Kesetiaan Sepanjang Jalan dalam ‘Football’s Coming Home’

4 Juli 2018 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Inggris dengan trofi Piala Dunia. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Inggris dengan trofi Piala Dunia. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
ADVERTISEMENT
Sangat terang benderang bahwa Tim Nasional (Timnas) Inggris adalah salah satu tim yang diremehkan di Piala Dunia 2018 akibat kecanduan tersandung di turnamen level internasional. Bahkan, empat tahun terakhir mereka terjerembab dalam 'jurang'.
ADVERTISEMENT
Di 2014, harapan suporter Tim Nasional (Timnas) Inggris terbunuh di Brasil. The Three Lions jadi juru kunci Grup D Piala Dunia dengan torehan satu poin --itu juga didapat akibat imbang 0-0 dengan Kosta Rika dalam laga terakhir babak grup. Dua tahun kemudian, mereka jadi korban cerita indah Timnas Islandia di Piala Eropa edisi Prancis; Wayne Rooney dan kolega 'dikubur' Islandia 1-2 di 16 besar.
Namun, dalam perjalanan turnamen Piala Dunia edisi Rusia, suporter Inggris percaya dan dunia juga mampu mereka buat sepakat. Gareth Southgate dan pasukannya sekarang sudah melangkah ke babak perempat final. Pencapaian yang gagal dilakukan oleh beberapa tim macam Jerman, Argentina, dan Portugal. Kelolosan ke perempat final pun dilakukan Inggris dengan cara yang gemilang.
ADVERTISEMENT
Di fase grup, Inggris hanya kalah sekali. Itupun didapat karena rotasi besar-besaran Inggris saat melawan Belgia di laga terakhir babak grup. Di 16 besar, Harry Kane dan kolega menciptakan sejarah. Kemenangan 4-3 atas Kolombia dalam babak adu penalti adalah kemenangan penalti pertama mereka di Piala Dunia.
Sekarang, pub-pub, entah di Inggris atau di Rusia, penuh dengan suporter Inggris yang berbahagia. Pun begitu di jalanan. Di perempat final, Inggris 'hanya' akan hadapi Swedia. Kalau menang, Inggris akan menghadapi salah satu antara Rusia atau Kroasia untuk menuju final. Mereka pun bernyanyi, "It's coming home! It's coming home! Football's coming home..."
***
Yel-yel itu berasal dari lagu 'The Three Lions' dan lagu itu adalah lagu kesekian untuk Timnas Inggris --setelah lagu berjudul 'Back Home' populer di 1970-an dan 'This Time (We'll Get it Right)' populer di 1980-an.
ADVERTISEMENT
Dua lagu itu sama-sama bilang bahwa kejayaan Inggris akan tiba sebentar lagi. Sementara, 'The Three Lions' terasa seperti musikalilasi cerita Sisifus. Seorang dewa yang dihukum untuk membawa bongkahan batu besar ke puncak gunung. Lalu, batu itu turun lagi ke kaki gunung. Dan begitu seterusnya.
Namun, memang begitulah yang dipikirkan oleh Ian Broudie, Frank Skinner dan David Baddiel kala mendapat tawaran untuk menjadi pengisi album 'The Beautiful Game' yang dirlis oleh FA untuk menyambut Piala Eropa 1996.
Trio yang tergabung dalam 'Baddel & Skinner & The Lightning Seeds' itu jengah dengan kebohongan-kebohongan yang sudah ditawarkan kepada suporter Inggris sebelum lagu itu dirilis. Mendukung Inggris itu, membuat banyak luka. Namun, dari luka itu, mereka selalu percaya kejayaan akan tiba suatu hari.
ADVERTISEMENT
"Suatu hari saya berbincang dengan Frank (Skinner) dan kami sepakat bahwa seluruh lagu tentang Inggris itu berbicara tentang kebohongan. Kebohongan dengan mengatakan bahwa Inggris akan menang di turnamen ini atau itu," ujar Baddiel seperti dilansir Telegraph.
Lagu ini dibuka dengan tiga sampling dari tiga tokoh sepak bola populer asal Inggris dan semuanya bernada pesimistis. Pertama, pernyataan Alan Hansen soal tim lawan yang lebih baik dari mereka. Kedua, dari Trevor Brooking yang bilang bahwa Inggris tak begitu kreatif di atas lapangan. Ketiga, opini Jimmy Hill bahwa Inggris akan terus menelan hasil negatif. Setelah bagian itu, lagu ini menyebutkan berbagai memori manis di masa lalu.
Lagu ini menyebut tekel Bobby Moore yang membuat Jairzinho gagal cetak gol di babak grup Piala Dunia 1970. Atau gol penyama kedudukan Gary Lineker ke gawang Jerman Barat di semifinal Piala Dunia 1990. Di lain bait, ia bercerita soal gol tendangan jarak jauh Sir Bobby Charlton saat lawan Meksiko dalam babak grup Piala Dunia 1966.
ADVERTISEMENT
Tidak ketinggalan pula tarian Nobby Stiles usai menjuarai Piala Dunia 1966. Semuanya ditutup dengan refrain yang catchy, "It's coming home, It's coming home. Football's coming home!" Maksudnya, sebagai negara (yang mengklaim) asal sepak bola modern, sudah seharusnya trofi turnamen besar kembali ke Inggris.
Lagu ini mulanya mendapat pertentangan saat diputar pertama kalinya di tempat latihan Timnas Inggris saat itu di Bisham Abbey, Buckinghamshire, oleh skuat Inggris karena lirik awalnya yang begitu muram. Apalagi, jika berkaca dari perjalanan Inggris di Piala Eropa yang terjerat berbagai kontroversi akibat kebiasaan para pemain untuk mabuk-mabukan.
Namun, 'Baddel & Skinner & The Lightning Seeds' berhasil meyakinkan mereka semua untuk mendengarkan lagu ini sampai selesai. Skuat Inggris saat itu, terutama Paul Gascoigne, pada akhirnya menyukainya. Bahkan, pemain yang akrab disapa Gazza ini kerapkali memutar lagu itu setiap berlatih bersama Inggris saat itu.
ADVERTISEMENT
Para pemain Inggris merayakan gol. (Foto: REUTERS/Matthew Childs)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Inggris merayakan gol. (Foto: REUTERS/Matthew Childs)
Dalam perjalanannya, lagu 'The Three Lions' juga digandrugi suporter Inggris. Terutama, setelah Gazza dan kolega saat itu bisa melangkah ke babak semifinal Piala Eropa. Sehingga lagu ini pun menjadi raja tangga lagu Inggris Raya dari Mei hingga Juni.
Hal yang sama juga terjadi di Piala Dunia 1998 hingga Piala Dunia kali ini. Dan seperti yang sudah-sudah, suporter Inggris kembali menyanyikan lagu ini di Piala Dunia dengan harapan 'sepak bola' betul-betul kembali 'ke rumah'.