Ketika Pro-Kontra Selimuti Pencabutan Sanksi Persib dan Pentolan Arema

2 Maret 2019 8:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koreografi Persib vs Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Foto: Sandi Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Koreografi Persib vs Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Foto: Sandi Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
PSSI kembali menjadi sorotan. Bukan, bukan karena isu pengaturan skor yang tengah mengudara akhir-akhir ini. Tapi, karena perubahan keputusan federasi yang telah terbentuk sejak 1930 ini terkait hukuman untuk Persib Bandung dan pentolan Arema FC.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebelum masuk ke pembahasan lebih dalam, biarkan kami sejenak menyegarkan ingatan Anda mengapa Persib dan pentolan Arema FC ini bisa dihukum. Jadi, silakan disimak.
***
23 September 2018 tak hanya merupakan tanggal kelam untuk Persija Jakarta, tapi juga sepak bola nasional. Karena di tanggal itulah seorang suporter ‘Macan Kemayoran’, Haringga Sirla, tewas dikeroyok pendukung Persib menjelang laga Persib versus Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api.
Sontak, kabar tewasnya Haringga menjadi topik perbincangan pemangku kepentingan sepak bola Indonesia. Beragam suara mengutuk tindakan pengeroyokan itu mengalir deras. Suara-suara itu berujung dengan keputusan PSSI mengusut kasus tersebut dengan serius
Saking seriusnya, PSSI melahirkan tim investigasi sendiri di luar pihak kepolisian. Penemuan tim investigasi federasi itu kemudian dikombinasikan bukti dari kepolisian. Hasilnya, Komite Disipilin (Komdis) PSSI mengetuk palu mengenai hukuman berat untuk Persib.
ADVERTISEMENT
Hukuman lengkapnya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Selain hukuman terhadap Persib, ada lagi keputusan Komdis yang kala itu menyita perhatian. Yakni, hukuman berat untuk Yuli Sumpil dan Fandy, yang merupakan pentolan sekaligus dirigen Aremania. Seberapa berat? Ya, keduanya dilarang masuk stadion di wilayah Republik Indonesia seumur hidup.
Suporter Arema FC Aremania Foto: Indonesiansc.com
Semua gara-gara Yuli dan Fandy turun ke lapangan dan melakukan provokasi sebelum dihelatnya laga Arema FC versus Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, 6 Oktober 2018. Tindakan tersebut membuat situasi sempat kaos.
Namun, tak hanya Yuli dan Fandy yang harus ditimpa sanksi, melainkan juga Arema. Tim berjuluk ‘Singo Edan’ itu mesti menjalani pertandingan tanpa penonton baik laga tandang maupun kandang sampai akhir musim Liga 1 2018.
Hukuman ini kemudian ditambah dengan denda 100 juta rupiah, akibat penyalaan suar plus pelemparan botol dari kubu Arema.
ADVERTISEMENT
***
Sanksi untuk dua tim itu tergolong berat sekaligus menjadi sorotan. Mengingat pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan saat partai panas yang sarat rivalitas. Namun, seiring berjalannya waktu, kabar sanksi tersebut tertimbun oleh isu lebih besar.
Kemudian di tengah isu pengaturan pertandingan, tiba-tiba berita soal sanksi kedua klub itu kembali mencuat. Tak dinyana, PSSI memutuskan untuk menganulir begitu saja sanksi terhadap Persib dan Arema.
Kamis (28/2/2019) lalu, PSSI menerbitkan rilis soal Surat Keputusan (SK) hasil peninjauan implementasi keputusan Komdis tahun 2018. Federasi menyebut penerbitan SK itu sesuai amanah Kongres PSSI di Bali pada 20 Januari lalu.
Keputusannya kala itu, Komite Eksekutif (Exco) PSSI diberikan kewenangan untuk melakukan peninjauan terhadap keputusan badan yudisial (Komdis). Dari situ, PSSI memutuskan untuk mengembalikan sebagian nilai denda kepada klub.
ADVERTISEMENT
Katanya, sih, sebagai dukungan finansial dalam program edukasi supporter (management fans) yang harus dilakukan klub. Lalu, ada juga SK lain terkait implementasi keputusan Komdis yang tidak dapat dijalankan karena kondisi terkini infrastruktur kompetisi.
Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria. Foto: Alan Kusuma/kumparan
Jenis keputusan Komdis yang dinilai tidak bisa dijalankan ialah larangan kepada individu untuk memasuki stadion dan larangan bagi penonton masuk dan menonton pertandingan di dalam stadion tanpa menggunakan atribut, termasuk nyanyian, koreografi, dan semua hal yang terafiliasi dengan klub.
Federasi berdalih dua sanksi tersebut dalam implementasiya tidak hanya mengalami kendala, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pelanggaran disiplin.
"Keputusan ini diambil setelah dilakukan telaah panjang dan hati-hati dengan tujuan terukur, yaitu perbaikan kualitas penyelenggaraan pertandingan dibarengi upaya edukasi supporter oleh klub,” kata Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria.
ADVERTISEMENT
PSSI menyebut dua hukuman itu terkait Yuli Sumpil dan Fandy serta suporter Persib. Dengan kata lain, sanksi itu diampuni melalui kewenangan Exco saat Kongres PSSI lalu. Berdasarkan situasi ini, kumparanBOLA mencari tahu dasar di balik keputusan Exco ‘melupakan’ dua sanksi tersebut.
Refrizal, yang merupakan anggota Exco, menuturkan sejatinya keputusan itu yang terbaik buat sepak bola Indonesia.
“Supaya sepak bola Indonesia lebih baik. Biar hukuman kemarin itu jadi pelajaran untuk semua pihak. Sepak bola harus berujung sebagai pemersatu bangsa. Sepak bola mengangkat harkat bangsa, bukan bunuh-bunuhan,” tutur Refrizal.
“Dukung kesebelasan masing-masing tanpa senjata atau mencederai orang lain. Ke depan, sepak bola (Indonesia) harus bermartabat,” lanjutnya.
Refrizal lebih lanjut mengungkapkan bahwa PSSI ingin mengajarkan untuk menjauhi dendam dan tenggang rasa. Refrizal juga mengatakan bahwa pengampunan hukuman bukan kali ini saja terjadi. Salah satu figur yang merasakannya adalah Herry Kiswanto.
ADVERTISEMENT
Herry merupakan sosok yang sempat dihukum beraktivitas di sepak bola seumur hidup. Semua gara-gara laga PSS Sleman versus PSIS Semarang dalam laga Divisi Utama di Stadion Sasana Krida, Yogyakarta, pada Oktober 2014 silam.
Laga tersebut berakhir kemenangan 3-2 bagi PSS Sleman, tetapi seluruh tercipta melalui gol bunuh diri. Namun, hukuman untuk Herry kemudian dicabut oleh PSSI. Pertimbangannya ialah jasa-jasa sosok berusia 63 tahun itu untuk sepak bola nasional.
“Kami ingin sepak bola maju. Hukuman jadi pelajaran. Terima dulu hukumannya, lalu bisa ajukan banding. Menghukum itu untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Kalau tidak dihukum, bagaimana nanti perasaan suporter Persija? Harus ada tenggang rasa,” ucap sosok berusia 59 tahun itu.
Kantor pusat PSSI. Foto: ADEK BERRY / AFP
ADVERTISEMENT
Refrizal menampik bahwa penghapusan hukuman itu sebagai bentuk inkonsistensi PSSI dalam menegakkan aturan. Karena ia menilai bahwa dasar pencabutan sanksi tersebut sudah menilik banyak hal.
“Bukan begitu… Exco punya kebijakan meringankan. Hukuman ‘kan sudah dijalankan. Sekarang tidak diperpanjang. Tidak boleh ada dendam. Banyak yang harus dipikirkan kalau sepak bola tidak ditonton suporter,” jelas pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, itu.
“Apa artinya sepak bola tanpa suporter? Penonton membuat industri sepak bola hidup. Banyak efek dari kehadiran suporter yang menghidupi juga industri di sekeliling sepak bola, seperti pedagan kaki lima,” lanjutnya.
Dasar-dasar pencabutan hukuman yang dikatakan Refrizal mendapat tentangan dari Akmal Marhal. Koordinator komunitas Save Our Soccer (SOS) itu menuturkan pengampunan sanksi itu tidak punya dasar kuat, begitu pun dengan penetapan hukuman buat Persib dan Arema.
ADVERTISEMENT
“Dari awal pemberian sanksi memang tidak memiliki landasan yudisial yang kuat. Nah, saat dicabut juga tak menggunakan hukum yang kuat. Artinya, penetapan hukuman dan pencabutan sama-sama ngawur. Itulah fakta sepak bola Indonesia. PSSI konsisten dalam inkonsistensinya,” kata Akmal kepada KumparanBOLA.
Lebih jauh, Akmal menuturkan inkonsistensi federasi dalam hal tarik-ulur hukuman membuat PSSI kehilangan ketegasan, wibawa, dan kepercayaan di mata publik sepak bola.
***
Well, terlepas dari pro dan kontra itu, masyarakat Indonesia rasanya sudah kenyang dengan dagelan dalam sepak bola Tanah Air.
Namun, dari tindakan PSSI ini, mari apungkan sebuah pertanyaan serius: Apakah sanksi yang tak selesai ini bisa menimbulkan efek jera? Karena seharusnya, hukuman membuat sang pelaku insaf.
ADVERTISEMENT