan, posisi mereka sempat turun ke urutan kedua.
Dari sini, Leicester tidak pernah turun dari posisi pertama lagi. Mereka terus memuncaki klasemen hingga akhirnya dipastikan menjadi juara pada pekan ke-36.
ADVERTISEMENT
2 Mei 2016
Sehari setelah bermain imbang 1-1 dengan Manchester United, Leicester dipastikan menjadi juara Premier League 2015/2016.
Pada saat bersamaan, pesaing terdekat mereka, Tottenham Hotspur, bermain imbang 2-2 dengan Chelsea di Stamford Bridge. Leicester menjadi juara dengan dua pekan tersisa.
Selain karena racikan Ranieri, Leicester sukses berkat performa apik Jamie Vardy di lini depan, Riyad Mahrez yang tak henti-hentinya mengkreasikan peluang, plus Kante yang menjadi penyeimbang di lini tengah.
Kante, yang beroperasi di lubang antara lini belakang dan tengah, membuat pertahanan Leicester menjadi sulit untuk ditembus.
Ranieri dipecat oleh Leicester City. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
16 Juli 2016
Kante resmi menjadi pemain Chelsea. The Blues membayar 32 juta poundsterling untuk mendapatkan gelandang asal Prancis tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini adalah awal dari petaka Leicester.
Ranieri kemudian mendatangkan Nampalys Mendy dari OGC Nice dan Wilfred Ndidi (pada Januari 2017) untuk menambal lubang yang ditinggalkan Kante. Namun, kualitas keduanya tidak setara dengan Kante.
Lini belakang Leicester rapuh. Duet bek gaek, Wes Morgan dan Robert Huth, dengan mudah terekspos. Keduanya kerap jadi bulan-bulanan pemain depan lawan yang lebih cepat dan lebih cerdas.
29 Oktober 2016
Leicester bermain imbang 1-1 dengan rival mereka dalam perburuan gelar juara di musim 2015/2016, Tottenham Hotspur. Gol Spurs, yang dicetak Vincent Janssen di menit ke-44, dibalas oleh Ahmed Musa empat menit berselang.
Si juara bertahan tersendat di posisi ke-11 klasemen sementara. Dalam 10 pertandingan pertama di Premier League, mereka sudah menelan empat kekalahan. Sebuah penurunan, mengingat sepanjang 38 pertandingan di musim sebelumnya, Leicester hanya menelan tiga kekalahan.
ADVERTISEMENT
1 Februari 2017
Leicester kalah 0-1 dari Burnley. Posisi mereka merosot ke urutan ke-16 klasemen sementara.
Posisi Ranieri mulai goyah. Selain karena performa jelek tim, ia juga dikabarkan sudah kehilangan kepercayaan dari pemain-pemainnya.
12 Februari 2017
Leicester dikalahkan Swansea City 0-2. Posisi mereka turun lagi: ke urutan ke-17, hanya berselisih satu strip dari zona degradasi.
23 Februari 2017
Beberapa hari sebelum hari yang nahas untuk Ranieri ini, Leicester kalah 1-2 dari Sevilla di leg I babak 16 besar Liga Champions.
Kendati kalah, Ranieri menyebut para pemainnya tampil dengan penuh kesungguhan hati. Dan, mengingat laga itu dihelat di kandang Sevilla, Leicester sudah menabung satu gol tandang. Artinya, di leg II yang akan digelar di KingPower Stadium, Leicester cukup menang 1-0 saja untuk lolos.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum leg II digelar, Ranieri harus mengucapkan selamat tinggal kepada Leicester. Pada Kamis, 23 Februari 2017 waktu setempat, Ranieri dipecat.
Keputusan tersebut terbilang ironis, mengingat pada awal Februari, para petinggi klub menyatakan dukungan terhadap Ranieri meskipun posisi klub di Premier League sangat jelek.
Makin ironis, dalam pernyataan resmi mereka, para petinggi klub Leicester menyatakan bahwa kepentingan klub berada di atas sentimentalitas belaka.
Ini artinya, sekalipun Ranieri adalah manajer pertama yang sukses membawa Leicester menjadi juara liga, ia bukannya tidak tersentuh.
Sepak bola modern memang kejam.