Lawan Rasialisme, Pesepak Bola Premier League Boikot Media Sosial

19 April 2019 19:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi rasialisme suporter Montenegro terhadap pemain Inggris, Danny Rose, berbuah dakwaan dari UEFA. Foto: Reuters/Carl Recine
zoom-in-whitePerbesar
Aksi rasialisme suporter Montenegro terhadap pemain Inggris, Danny Rose, berbuah dakwaan dari UEFA. Foto: Reuters/Carl Recine
ADVERTISEMENT
Insiden rasialisme yang kian marak terjadi di sepak bola beberapa waktu terakhir melukai banyak pemain si Kulit Bulat, termasuk mereka yang mentas di Premier League. Sebagai bentuk perlawanan, para pesepak bola di liga paling glamor sejagat itu melakukan aksi boikot di seluruh sosial media pribadi selama 24 jam.
ADVERTISEMENT
Aksi tak beraktivitas di dunia maya ini dimulai pada Jumat (19/4/2019) pukul 09:00 pagi, hingga Sabtu (20/4) 09:00 pagi waktu setempat (15:00 WIB). Kampanye ini sendiri diorganisir oleh Professional Footballer’s Association (PFA) yang meluncurkan tagar '#Enough' di media sosial sebagai ajakan memerangi rasialisme lebih keras.
Beberapa pemain top macam James Milner, Hector Bellerin, hingga Georginio Wijnaldum ikut mengampanyekan aksi ini di Twitter pribadi masing-masing. Kampanye tersebut akhirnya diikuti juga oleh klub-klub dari berbagai level kompetisi di Inggris sana.
Aksi rasialisme teranyar menimpa wakil kapten Manchester United, Ashley Young. Pemain berusia 31 tahun itu mendapat kecaman di media sosial usai melakukan blunder saat The Red Devils dikalahkan Barcelona pada leg kedua perempat final Liga Champions, Rabu (17/4) dini hari WIB.
ADVERTISEMENT
Selain Young, Chris Smalling juga terkena pelecehan rasial di media sosial usai kekalahan United tersebut. Sebelum mereka, beberapa pemain Premier League lain seperti Mohamed Salah (Liverpool), Pierre-Emerick Aubameyang (Arsenal), dan Wilfried Zaha (Crystal Palace) juga mendapat perlakuan serupa beberapa minggu ke belakang.
Aksi rasialisme juga menimpa penggawa Watford, Troy Deeney, usai menyingkirkan Wolverhampton Wanderers di semifinal Piala FA. Atas aksi itu, Deeney sampai menutup kolom komentar di akun Instagram pribadinya.
Pertandingan internasional antarnegara pun tak lepas dari aksi rasialisme, seperti yang menimpa Danny Rose saat bertandang ke markas Montenegro bersama Timnas Inggris. Lantas, dengan adanya aksi boikot sosial media, full-back Tottenham Hotspur itu berharap ada aksi lebih nyata dilakukan untuk membuat rasialisme lenyap di jagat sepak bola.
ADVERTISEMENT
Bek Timnas Inggris, Danny Rose. Foto: Reuters/Paul Childs
Wajar Rose jengah karena busuknya teror rasial acap ditutupi dengan cara yang begitu sederhana dan menyepelekan: denda. Ambil contoh saat ia berlaga bersama Timnas U-21 Inggris melawan Serbia pada Oktober 2012. Kala itu, perlakuan rasial berupa teriakan menyerupai suara monyet ditelannya bulat-bulat.
Serbia sebetulnya mendapat ancaman hukuman bermain tanpa penonton. Namun, setelah itu persoalan seperti beres begitu saja saat Serbia membayar denda 80.000 euro. Rose berharap aksi boikot membuka mata otoritas sepak bola internasional macam FIFA agar memberi perlindungan lebih pada pemain sehingga terhindar dari perlakuan sinting ini.
“Sepak bola memiliki masalah dengan rasialisme. Saya tak ingin ada pemain lain merasakan apa yang saya lalui. Bersama, kami tidak mau hanya bereaksi sementara. Terlalu sedikit yang dilakukan oleh otoritas sepak bola dan perusahaan media sosial untuk melindungi pemain dari perlakukan menjijikkan ini," ucap Rose dilansir The Guardian.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Simone Pound selaku salah satu petinggi PFA mengatakan bahwa ajakan boikot sosial media selama 24 jam ini adalah langkah awal dari kampanye jangka panjang yang dipersiapkan pihaknya. Harapannya, akan semakin besar tekanan kepada otoritas sepak bola dunia, pemerintah Inggris, dan federasi sepak bola Inggris untuk melawan rasialisme.
“Sepak bola punya kekuatan untuk memberi hal baik di dunia. Kita harus coba menggunakan olahraga terpopuler ini untuk membuat perubahan positif. Dalam beberapa bulan terakhir, marak terjadi rasialisme langsung dan di sosial media. Kita tak bisa diam untuk melawan perlakuan tersebut,” tegas Pound.