Ketika Roland-Garros Pindah ke Liga Indonesia

16 Juli 2018 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana stadion Hoegeng (kiri) dan Lalu Megaparang. (Foto: Instagram @ achmad.fauzi88, Twitter @BaliUtd)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana stadion Hoegeng (kiri) dan Lalu Megaparang. (Foto: Instagram @ achmad.fauzi88, Twitter @BaliUtd)
ADVERTISEMENT
Miris. Tampaknya tak ada frasa lain yang cocok untuk menggambarkan kondisi stadion di Indonesia. Problematikan satu ini memang menjadi konsumsi rutin setiap kompetisi bergulir.
ADVERTISEMENT
Ketika negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sangat serius membenahi infrastruktur sepak bola mereka, Indonesia masih berkutat di permasalahan yang sama setiap tahunnya. Jangankan memenuhi standar FIFA/AFC, menyentuh kata layak saja masih sulit.
Di Liga 1, sebagai level kompetisi tertinggi, masalah standarisasi stadion terus menjadi persoalan. Terkini, PSM Makassar harus terusir dari markasanya, Stadion Andi Mattalatta, karena kualitas penerangan yang dianggap tak memenuhi standar. Jauh sebelumnya, persoalan kualitas lapangan, kelayakan ruang ganti hingga tribune juga menghinggapi banyak stadion di Indonesia.
Salah satu pemandangan miris tersebut terpampang nyata di Stadion Hoegeng ketika tuan rumah Persip Pekalongan (Liga 3) menjamu Persijap Jepara (Liga 2) dalam babak 128 besar Piala Indonesia 2018. Pada laga yang berlangsung Sabtu (14/7/2018) itu, meski tim tamu sukses membekuk tuan rumah dengan skor 0-2, sorotan nyatanya bukan tertuju kepada jalannya pertandingan.
ADVERTISEMENT
Ya, pada laga itu terlihat jelas kondisi Stadion Hoegeng yang sangat tak layak, terutama pada lapangannya. Sebutan lapangan hijau tampaknya sama sekali tak cocok untuk stadion yang dibangun pada 1986 itu. Mengapa?
Karena sama sekali tak ada rumput hijaunya, dan berganti menjadi warna kecokelatan. Rumput-rumput terlihat sudah mati dan mengering. Tak hanya itu, lapangan bahkan lebih terlihat dikelilingi oleh tanah liat.
Kondisi itu lantas menjadi perbincangan di dunia maya. Mereka kebanyakan menyindir kelayakan stadion berkapasitas 20.000 orang itu dalam menggelar pertandingan berskala nasional. Bahkan, ada yang menyebut bahwa turnamen tenis Roland-Garros sudah pindah ke Liga Indonesia.
Anda tahu Roland-Garros, kan? Nama lain untuk sebutan turnamen tenis Prancis Terbuka yang digelar selama dua pekan dari pertengahan Mei hingga awal Juni di Paris pada setiap tahunnya. Ciri khasnya adalah lapangan tanah liat. Benar, persis seperti Stadion Hoegeng.
ADVERTISEMENT
Dan, jika Anda mengira bahwa permasalahan kualitas lapangan hanya terjadi di Stadion Hoegeng, maka Anda salah besar. Karena, ketidaklayakan stadion di Indonesia juga ditemui di Stadion Lalu Megaparang, Sumbawa Barat.
Hal itu terlihat ketika PS Sumbawa Barat (Liga 3) menjamu Bali United (Liga1) di ajang Piala Indonesia 2018 pada 2 Juli silam. Ketika itu, para penggawa Bali United harus bermain di lapangan dengan kondisi buruk dengan permukaan tanah bergelombang dan kontur tanah yang keras.
Pada akhirnya, harus diakui, masih banyak hal yang harus diperbaiki dari sepak bola Indonesia. Bagaimana mau menciptakan prestasi, jika infrastruktur yang dimiliki saja butut? Tentunya, persoalan kelayakan stadion, tak hanya menjadi urusan PSSI, melainkan juga menjadi tugas dari pemerintah daerah setempat.
ADVERTISEMENT
Sepakat?