Keseimbangan Pemain Bertahan Liverpool yang Merusak Permainan Spurs

2 Juni 2019 12:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Liverpool saat mengangkat trofi, setelah memenangi Liga Champions. Foto: REUTERS/Carl Recine
zoom-in-whitePerbesar
Liverpool saat mengangkat trofi, setelah memenangi Liga Champions. Foto: REUTERS/Carl Recine
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mauricio Pochettino menjejak ke Estadio Wanda Metropolitano sebagai orang yang kaya dengan semoga. Semoga menang, semoga juara, semoga diselamatkan oleh gol menit akhir, semoga dilimpahi keberuntungan, dan semoga-semoga lainnya.
ADVERTISEMENT
Apa lacur, perburuannya tak berakhir manis. Rangkaian semoga itu tidak ada yang menjadi kenyataan di final Liga Champions 2018/19. Semuanya bertahan pada bentuknya yang semula: Semoga.
Tak ada cerita gol-gol heboh layaknya semifinal leg kedua atau ketika menyingkirkan Manchester City. Liverpool tetap menutup laga dengan kemenangan 2-0, menuntaskan kompetisi dengan membawa pulang trofi 'Si Kuping Besar' untuk pertama kalinya dalam 14 tahun.
Gol Mohamed Salah lewat sepakan penalti pada menit kedua serta lesakan Divock Origi sudah cukup bagi Juergen Klopp untuk merayakan gelar juara, melahirkan kesenangan yang beranak cucu.
Son Heung-min diadang oleh Virgil van Dijk dan Joel Matip. Foto: REUTERS/Toby Melville
Percobaan tembakan Spurs dan Liverpool tidak berbeda jauh. Spurs membukukan 16 percobaan, Liverpool mengemas 14 upaya. Yang mencolok adalah jumlah tembakan tepat sasaran mereka.
ADVERTISEMENT
Spurs mencatatkan delapan tembakan tepat sasaran, sementara Liverpool mengoleksi tiga tembakan ke arah gawang. Yang menjadi pembeda bukannya jumlah tembakannya, tapi berapa banyak gol yang lahir.
Masalah bagi Spurs karena dari delapan peluang emas itu, tak ada satu pun yang mampu mengubah kedudukan pada papan skor. Sementara, Liverpool mengemas dua gol dari tiga tembakan ke arah gawang. Satu di antaranya, ya, penalti Salah tadi.
Yang menjadi pertanyaan tentu mengapa dari sekian banyak tembakan tepat sasaran tak ada yang berujung gol. Jawaban paling sederhana adalah penampilan gemilang Alisson Becker.
Kiper berkebangsaan Brasil ini mampu menggagalkan kedelapan tembakan mengarah gawang yang dilesakkan para penggawa Spurs. Harga mahal tak menjadi masalah, ini yang sebaik-baiknya dibuktikan Alisson.
ADVERTISEMENT
Itu baru persoalan tembakan mengarah gawang. Lantas, bagaimana dengan delapan percobaan lainnya? Mengutip statistik Whoscored, enam dari rangkaian percobaan tersebut tidak tepat sasaran dan dua sisanya diblok.
James Milner melepaskan tembakan ke gawang Tottenham Hotspur. Foto: REUTERS/Carl Recine
Pochettino adalah diorama terbaik gurunya, Marcelo Bielsa. Di ranah kepelatihan sepak bola, Bielsa acap dikenal sebagai bapaknya high pressing. Ia akan muntab sejadi-jadinya jika anak-anak asuhnya tak berani menekan, baik saat bertahan maupun menyerang. Itu pulalah yang diterapkan dengan setia oleh Pochettino.
Dalam menyerang, Pochettino berpegang teguh pada prinsip sepak bola modern, bahwa aksi ofensif harus dilakukan sejak lini belakang. Maka, yang mendapat tanggung jawab untuk mengemban peran ini adalah dua bek sayap Spurs, Kieran Trippier dan Danny Rose.
ADVERTISEMENT
Tapi, senjata acap menjadi makanan bagi siapa pun yang menjadi tuan. Trippier yang diharapkan menjadi motor serangan dari area terdalam justru mati gaya.
Entah berapa kali Klopp menyaksikan pertandingan Spurs di ruang kerjanya, menghitung segala kesalahan dan kelebihan lawan untuk melahirkan taktik yang sanggup mengantarkan Liverpool pada kemenangan. Yang jelas, Klopp mengambil kesimpulan jeli: Kekacauan Spurs acap berawal dari bek kanan.
Alisson gagalkan peluang Spurs. Foto: REUTERS/Carl Recine
Tak heran jika Liverpool memfokuskan serangannya dari area kanan. Ia menginstruksikan Sadio Mane dan Andrew Robertson untuk saling menopang. Hampir di setiap laga Mane dipindai lawan sebagai muara serangan.
Trippier beberapa kali terperangkap dalam jebakan yang sama: Mengikuti Mane yang beroperasi di area sayap. Dalam hal ini, Mane adalah umpan yang membuka ruang bagi Robertson untuk melepaskan umpan silang dalam skema serangan balik.
ADVERTISEMENT
Nama yang disebut terakhir bahkan menjadi pemain The Reds yang paling banyak mencatatkan umpan sukses, 25 kali. Jumlah itu memang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan umpan-umpan Spurs. Tapi, apalah artinya umpan bejibun jika tak bermuara pada gol?
Situasi serupa sebenarnya juga terjadi saat semifinal leg kedua melawan Ajax Amsterdam, tepatnya di babak pertama. Pemain-pemain Ajax cenderung memancing Trippier sehingga tugasnya menjadi overload dan permainannya kacau.
Dalam pertandingan tersebut, Pochettino masih memiliki back up plan dengan memasukkan Fernando Llorente dan Lucas Moura pada babak kedua. Masuknya Llorente menjadi kunci perubahan permainan Spurs.
Trippier yang sempat kacau menemukan kembali ritme permainannya lewat umpan-umpan panjang. Keberadaan Llorente membuat Trippier dapat bermain direct sehingga tak kelebihan beban kerja.
ADVERTISEMENT
Ekspresi kekesalan Mauricio Pochettino usai Liverpool mencetak gol kedua ke gawang Tottenham Hotspur. Foto: REUTERS/Susana Vera
Skema ini dapat diaplikasikan karena Llorente yang jangkung itu begitu piawai dalam duel udara. Catatan 13 kemenangan duel udaranya menjadi yang tertinggi di antara semua pemain di laga pemungkas perebutan tiket final.
Namun, situasi berbeda terjadi ketika melawan Liverpool. Duet bek tengah Liverpool, Joel Matip dan Virgil van Dijk, bisa diandalkan untuk duel-duel udara. Toh, di pertandingan ini keduanya menjadi pemain Liverpool yang paling sering memenangi duel udara, yaitu tiga kali.
Menjadi masuk akal jika pada akhirnya Pochettino meminta Harry Kane untuk bergerak ke middle third sehingga dapat menjadi pemantul bagi Dele Alli dan Son Heung-min. Kepada merekalah serangan-serangan bermuara.
Alternatif lainya adalah menerapkan counter-pressing. Spurs memulainya dari salah satu personel poros ganda, Moussa Sissoko. Begitu bola sampai ke tengah, ia akan berjibaku merebut dan mengalirkan kepada pemain sayap dengan bantuan pergerakan tanpa bola dari Kane dan distribusi Harry Winks.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi persoalan, menembus barikade pertahanan Liverpool membutuhkan bakat, anugerah, dan keberuntungan sekaligus. Merangkum catatan Opta, Van Dijk tak pernah berhasil dilewati pemain mana pun dalam 64 pertandingannya buat Liverpool.
Berangkat dari sini, berulang kali pemain-pemain Spurs menutup serangan dalam keadaan terjepit sehingga penyelesaian akhirnya tidak maksimal. Kalau tidak meleset dari sasaran, efek lainnya, ya, dapat dibaca dan dimentahkan dengan mudah oleh Alisson.
Di sisi lain, Klopp juga paham bahwa keunggulan satu gol tidak aman bagi Liverpool meski waktu normal menyisakan 10 menit. Bagaimana kalau Spurs mampu menyerang balik dan mencetak gol kejutan seperti saat melawan Ajax?
Roberto Firmino yang digadang-gadangkan sebagai ujung tombak tidak tampil maksimal. Jangankan gol, satu tembakan tidak tepat sasaran pun gagal diciptakannya.
ADVERTISEMENT
Origi yang dalam dua laga terakhirnya meloloskan Liverpool dari lubang jarum mendapatkan tempat. Yang terjadi setelahnya adalah deja vu: Umpan via sepak pojok Matip ditutup dengan gol yang menandai kelahiran keunggulan kedua bagi Liverpool.
Situasinya mengingatkan pada gol pembuka Liverpool pada semifinal pemungkas melawan Barcelona walau tak sama persis. Anfield Stadium bergemuruh pada menit ketujuh berkat gol Origi tersebut.
Nah, prosesnya seperti ini: Semuanya bermula ketika Arturo Vidal membuang bola yang digiring Mane. Aksi defensif itu menghadiahi Liverpool dengan sepak pojok yang dieksekusi Trent Alexander-Arnold.
Klopp berpesta bersama Liverpool. Foto: REUTERS/Carl Recine
Tendangan itu diantisipasi oleh Jordi Alba yang membuang bola ke lapangan tengah sehingga permainan kembali menjadi open play. Alba langsung menekan James Milner yang menguasai bola.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tekanan Alba yang juga berusaha merancang serangan balik, Milner membuang bola kepada Matip yang mengamankannya dengan umpan diagonal panjang. Umpan ini tak tepat sasaran dan malah diterima oleh sundulan Alba.
Sayangnya, manuver Alba disorientasi. Alih-alih mengamankan ke bidang permainannya sendiri, sundulan Alba itu justru mengantar bola kepada Mane.
Tak mau kehilangan momentum, Mane langsung mengirim bola kepada Jordan Henderson. Sang kapten lantas melesakkan tembakan ke arah gawang yang bisa ditepis Marc Andre Ter Stegen. Namun, bola muntahan dari tepisannya itu disambar Origi dan berbuah gol.
Selebrasi pemain Liverpool memenangi Liga Champions. Foto: REUTERS/Susana Vera
Situasi mirip terjadi dalam proses gol Origi di partai final meski prosesnya lebih ringkas. Sepak pojok untuk Liverpool dieksekusi oleh Matip yang membuang bola ke depan kotak.
ADVERTISEMENT
Kemelut akibat penumpukan pemain Spurs terjadi di area ini. Eric Dier berusaha mengamankan bola tadi via sundulan. Namun, sundulan itu salah sasaran karena malah mengarah kepada Origi.
Pemain Belgia ini lantas memasang pertaruhan dengan melepaskan tembakan dari luar kotak. Hasilnya tak buntung, Liverpool unggul 2-0 pada menit 87. Origi yang awalnya tak masuk hitungan itu kembali membuktikan bahwa bangku cadangan bukan pasung yang menguras kapasitasnya sebagai pemain.
***
Kedua gol Liverpool itu memang lahir dari para penyerang. Tapi, tanpa keseimbangan lini pertahanan bukannya tidak mungkin kedua gol tadi bernasib sama dengan torehan Ajax. Pada akhirnya, Klopp membuktikan bahwa sebaik-baiknya tim adalah yang seimbang, yang tak mengabaikan satu fungsi hanya untuk mengutamakan fungsi yang lain.
ADVERTISEMENT
Apresiasi kepada para pemain bertahan Liverpool karena tak meninggalkan tugas membuka jalan untuk aliran serangan demi bertahan. Dan sebaliknya, tak abai dengan pertahanan hanya karena fokus menyerang.