Kupas Tuntas Problem Finansial AC Milan

25 Juli 2018 14:26 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain AC Milan. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain AC Milan. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
ADVERTISEMENT
Nama orang itu Berlusconi. Silvio Berlusconi, dan dia punya banyak sekali predikat.
ADVERTISEMENT
Orang mengenalnya sebagai sosok pengusaha dan politisi. Yang lain menyebut dirinya sebagai koruptor dan bandit. Lalu, ada pula sebagian orang yang memilih untuk memberi label pecandu seks kepadanya. Namun, bagi para pendukung Associazione Calcio Milan, nama Berlusconi cuma punya satu arti: Pahlawan.
Berlusconi datang ke Milan pada masa-masa kelam klub kelahiran 1899 tersebut. Pada dekade 1980-an, menyusul skandal toto gelap yang membikin mereka terdemosi ke Serie B, Milan kesulitan untuk bangkit. Pada musim 1984/85, Milan hanya mampu finis di urutan tujuh Serie A. Di saat yang bersamaan, Juventus berhasil mengangkat trofi European Cup pertamanya.
Hari ketika Berlusconi datang adalah hari yang takkan pernah dilupakan para Milanisti. Dengan helikopter berwarna putih dan iringan lagu 'Ride of the Valkyries' gubahan Wagner yang menggelegar, Berlusconi menandai keberadaan sebuah era baru, tak cuma di Milan, melainkan juga di Italia. Milan yang tengah merana itu disulapnya menjadi entitas bisnis modern. Alhasil, laju mereka pun tak terbendung.
ADVERTISEMENT
Tiga dekade lamanya Berlusconi jadi penguasa Milan. Dalam kurun waktu itu, belasan gelar berhasil mereka rengkuh bersama. Akan tetapi, ada sebuah ancaman dari luar yang tak mampu mereka prediksi, apalagi atasi. Yakni, meroketnya nilai hak siar klub-klub Inggris. Di sisi lain, sepak bola Italia mengalami penurunan akibat skandal pengaturan skor dan membusuknya infrastruktur.
Pada musim 2004/05, Milan masih berada di deretan atas klub terkaya di dunia. Deloitte mencatat bahwa saat itu pendapatan mereka mencapai 234 juta euro per annum. Pendapatan tersebut membuat mereka berada di urutan ketiga Deloitte Money League tahun tersebut.
Namun, perlahan-lahan Milan mengalami kemunduran. Meroketnya nilai hak siar Liga Inggris itu membuat klub-klub Italia, termasuk Milan, jadi kehilangan pamor. Akibatnya, kekuatan finansial mereka tak lagi cukup untuk mendatangkan nama-nama besar sebagai pengganti para serdadu tua mereka yang telah kelelahan.
ADVERTISEMENT
Perpaduan dua hal itulah yang akhirnya membuat Milan jatuh dalam kemelaratan. Ketidakmampuan mereka menarik nama besar itu akhirnya berpengaruh pada prestasi. Minimnya prestasi itu akhirnya membuat mereka kehilangan pendapatan yang cukup besar. Sebab, tanpa uang hak siar yang besar, satu-satunya harapan bagi klub Italia untuk meraup euro adalah dengan berprestasi di Eropa.
Masalah itu sebenarnya sudah mulai terasa ketika Milan menjual Kaka ke Real Madrid pada 2009. Uang penjualan Kaka ketika itu digunakan Milan untuk menutupi lubang di pundi-pundi uangnya. Namun, pada akhirnya hal itu juga tetap tidak mampu menahan derasnya kebocoran pundi-pundi uang tadi. Sampai akhirnya, Berlusconi dipaksa untuk menjual Milan pada 2016 lalu kepada pengusaha China, Li Yonghong.
ADVERTISEMENT
***
Ada kesamaan tak terelakkan antara Li dan Berlusconi. Keduanya datang di masa-masa kelam dengan menawarkan jalan keluar menuju kejayaan. Pada masa awal Li, tiba-tiba Milan kembali menjadi klub kaya. Mereka bahkan sanggup menghamburkan uang sampai kurang lebih 200 juta euro untuk belanja pemain, termasuk Leonardo Bonucci yang dibajak dari Juventus. Aktivitas itu membuat tagar #WeAreSoRich digemakan suporter Milan di dunia maya.
Namun, hanya sampai di situlah persamaan antara Li dan Berlusconi. Sebab, Li sebenarnya datang tanpa membawa uang miliknya sendiri. Lebih parahnya, dia tidak memiliki rencana yang matang untuk memulihkan kondisi keuangan Milan.
Li membeli Milan dengan harga 740 juta euro. Jumlah itu adalah gabungan dari nilai saham mayoritas Milan dan total utang yang ditinggalkan oleh rezim Berlusconi senilai 220 juta euro. Untuk melakukan itu, Li harus berutang kepada sebuah firma investasi asal Amerika Serikat bernama Elliott Management. Utang Li kepada Elliott itu ada di kisaran 180 juta euro dengan bunga 11 persen.
ADVERTISEMENT
Mantan pemilik Milan, Li Yonghong. (Foto: Reuters/Alessandro Garofalo)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan pemilik Milan, Li Yonghong. (Foto: Reuters/Alessandro Garofalo)
Kontribusi Elliott kepada Milan tak berhenti sampai di situ. Dalam prosesnya, firma yang berbasis di New York itu juga meminjamkan dana investasi senilai 127 juta euro sebagai modal untuk membangun kembali kejayaan Milan. Dari situ, Li ditarget untuk melunasi semua pinjamannya pada Oktober 2018.
Awalnya, rencana itu terlihat sebagai sebuah rencana yang bagus. Risikonya memang sangat tinggi, tetapi dengan belanja gila-gilaan yang dilakukan, optimisme pun merebak. Jika Milan mampu lolos ke Liga Champions, semestinya utang Li itu bisa terbayar.
Sayang, kenyataan berkata lain. Milan gagal memenuhi target yang ditetapkan pada awal musim lalu. Pada pertengahan musim 2017/18 saja mereka sudah masuk target investigasi UEFA untuk pelanggaran Financial Fair Play. Saat itu, Milan sudah diprediksi tidak akan mampu lolos ke Liga Champions meski jatah untuk Serie A sudah naik lagi menjadi empat klub.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, prediksi itu menjadi kenyataan. Milan benar-benar gagal masuk zona Liga Champions. Sanksi Financial Fair Play pun dijatuhkan kepada mereka. Milan dilarang untuk mengikuti Liga Europa.
Dari sana, masalah yang dihadapi Li semakin pelik. Sudah tidak lolos ke Liga Champions, bermain di Liga Europa pun Milan tak boleh. Alhasil, Li pun dipastikan tidak bisa membayar cicilan utangnya kepada Elliott. Padahal, besaran cicilan utang Li itu 'hanya' ada di kisaran 32 juta euro. Inilah yang membuat Milan kemudian disita.
CEO baru Milan, Paolo Scaroni. (Foto: AFP/Rodger Bosch)
zoom-in-whitePerbesar
CEO baru Milan, Paolo Scaroni. (Foto: AFP/Rodger Bosch)
***
Pertanyaan pun, mau tidak mau, harus dilontarkan. Apa yang membuat Milan jadi seperti ini? Apa kesalahan yang dilakukan oleh manajemen sehingga klub berjuluk 'Iblis Merah' ini harus kembali tenggelam dalam prahara?
ADVERTISEMENT
Jawaban untuk ini sebetulnya sederhana saja. Kesalahan, tentunya, berasal dari kenekatan Li untuk membeli Milan dengan uang hasil berutang yang jumlahnya cukup besar. Akan tetapi, sebenarnya dengan manajemen yang lebih baik, hal tersebut seharusnya bisa diatasi. Celakanya, Li menunjuk orang-orang yang kurang pas untuk duduk di jajaran manajemen.
Dalam sepekan terakhir, setelah diakuisisi oleh Elliott, Milan melakukan restrukturisasi. Dua orang yang musim lalu senantiasa muncul di berita-berita terkait Milan, Marco Fassone dan Massimiliano Mirabelli, jadi dua dari sekian banyak korban restrukturisasi yang dimaksud. Kedua orang ini diberhentikan dari jabatannya sebagai CEO dan direktur olahraga Milan.
Apabila Fassone dan Mirabelli akhirnya jadi korban terbesar restrukturisasi itu, rasanya wajar. Sebab, di tangan merekalah nasib Milan musim lalu digantungkan. Mereka yang terlibat secara langsung dalam urusan sehari-hari Milan, mereka pula yang memilih pemain-pemain mana yang dibeli untuk kembali mengangkat Rossoneri ke khitahnya.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain yang dibeli Milan itu akhirnya hampir semua gagal menampilkan performa terbaik. Leonardo Bonucci doyan melakukan blunder, Andre Silva dan Mateo Musacchio gagal jadi pemain inti, Andrea Conti malah mengalami cedera panjang, Hakan Calhanoglu dan Fabio Borini penampilannya naik-turun, kemudian Lucas Biglia, Nikola Kalinic, dan Ricardo Rodriguez pun terjangkit inkonsistensi.
Prakts, dari sekian banyak pemain yang didatangkan Milan itu, hanya Franck Kessie yang mampu menunjukkan penampilan apik dan konsisten. Namun, Kessie saja tentu tidak cukup untuk mengangkat Milan. Apalagi, pemain asal Pantai Gading itu masih berusia 20 tahun.
Para pemain Milan bersama kepala sukunya. (Foto: AFP/Miguel Medina)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Milan bersama kepala sukunya. (Foto: AFP/Miguel Medina)
Sikap Milan dalam menyikapi uang ratusan juta euro yang mereka miliki itu akhirnya yang membuat mereka terjerembab. Mereka mengoleksi pemain-pemain medioker dalam jumlah banyak. Plus, dengan pemain sebanyak itu, proses integrasi mereka ke dalam tim juga jadi masalah tersendiri.
ADVERTISEMENT
Masalah bertambah dengan ketiadaan sosok pelatih yang mampu mencari ramuan terbaik. Vincenzo Montella yang mampu membawa Milan tampil menjanjikan dalam keterbatasan di musim 2016/17 akhirnya dipecat setelah gagal meramu pemain-pemain anyar itu jadi satu koleksi yang kuat.
Gennaro Gattuso, suksesornya, memang bisa memberi keyakinan lagi. Namun, suka tidak suka, Gattuso juga belum bisa dibilang sebagai solusi yang pas untuk sektor pelatih. Pasalnya, dia belum teruji betul. Ada kemungkinan, apa yang diperbuat Gattuso pada paruh kedua musim 2017/18 hanyalah contoh dari keberuntungan seorang pemula.
Semua itu, pemilihan pemain dan pelatih, adalah tanggung jawab dari Fassone dan Mirabelli. Kini, pemain-pemain itu masih dipertahankan, tetapi Fassone dan Mirabelli sudah ditendang. Ini bukan masalah. Sebab, pemain-pemain itu tentunya juga sudah terintegrasi dengan lebih baik dibanding pada awal musim lalu. Dengan enyahnya Fassone dan Mirabelli, distraksi untuk para pemain pun semestinya bisa diminimalisir demi penampilan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, Milan hanya salah asuhan. Terlepas dari itu, mereka masih merupakan sebuah institusi penting di Italia dengan jumlah penggemar yang tak berkurang. Apalagi, setelah jatuh ke tangan Elliott, UEFA kembali percaya Milan bisa mengatasi semua masalah finansialnya.
Saat ini, dalam situasi yang kurang menguntungkan sekalipun, Milan masih punya modal sosial yang bagus. Dengan penanganan yang tepat, tak ada alasan bagi mereka untuk tak kembali ke puncak kejayaan.
=====
Catatan Redaksi: Pada tulisan sebelumnya, besaran bunga 11 persen yang ditetapkan Elliott untuk pinjaman Li Yonghong belum dicantumkan. Pada versi yang telah diperbarui, data tersebut sudah dimasukkan.