Ketika Teror Membuat Sepak Bola Berhenti Sejenak

12 April 2017 12:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tidak ada laga di Westfalenstadion malam tadi. (Foto: Ralph Orlowski/Reuters)
Semalam, sepak bola kembali dipaksa untuk menghela napas sejenak. Westfalenstadion memang sudah penuh terisi, namun mereka yang telah hadir akhirnya harus pulang tanpa sempat menyaksikan pertandingan Borussia Dortmund melawan Monaco digelar.
ADVERTISEMENT
Alih-alih begitu, mereka justru harus menerima kabar buruk. Tiga ledakan mengenai bus tim Dortmund yang sedang dalam perjalanan menuju stadion. Marc Bartra, salah seorang penggawa inti Die Borussen, bahkan harus dilarikan ke rumah sakit akibat terkena pecahan kaca.
Entah apa motif penyerangan ini. Pihak kepolisian sudah menyatakan bahwa mereka menemukan sepucuk surat di dekat lokasi ledakan. Selain itu, mereka juga sudah menyebut bahwa serangan ini memang ditujukan kepada rombongan tim. Akan tetapi, soal apa isi surat itu, siapa pengirimnya, lalu oleh siapa serangan ini dilakukan, mereka belum mau membocorkan.
Pertandingan antara Dortmund dan Monaco seharusnya menjadi salah satu laga paling menarik di perempat final Liga Champions musim ini. Selain sama-sama berstatus kuda hitam, mereka juga dikenal akan permainan ofensif nan atraktifnya.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum sempat saling hajar di lapangan, Dortmund sudah terlebih dahulu dipaksa untuk terkapar di luar stadion. Mendengar bahwa lawan mereka diserang oleh teroris, para suporter Monaco pun meneriakkan dukungan mereka di dalam stadion.
Dukungan suporter Monaco itu kemudian mendapat balasan dari para suporter Dortmund. Setelah resmi diumumkan bahwa pertandingan akan digelar dini hari (13/4) nanti, mereka menawarkan tempat menginap bagi para suporter tamu yang belum memiliki akomodasi. Tagar #bedforawayfans pun disebar di dunia maya untuk membantu para fans tamu yang membutuhkan.
Semalam, meski berduka, sepak bola akhirnya tetap menang juga.
Bukan yang Pertama
Teror dan olahraga sebenarnya sudah kerapkali bersinggungan. Tahun 2010 lalu, misalnya, rombongan bus Tim Nasional Togo yang sedang berlaga di Piala Afrika di Angola diserang oleh Front Pembebasan Daerah Kantong Cabinda (FLEC). Tiga orang, termasuk asisten pelatih Amelete Abalo, meninggal dunia, sementara sembilan orang -- termasuk dua pemain timnas -- luka-luka.
ADVERTISEMENT
Serangan itu sendiri merupakan bagian dari aksi separatisme FLEC yang ingin memisahkan diri dari Angola. Cabinda sendiri, secara geografis, memang terpisah dari bekas jajahan Portugal itu. Di tengah-tengahnya, ada sebagian wilayah Republik Demokratik Kongo yang memisahkan.
Setelah serangan itu, Togo pun memutuskan mundur dari turnamen dan Emmanuel Adebayor, pemain andalan mereka, sempat menyatakan pensiun dari timnas. Namun, tak lama berselang, mantan pemain Monaco itu mau kembali lagi membela negaranya setelah mendapat jaminan keamanan.
Di Liga Champions, aksi teror juga pernah terjadi pada tahun 2002. Jelang semifinal antara Real Madrid dan Barcelona, sebuah bom mobil meledak di dekat Santiago Bernabeu beberapa jam sebelum sepak mula. Kelompok separatis Basque, Euskadi Ta Askatasuna (ETA), bertanggung jawab atasnya. Beruntung, tidak ada korban jatuh pada peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Bus Borussia Dortmund yang jadi target bom (Foto: Carsten Linhoff/dpa via AP)
Kemudian, bulan November tahun lalu, meski berhasil digagalkan, sempat ada rencana penyerangan terhadap Timnas Israel oleh kelompok ISIS yang berbasis di Kosovo dan Albania. Serangan itu sedianya bakal dilancarkan saat Israel bertandang ke Tirana untuk menghadapi Albania pada Kualifikasi Piala Dunia 2018.
Independent melansir bahwa sejumlah bom, senjata api, bahan peledak, dan berbagai peralatan elektronik berhasil diamankan. Sementara itu, 25 orang terduga teroris ditangkap di Kosovo, Albania, dan Makedonia.
Adapun, rencana serangan ISIS di Albania itu bukan yang pertama kali ditujukan untuk para atlet Israel. Pada tahun 1972 lalu, 11 anggota kontingen Israel di Olimpiade Muenchen tewas di tangan kelompok teroris Palestina, Black September.
Sebelum dieksekusi, 11 orang itu terlebih dahulu disandera selama hampir 24 jam. Kelompok Black September sendiri ketika itu menuntut pengembalian 234 orang Palestina yang ditahan di Israel, serta pembebasan terhadap dua pemimpin ekstremis kiri Red Army Faction, Andreas Baader dan Ulrike Meinhoff.
ADVERTISEMENT
Jelang Olimpiade Atlanta 1996, teror juga terjadi. Dalam sebuah konser musik di Centennial Olympic Park Atlanta, dua orang tewas dan 120 lainnya luka-luka menyusul ledakan dari tiga bom yang diletakkan di bawah bangku penonton.
Tak seperti Black September yang merupakan sebuah grup, di Atlanta, pelakunya hanya seorang, yakni Eric Rudolph, seorang mantan ahli bahan peledak Angkatan Darat Amerika Serikat. Rudolph menganggap bahwa "Olimpiade adalah sarana untuk mempromosikan sosialisme global". Atas perbuatannya ini, dia kini sedang menjalani empat hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Tak hanya sepak bola dan Olimpiade saja, ternyata olahraga kriket pun pernah dua kali menjadi korban aksi teror. Pada tahun 2002, sebuah bom bunuh diri diledakkan persis di depan hotel tempat rombongan tim Selandia Baru menginap di Karachi, Pakistan. Pada peristiwa itu, fisioterapis tim mereka meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Bom, kriket, dan Pakistan kembali menjadi tiga serangkai pada 2009 lalu. Dalam perjalanan menuju ke stadion di Lahore, Pakistan, rombongan tim Sri Lanka diserang 12 orang bersenjata. Enam anggota tim mengalami luka-luka paada serangan yang dilakukan oleh kelompok milisi jihad, Lashkar-e-Jhangvi, tersebut.
Mengapa Olahraga Jadi Sasaran?
Dalam rilis yang dikeluarkan Pemerintah Australia, ada beberapa alasan mengapa ajang olahraga, khususnya yang melibatkan lebih dari satu negara, dijadikan target. Namun, hal terpenting yang membuat ajang olahraga jadi sasaran empuk adalah karena sifat internasionalnya. Dengan terlibatnya dua negara atau lebih, maka perhatian pun bakal menjadi lebih besar.
Pemain Borussia Dortmund usai ledakan bom (Foto: Carsten Linhoff/dpa via AP)
Dalam kasus serangan terhadap bus Dortmund, misalnya, ada setidaknya tiga negara yang terlibat: Jerman sebagai negara asal Dortmund, Prancis sebagai negara asal Monaco, dan Spanyol sebagai negara asal Marc Bartra yang menjadi korban. Dengan begini, pemberitaan pun makin kencang dan para teroris pun akhirnya mendapat publikasi yang mereka inginkan.
ADVERTISEMENT
Karena itu pula, pihak kepolisian Jerman menolak untuk membeberkan apa isi surat yang mereka temukan dan dari siapa surat itu berasal. Mereka tidak ingin memberi panggung bagi para teroris yang ingin kebagaian jatah lampu sorot.