Kerja Keras, Gairah, dan Agresi: Inilah Frank Lampard sebagai Pelatih

31 Oktober 2018 15:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Frank Lampard memimpin Derby County di laga melawan Norwich City. (Foto: Getty Images/Nathan Stirk)
zoom-in-whitePerbesar
Frank Lampard memimpin Derby County di laga melawan Norwich City. (Foto: Getty Images/Nathan Stirk)
ADVERTISEMENT
"Seorang jin jahat menculik seorang suporter Derby County bersama dua temannya dan membuang mereka ke gurun pasir selama seminggu. Si jin mengizinkan setiap orang untuk membawa satu benda. Kawan pertama membawa botol minum supaya tidak kehausan. Kawan kedua membawa payung untuk melindungi diri dari panas. Si suporter Derby County membawa pintu mobil karena jika hawanya terlalu panas, dia tinggal menurunkan kaca jendela."
ADVERTISEMENT
Sudah terlalu sering Derby County menjadi bahan tertawaan. Bahkan, saking banyaknya lelucon yang dialamatkan kepada klub itu, sebuah buku berhasil disusun oleh Mark Geoffrey Young. Di Amazon, buku terebut dijual dengan harga 15 poundsterling atau sekitar 290 ribu rupiah, belum termasuk ongkos kirim.
Dari fakta tersebut, bisa ditarik sebuah hipotesis. Yakni, bahwa Derby County adalah sebuah klub sepak bola yang luar biasa buruk. Tidak cuma dari segi penampilan di atas lapangan, tetapi juga dari bagaimana klub ini dijalankan. Mereka sudah pernah bolak-balik terlilit utang dan pada musim 2007/08, Derby resmi menjadi klub terburuk dalam sejarah Premier League.
Pada musim tersebut, Derby mengakhiri musim sebagai juru kunci. Dari 38 pertandingan, mereka kalah 29 kali dan hanya menang sekali. Selisih gol mereka pun luar biasa mengenaskan. The Rams hanya mampu melesakkan 20 gol dan kemasukan sampai 89 kali. Di akhir musim, mereka hanya berhasil mengumpulkan 11 poin.
ADVERTISEMENT
Meski berada di Premier League, itulah musim terburuk Derby. Dari sanalah kemudian muncul beragam cercaaan yang dialamatkan kepada mereka serta para suporternya. Sampai sekarang, Derby belum bisa benar-benar lepas dari mimpi buruk tersebut. Akan tetapi, pada musim ini harapan bersinar begitu cerah untuk mereka.
Saat ini Derby berada di urutan enam klasemen sementara Championship. Secara peringkat, mungkin itu tak terlihat mengesankan. Namun, dengan koleksi 25 poin, mereka cuma tertinggal empat angka dari Sheffield United yang ada di puncak klasemen. Dengan kata lain, kans Derby untuk kembali ke Premier League musim depan terbuka lebar.
Akan tetapi, kembali ke Premier League saja tentu bukan jawaban atas segala masalah di reputasi mereka. Bagaimana jika mereka sudah kembali ke sana? Akankah tragedi musim 2007/08 itu terulang lagi?
ADVERTISEMENT
Soal itu, cuma waktu yang bisa menjawab. Namun, ada indikasi kuat bahwa Derby tidak akan lagi kesulitan seperti dulu jika kembali ke Premier League. Sebab, lewat pertarungan Piala Liga Inggris, mereka sudah menunjukkan bahwa mereka sanggup mengatasi perlawanan klub Premier League. Tak tanggung-tanggung, klub yang mereka atasi perlawanannya itu adalah Manchester United.
Berlaga di Old Trafford pada 26 September 2018, Derby sukses memetik kemenangan, meski lewat adu penalti. Bahkan, di laga itu mereka sukses mengungguli United sebelum Marouane Fellaini memaksakan perpanjangan waktu dan adu penalti. Dari segi penguasaan bola (53%) dan penciptaan peluang (16 tembakan berbanding 14) pun mereka unggul.
Tak pelak, Derby pun mencuri perhatian khalayak. Dengan permainan yang menekankan penguasaan bola, Derby menjelma menjadi tim yang berbahaya. Mereka bisa mencetak gol dengan cara apa pun dan punya keunggulan tersendiri dalam hal bola-bola mati. Apa yang dicapai Derby ini, tentu saja, tidak bisa dipisahkan dari sosok manajer yang ada di belakang mereka.
ADVERTISEMENT
Nama manajer itu adalah Frank Lampard.
Manajer anyar Derby County, Frank Lampard. (Foto: Twittter @dcfcofficial)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer anyar Derby County, Frank Lampard. (Foto: Twittter @dcfcofficial)
***
Sebagai pemain, Lampard sudah meraih segalanya di level klub. Bersama Timnas Inggris, prestasinya memang tidak begitu memuaskan karena tak ada satu trofi pun yang didapat. Meski demikian, 106 caps untuk The Three Lions adalah bukti betapa krusialnya Lampard. Dia adalah sosok yang bisa diandalkan, terutama dalam mengeluarkan tim dari situasi sulit.
Kehebatan Lampard sebagai pemain sedikit banyak didefinisikan dari kepiawaiannya dalam mencetak gol. Walau berposisi sebagai gelandang, Lampard sukses mencetak 211 gol untuk Chelsea di semua kompetisi. Jumlah itu membuat dirinya jadi topskorer sepanjang masa klub dan salah satu pemain Premier League paling produktif sepanjang masa.
Soal teknik, Lampard sebenarnya kalah jauh ketimbang, katakanlah, Paul Scholes. Akan tetapi, Lampard punya kelebihan yang tidak dipunyai oleh Scholes, yakni kecerdasan dalam mencari posisi terbaik untuk mencetak gol. Banyak dari gol Lampard yang dicetak melalui sepakan spektakuler, tetapi ada lebih banyak gol yang lahir berkat kepandaiannya menempatkan diri di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Ya, kepandaian adalah hal lain yang kerap diasosikan dengan Lampard dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari nilai IQ Lampard yang mencapai angka 150. Ini membuat dirinya masuk ke dalam kategori manusia genius. Maka, apabila Lampard sanggup melakukan hal-hal cerdas di atas lapangan, itu seharusnya tidak mengejutkan.
Kini, kecerdasan itu ditransformasikan Lampard dalam bentuk lain, di profesi lain. Jika sebelumnya Lampard harus mengaplikasikan kegeniusan itu dalam aksi-aksinya, kini dia harus menularkan hal itu untuk memastikan anak-anak asuhnya bisa melakukan apa yang dia inginkan. Sejauh ini, hasilnya sudah bisa disaksikan dengan keberhasilan Derby County menjejak papan atas Championship.
Lampard akhirnya gantung sepatu. (Foto: Shaun Botterill/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Lampard akhirnya gantung sepatu. (Foto: Shaun Botterill/Getty Images)
Meski demikian, kecerdasan dan reputasi sebagai pemain besar bukanlah satu-satunya modal yang dimiliki oleh Lampard si manajer. Menurut Jimmy Floyd Hasselbaink yang dulu pernah bermain bersama Lampard di Chelsea, pria 40 tahun itu punya bakat menjadi manajer karena kekuatan mentalnya.
ADVERTISEMENT
"Semua yang dia miliki membuatnya jadi pemain eksepsional. Dia datang dari West Ham dan saat itu kami punya banyak pemain bagus. Namun, itu tak membuat nyalinya ciut. Secara mental, dia adalah salah satu pemain terhebat. Tak ada yang bisa membuatnya jatuh dan itu adalah aset berharga untuk jadi manajer," kata Hasselbaink, seperti dikutip dari The Guardian.
Tony Carr, sementara itu, punya pendapat lain. Mantan direktur akademi West Ham itu menganggap kelebihan utama Lampard adalah sikap tidak pernah puasnya. "Frank selalu mencari cara untuk berkembang, baik dari segi teknis maupun fisik. Setiap tantangan yang dia hadapi selalu berhasil dia taklukkan," kenang Carr.
Hasselbaink kemudian menambahkan bahwa Lampard memiliki modal lain bernama pengalaman untuk menjadi manajer sukses. Selama berkarier sebagai pemain, Lampard sudah banyak berguru pada manajer-manajer hebat, mulai dari Jose Mourinho, Claudio Ranieri, sampai Carlo Ancelotti. Menurut Hasselbaink, hal itu bakal memudahkan Lampard untuk sukses di dunia manajerial.
ADVERTISEMENT
"Sebagai manajer, dia akan menghadapi pemain yang tidak sehebat dirinya, tetapi itu bukan masalah karena dia adalah sosok cerdas yang tahu apa yang dia inginkan. Secara taktikal, dia sudah belajar dari banyak manajer hebat dan itu akan membantu. Tugasnya sekarang adalah mengkomunikasikan hal itu kepada para pemainya," jelas eks penyerang Timnas Belanda tersebut.
Frank Lampard yang tak henti-hentinya bersuara dari pinggir lapangan. (Foto: Action Images via Reuters/Craig Brough)
zoom-in-whitePerbesar
Frank Lampard yang tak henti-hentinya bersuara dari pinggir lapangan. (Foto: Action Images via Reuters/Craig Brough)
Pada akhirnya, segala modal itulah yang kini diterapkan Lampard bersama Derby. Dalam wawancara bersama Sky Sports, Lampard menjelaskan bahwa dia tidak tertarik memainkan 'sepak bola tiki-taka yang indah'. Akan tetapi, dia ingin agar timnya memainkan sepak bola menyerang bermodalkan kecepatan.
"Aku ingin timku bekerja keras seperti aku sebagai pemain dulu. Aku ingin mereka jadi tim yang agresif dan memainkan sepak bola menyerang. Aku ingin tim yang kulatih punya energi untuk membangkitkan gairah fans. Aku mau energi, kerja keras, dan agresi dari timku," papar Lampard.
ADVERTISEMENT
Energi dan gairah itu sendiri masih ditunjukkan oleh Lampard. Pada pertandingan kompetitif pertamanya, Derby meraih kemenangan di masa injury time berkat sundulan Tom Lawrence. Di situ, terlihat betul gairah dalam diri Lampard lewat selebrasinya yang tidak jauh berbeda dengan selebrasi Antonio Conte, Juergen Klopp, serta era-era awal Mourinho.
Lampard boleh jadi sosok yang punya gairah besar dalam dirinya. Akan tetapi, dia juga tahu bahwa sebagai manajer, tugasnya tidaklah semudah saat menjadi pemain. Itulah mengapa, dia mau mendelegasikan banyak tugas kepada asisten-asistennya. Lampard beruntung karena di sisinya ada sosok Jody Morris sebagai tangan kanan.
Morris, sebagaimana Lampard, adalah mantan gelandang Chelsea. Karier Morris sebagai pemain memang tak secemerlang Lampard, tetapi ada suatu masa ketika Morris adalah pemain terbaik di lini tengah Chelsea. Pada 2000, Xavi Hernandez pernah berkata bahwa Morris adalah lawan terberat yang pernah dia hadapi. Apa yang dikatakan Xavi itu kurang lebih bisa mendeskripsikan bagaimana Morris ketika masih bermain dulu.
ADVERTISEMENT
Jody Morris dengan trofi Piala FA Junior. (Foto: Getty Images/Justin Setterfield)
zoom-in-whitePerbesar
Jody Morris dengan trofi Piala FA Junior. (Foto: Getty Images/Justin Setterfield)
Dari segi pengalaman manajerial, Morris unggul dibandingkan Lampard. Sebab, manakala Lampard masih sibuk menjadi pandit untuk BT Sport, Morris sudah terlebih dahulu terjun di dunia manajerial meski hanya di tim junior. Diserahi jabatan sebagai manajer tim junior Chelsea, Morris berhasil mempersembahkan dua trofi Piala FA Junior.
Efek positif Morris di samping Lampard ini sebelumnya juga sudah diprediksi oleh Hasselbaink. Menurut eks manajer Burton Albion tersebut, Morris adalah sosok yang pas untuk berkolaborasi bersama Lampard karena kedua sosok ini punya kesamaan dalam memandang sepak bola.
"Dia (Morris, red) selalu ingin bermain dengan gaya kontinental. Dia adalah sosok yang cerdas dan selalu mau belajar. Selain itu, dia juga tahu apa yang dia inginkan. Kedua orang itu pernah bermain bersama dan mereka percaya satu sama lain. Sebagai manajer, punya orang kepercayaan sangatlah penting," jelas Haselbaink lagi.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis (1/11/2018) dini hari WIB, Lampard dan Morris akan kembali ke stadion yang pernah membesarkan nama mereka. Di Stamford Bridge, mereka bakal berusaha mengantarkan Derby menjegal Chelsea. Di atas kertas, Chelsea jelas lebih diunggulkan, bahkan jikalau Maurizio Sarri memainkan tim lapis keduanya sekalipun. Lagipula, pemain terbaik Derby, Mason Mount, adalah pemain yang dipinjamkan oleh Chelsea karena dirasa belum cukup matang.
Kendati begitu, Derby sebelumnya sudah pernah mengejutkan Manchester United di Old Trafford. Tentu tak ada jaminan bahwa mereka akan tumbang begitu saja di Stamford Bridge. Lampard sendiri sudah berjanji tidak akan melakukan selebrasi berlebihan apabila timnya menang. Namun, dia tidak pernah berjanji untuk mengalah begitu saja kepada Chelsea. Toh, ketika bermain untuk Manchester City, Lampard sudah pernah melukai tim kesayangannya itu.
ADVERTISEMENT