Ketika sang Ninja Kembali

6 Agustus 2019 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Radja Nainggolan memilih pulang ke Cagliari. Foto: AFP/Marco Bertorello
zoom-in-whitePerbesar
Radja Nainggolan memilih pulang ke Cagliari. Foto: AFP/Marco Bertorello
ADVERTISEMENT
Seperempat abad lebih sudah berlalu dan Radja Nainggolan tak pernah lagi menengok ke belakang. Sejak masih bocah dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan dan itu masih dia lanjutkan sampai sekarang, ketika karier sepak bolanya sudah mulai memasuki masa senja.
ADVERTISEMENT
Nainggolan bukan pesepak bola biasa karena karakternya sebagai manusia benar-benar tampak ketika dia berlaga di lapangan. Kejujuran itu pun dia banggakan betul. Dia tidak pernah malu-malu, tidak pernah berusaha menutupi apa pun, dan selalu mengungkapkan apa yang dia rasa perlu diungkapkan.
Ini membuatnya jadi sebuah anakronisme. Ketika orang-orang di sekelilingnya secara serempak bergerak menuju modernitas, di mana segalanya terbungkus rapi demi lancarnya pemasukan, Nainggolan memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan tatonya, dengan rambut mohawk-nya, dengan hobinya merokok dan mabuk-mabukan.
Nainggolan tak pernah peduli apa kata orang. Ketika dia tidak menyukai sesuatu, dia akan mengatakannya terus terang. Ketidaksukaannya pada Juventus, misalnya. Dalam sebuah kesempatan, di sebuah bar di Roma, Nainggolan mengungkapkan kebenciannya pada 'Si Nyonya Tua' yang menurutnya selalu menang dengan penalti dan tendangan bebas. Dia menjelaskan semua itu sambil menikmati sebatang rokok.
ADVERTISEMENT
Orang seperti itulah Nainggolan. Pesepak bola macam itulah Nainggolan. Dengannya, apa yang kau lihat adalah apa yang kau dapatkan. Well, kecuali jika kita sudah berbicara soal keluarga. Dalam hal ini, apa yang kau lihat dari dirinya sama sekali tak bisa dijadikan cerminan.
Nainggolan lahir dan besar di Antwerp, kota terbesar kedua di Belgia. Ibunya asli sana, ayahnya orang Indonesia. Namun, pria 31 tahun itu tidak pernah mengenal ayahnya. Dia kabur dari rumah meninggalkan utang ketika Nainggolan masih balita.
Situasi itulah yang membuat Nainggolan jadi dirinya yang sekarang. Sejak kecil dia sudah harus melihat ibunya, Lizy, membanting tulang agar bisa memenuhi kebutuhan Nainggolan beserta saudara-saudaranya, termasuk sang saudara kembar, Riana. Bukan perkara mudah menghidupi lima anak sebagai orang tua tunggal.
ADVERTISEMENT
Nainggolan kecil tinggal di daerah kumuh Antwerp yang keras. Untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dia harus selalu bertarung sekuat tenaga. Mentalitas itu pertama kali terlihat ketika dia dan Riana masuk ke sebuah sekolah sepak bola milik klub lokal, Tubantia Borgehout, di usia lima tahun.
Meskipun saat itu bermain sebagai gelandang serang, sifat kombatif Nainggolan sudah tampak jelas. Dia bukan pemain nomor sepuluh manja yang selalu minta dilayani rekan-rekannya. Kalau bisa mendapatkan bola sendiri, dia tidak mau bergantung pada orang lain.
Pada akhirnya, sifat kombatif itulah yang akhirnya benar-benar menonjol. Lambat laun, Nainggolan pun berhenti menjadi gelandang serang. Kemauan kuatnya untuk menghajar lawan membuat Nainggolan dipindah ke bagian belakang untuk menjadi gelandang bertahan.
ADVERTISEMENT
Dengan posisi barunya inilah Nainggolan bisa mendapat tawaran untuk bergabung dengan Germinal Beerschot. Bagi Nainggolan, keberhasilan masuk akademi Germinal ini adalah sebuah momen yang mengubah hidupnya. Dalam penuturannya di akun Medium AS Roma, Nainggolan berkisah bahwa itu adalah saat di mana dia sadar sepak bola bisa menjadi jalan hidupnya.
Nainggolan masih berumur 10 tahun saat bergabung dengan Germinal. Klub itu sekarang memang sudah bangkrut tetapi dari sana pernah lahir pemain-pemain besar macam Toby Alderweireld, Jan Vertonghen, dan Moussa Dembele. Dengan kata lain, Germinal adalah klub bona fide di Belgia sana.
Namun, Nainggolan tahu bahwa dia tidak bisa berharap sepenuhnya pada sepak bola. Di usia demikian segalanya memang masih bisa terjadi dan maka dari itu dia pun memutuskan untuk tidak meninggalkan sekolah. Katanya, agar sang ibu tidak kecewa dan sedih.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, sepak bola memang jadi jalan hidup Nainggolan karena ketika menuntut ilmu bersama Germinal dia bertemu dengan seorang agen sepak bola asal Italia bernama Alessandro Beltrami. Kala itu usia Nainggolan baru 17 tahun dan oleh Beltrami dia ditawari kesempatan untuk bermain di Liga Italia. Tidak di Serie A, memang, melainkan di Serie B bersama Piacenza.
Tawaran itu sebenarnya tidak terlalu menggiurkan. Namun, bermain di Italia adalah sebuah kesempatan yang tak bisa didapatkan semua orang. Maka, tanpa pikir panjang Nainggolan mengiyakan tawaran dari Beltrami tadi. Jadilah kemudian dia hijrah ke 'Negeri Piza'.
Setibanya di Piacenza, Nainggolan tidak langsung mendapat kesempatan bermain di tim utama. Dia pernah mengakui bahwa ada perbedaan besar antara sepak bola di negara asalnya dan di Italia. Nainggolan sempat kesulitan di Italia tetapi dia tak butuh waktu terlalu lama untuk menggoreskan jejak pertamanya. Mei 2006, dia dipercaya turun sebagai pemain senior dalam laga kontra Arezzo.
ADVERTISEMENT
Pertandingan melawan Arezzo itu menjadi titik tolak karier Nainggolan. Perlahan-lahan dia makin sering dipercaya mengisi satu tempat di tim utama Piacenza sampai akhirnya pada musim 2008/09 dia menjadi pemain yang nyaris tak tergantikan. Saat itu dia mencetak tiga gol dari 38 pertandingan untuk menyelamatkan Piacenza dari degradasi.
Selain mencuat bersama Piacenza, Nainggolan juga kemudian mendapat panggilan negara untuk membela Timnas Belgia U-21. Pada momen ini, masa depan tampak begitu cerah baginya.
Dan, benar saja. Pada 2010 Nainggolan akhirnya direkrut oleh Cagliari yang berlaga di Serie A. Kala itu, sosok pelatih yang membawanya ke sana adalah Massimiliano Allegri. Di klub asal Pulau Sardinia itulah Nainggolan berkembang pesat.
Ketika tiba di Cagliari, segala ilmu yang dipelajari Nainggolan di masa mudanya sudah berpadu dengan sempurna. Dia punya teknik bagus karena sudah terbiasa bermain di depan. Ini membuatnya jadi sosok pengumpan yang piawai. Di sisi lain, kemauannya bertarung tadi juga sudah berkembang menjadi kemampuan merebut bola.
ADVERTISEMENT
Perpaduan itu membuat Nainggolan jadi gelandang bertahan yang sempurna, khususnya untuk tim seperti Cagliari yang banyak mengandalkan serangan balik. Nainggolan pun menjadi pemain yang mampu mendaur ulang permainan dengan baik. Usai membuat serangan lawan menjadi sampah dengan tekelnya, dia menyulapnya jadi barang berharga melalui umpan-umpannya.
Nainggolan awalnya datang ke Cagliari sebagai pemain pinjaman pada pertengahan musim 2009/10. Saat itu pun dia cuma dimainkan tujuh kali, dengan lima di antaranya sebagai pengganti. Namun, Gli Isolani menyadari potensi pria bertinggi 176 cm itu. Di musim panas mereka lantas mengikatnya secara permanen.
Menyaksikan Nainggolan berlaga di lapangan adalah hal mengasyikkan. Dia adalah pemain kaya teknik dalam balutan seorang petarung. Dia mampu memberi harapan kepada para suporter Cagliari. Setidaknya, di saat tim tidak tampil maksimal, ada seseorang yang pasti mau mengupayakan kemenangan.
ADVERTISEMENT
Radja Nainggolan membela Cagliari dalam laga Serie A melawan Inter Milan, September 2013. Foto: Simone Ferraro/AFP
Sebagai seorang gelandang bertahan, selain dibekali kemauan untuk bertarung, Nainggolan juga memiliki modal bernama kecepatan dalam bergerak dan kepiawaian menempatkan posisi. Dia pun jadi seperti ada di mana-mana untuk menghentikan serangan lawan.
Menurut catatan WhoScored, selama tiga musim bermain untuk Cagliari secara penuh, Nainggolan mampu mencatatkan rata-rata 3,7 tekel, 2 intersep, dan 1,9 sapuan setiap laganya. Untuk urusan menyerang, dia sanggup membukukan 0,8 umpan kunci, 1,1 dribel sukses, serta 1,5 tembakan di setiap pertandingan. Tak heran jika dia bisa mengemas 5 gol dan 5 assist. Untuk seorang gelandang bertahan, itu catatan yang cukup baik.
Dengan segala yang dia tampilkan itulah Nainggolan kemudian menjadi pemain kesayangan suporter Cagliari. Dia mendapat julukan Ninja dan dipilih menjadi satu dari sebelas pemain terbaik Cagliari sepanjang sejarah. Usai mengumumkan bahwa dia akan pindah ke Roma pun Nainggolan tetap mendapat aplaus meriah dari para pemujanya.
ADVERTISEMENT
Bagi Nainggolan, Cagliari memang tempat spesial. Di pulau yang jauh dari pusat pemerintahan dan industri, dia menemukan tempat yang begitu cocok dengan mentalitasnya sebagai seorang pemain dan manusia. Di Sardinia, mentalitas 'kita versus mereka' itu dimaknai betul oleh Nainggolan, terutama dalam hubungannya dengan membenci Juventus tadi.
Tak sampai di situ arti Sardinia bagi Nainggolan karena di pulau itulah dia bertemu sosok yang jadi tambatan hatinya, Claudia Lai. Pada 2012 mereka menikah dan kemudian dikaruniai dua orang anak, Aysha dan Mailey. Keluarga ini pun tumbuh jadi keluarga yang bahagia sampai akhirnya pada 10 Juli 2019 lalu sebuah kabar tak mengenakkan muncul dari sana.
Pada tanggal itu Lai mengumumkan bahwa dia tengah berjuang melawan kanker. Bagi Nainggolan, kanker adalah momok karena sang ibu wafat pada 2010 usai bertarung melawan penyakit ini. Inilah yang membuat Nainggolan menato punggungnya dengan gambar sayap malaikat dan tanggal lahir serta wafat sang ibu.
ADVERTISEMENT
Celakanya lagi, kabar tersebut muncul di saat yang bersamaan dengan terombang-ambingnya nasib Nainggolan bersama Internazionale. Pelatih Antonio Conte yang sempat berupaya merekrutnya untuk Juventus dan Chelsea memutuskan bahwa Nainggolan tak masuk dalam rencananya.
Nainggolan pun tidak punya pilihan lain kecuali bergerak cepat mencari klub baru. Dengan kemampuan yang dia miliki, dia sebenarnya tidak kesulitan mendapatkan peminat. Fiorentina, yang kepemilikannya baru saja diambil alih oleh Rocco Commisso, berusaha merekrutnya.
Namun, Nainggolan punya pilihan sendiri. Dia pun memilih untuk pulang ke Cagliari, ke tempat di mana hatinya masih tertinggal. Kepulangan Nainggolan ini disambut antusias oleh Presiden Cagliari, Tommaso Giulini, yang menyebut bahwa hal tersebut merupakan 'yang terbaik sepanjang masa'.
Bersama Cagliari, Nainggolan punya dua misi. Pertama, tentunya, dia harus mengawal proses penyembuhan sang istri serta membesarkan anak-anaknya di situasi sulit. Kedua, dia ingin membuktikan bahwa Inter sudah melakukan kesalahan dengan memperlakukannya demikian.
ADVERTISEMENT
"Aku bahagia bisa kembali ke rumah. Aku telah menetapkan pilihan meskipun itu kulakukan dengan sedikit terpaksa. Aku sekarang punya prioritas lain dan itu memudahkanku untuk membuat keputusan ini. Sekarang aku akan menantang diriku sendiri, kembali berlaga, dan aku akan buktikan Inter salah melepasku," katanya usai makan malam perpisahan dengan para pemain Inter.
Janji Nainggolan itu adalah janji besar. Tidak mudah untuk mengangkat Cagliari karena musim lalu mereka adalah salah satu tim yang terancam degradasi. Namun, Nainggolan bukan pesepak bola biasa. Dia adalah sosok yang selalu mampu menaklukkan situasi sulit dan ini pun rasanya takkan jadi pengecualian.