Liga Europa: Misi Inter dan Napoli Jaga Martabat Sepak Bola Italia

21 Februari 2019 18:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lautaro Martinez (kedua dari kiri) merayakan gol Inter Milan saat menghadapi Rapid Wien. Foto: Joe Klamar/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Lautaro Martinez (kedua dari kiri) merayakan gol Inter Milan saat menghadapi Rapid Wien. Foto: Joe Klamar/AFP
ADVERTISEMENT
Tugas Inter Milan dan Napoli pada laga leg kedua babak 32 besar Liga Europa 2018/19 lebih dari sekadar meraih kemenangan. Keduanya punya tanggung jawab untuk menjaga martabat Italia di ranah sepak bola Eropa.
ADVERTISEMENT
Terlebih, wakil Italia lainnya, Lazio, sudah gugur di babak 32 besar akibat kekalahan 0-2 dari Sevilla di putaran kedua. Pada leg pertama, Lazio pun mengecap kekalahan 0-1.
Liga Europa pun menjadi kesempatan terakhir Inter untuk memastikan asa mereka meraih gelar juara di kompetisi Eropa terwujud. Ya, enam musim absen di Liga Champions, Inter gagal lolos dari fase grup. Beruntung, mereka menutup babak grup di peringkat ketiga sehingga masih bisa bertanding di Liga Europa.
Pertahanan Kokoh, Kekuatan Rapid Sesungguhnya
Laga Rapid Wien vs Inter Milan. Foto: REUTERS/Lisi Niesner
Kemenangan 1-0 di putaran pertama seolah menjadi penanda bahwa langkah Inter akan ringan. Benar bahwa kemenangan adalah modal brilian bagi tim mana pun. Namun, yang menjadi catatan, kemenangan itu pun diraih setelah Inter sempat terseok.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Inter bertanding tanpa penyerang andalan mereka, Mauro Icardi. Hasil kawin silang antara isu cekcok internal dan cedera melahirkan keputusan bahwa Icardi tak bermain di laga itu. Sialnya, nama Icardi juga tak ada dalam daftar skuat yang turun di Giuseppe Meazza kali ini.
Menilik pertandingan leg pertama, Rapid dipastikan akan menggunakan formasi yang sama 4-4-1-1 yang bertransformasi menjadi 4-2-3-1 saat mereka menyerang. Dalam situasi ini, Manuel Thurmwald dan Andrei Ivan akan mengambil posisi di lini kedua mengapit Stefan Schwab yang berdiri di belakang penyerang tunggal, Veton Berisha.
Namun, yang menjadi kekuatan Rapid yang sesungguhnya di laga itu bukan serangan. Kesimpulan ini bisa dilihat dari catatan statistik laga yang dirangkum WhoScored. Kala itu, anak-anak didik Dietmar Kuehbauer cuma melepaskan empat upaya tembakan dengan dua di antaranya mengarah gawang.
ADVERTISEMENT
Laotaro Martinez jadi penyelamat Inter Milan di laga melawan Parma. Foto: REUTERS/Alberto Lingria
Sementara, Inter tampil spartan dengan bekal 13 percobaan tembakan. Yang membikin gempuran serangan itu tampak sia-sia, hanya tiga percobaan yang tepat sasaran. Itu pun sudah menghitung satu sepakan penalti Lautaro Martinez yang berujung gol tunggal pada menit 39.
Cara lama, tapi ampuh. Seperti itulah gambaran sederhana soal permainan Rapid pada leg pertama. Demi meredam ancaman serangan Inter, mereka tak bermain dengan menerapkan garis pertahanan tinggi.
Hanya karena Icardi absen, bukan berarti Inter kehilangan senjatanya sama sekali. Radja Nainggolan menjadi pemain yang mendapat pengawalan ekstra di laga tersebut. Duet gelandang bertahan mereka, Dejan Ljubicic dan Srdjan Grahovac, mengambil peran untuk menetralisir Nainggolan dengan mengambil posisi lebih dalam.
Akibatnya cukup krusial. Ia tak mendapat banyak suplai bola. Menurut catatan WhoScored, Nainggolan cuma 57 kali menyentuh bola sehingga aliran bola ke penyerang tunggal juga pampat. Sialnya, area sayap kanan Inter juga tak mendapat asupan bola yang cukup. Mateo Politano pun mandek dalam urusan menambah opsi serangan Inter.
ADVERTISEMENT
Spalletti dalam laga Juventus vs Inter Milan. Foto: REUTERS/Stefano Rellandini
Menyoal aksi defensif Rapid, kredit juga patut diberikan kepada….. Berisha. Yep, Anda tak salah baca, ini penyerang tunggal mereka.
Setidaknya ada dua peran besar yang kerap dilakukan Berisha saat Inter menguasai bola. Yang pertama, saat bola dikuasai di area tengah lapangan, Berisha rajin untuk menjaga garis aliran umpan. Kedua, saat pemain Inter membangun serangan secara melebar, Berisha akan bergerak melebar sehingga menjadi halangan yang cukup merepotkan para penggawa Inter.
Nah, karena pemain-pemain Rapid cenderung menumpuk di tengah lapangan, mau tak mau Inter banyak mencoba membangun serangan dari area sayap. Itulah sebabnya penting bagi Berisha dan Schwab untuk ikut membantu pertahanan dengan menyasar area sayap.
Penyakit Lama Itu Bernama Dominasi yang Sia-sia
ADVERTISEMENT
Stefan Schwab berduel dengan Borja Valero di leg pertama babak 32 besar Liga Europa 2018/19. Foto: REUTERS/Lisi Niesner
Yak, itu tadi soal kekuatan Rapid. Selain kekuatan lawan, yang menjadi masalah anak-anak asuh Luciano Spalletti adalah masalah mereka sendiri. Yang mengesalkan, masalah ini adalah penyakit lama: dominasi yang sia-sia.
Di sepanjang laga, Inter mencatatkan 62,8% penguasaan bola. Dari segitu besar dominasinya, tentu akan membikin kita bertanya-tanya: memangnya orang-orang ini ngapain saja, sih, sampai golnya cuma satu? Penalti pula.
Ketiadaan Icardi memang menjadi masalah karena Inter tak bisa melepaskan serangan-serangan direct. Yang mereka lakukan adalah membangun serangan dari umpan-umpan pendek.
Kejanggalan lainnya, Matias Vecino dan Borja Valero yang bermain sebagai poros ganda juga jarang ikut membantu menekan ke depan. Kecenderungannya, mereka tetap tinggal di depan pemain-pemain lini kedua Rapid. Alhasil, sirkulasi bola tak cair karena pemain lini kedua dan penyerang tunggal mereka terisolasi area pertahanan lawan.
ADVERTISEMENT
Lautaro Martinez merayakan gol ke gawang Rapid Wien. Foto: REUTERS/Lisi Niesner
Karena aliran bola lewat umpan-umpan pendek tak lancar, Inter mencoba opsi lain dengan bola-bola direct. Sayangnya, full-back Rapid juga bekerja dengan awas sehingga mudah untuk mematahkan laju bola dengan intersep.
Masalah-masalah macam itulah yang seharusnya sudah diselesaikan Inter sebelum turun arena nanti. Serangan balik memang menjadi senjata Rapid untuk menghimpun serangan.
Jika Inter tak menemukan cara untuk melakukan breakthrough bukannya tak mungkin langkah mereka bakal terhenti di babak 32 besar ini. Namun, tetap saja, kemenangan tipis di kandang lawan itu merupakan modal yang baik untuk menjaga asa berlaga di kompetisi Eropa.
Permainan Kolektif yang Tak Selalu Menangkan Napoli
Perayaan Jose Callejon setelah mencetak gol Napoli dalam laga melawan FC Zurich. Foto: Arnd Wiegmann/Reuters
Berbeda dengan Inter, kans Napoli di babak 32 besar Liga Europa 2018/19 jauh lebih meyakinkan. Ini tergambar dari kemenangan 3-1 atas FC Zuerich pada leg pertama. Permainan kolektif Napoli memang kerap menjadi senjata mematikan bagi lawan, tak terkecuali Zuerich.
ADVERTISEMENT
Klub yang ditukangi oleh Ludovic Magnin ini bukannya tak melepaskan upaya-upaya tembakan. Setidaknya ada 14 percobaan yang mereka lakukan, berbanding dengan 19 upaya Napoli. Itu menandakan bahwa Zuerich melawan agresivitas serangan Napoli dengan bermain agresif juga.
Namun, dibandingkan dengan Zuerich, Napoli lebih paham caranya menangkal dan sekaligus menggagas serangan-serangan berbahaya. Ketika diserang, Piotr Zielinski dan Jose Callejon yang bertugas di pos sayap lini kedua akan menjaga pergerakan fullback lawan.
Overlapping adalah manuver yang benar-benar dicegah lewat pergerakan ini. Sementara, duet bek sayap mereka, Faouzi Ghoulam dan Kevin Malcuit, yang akan meredam pergerakan pemain sayap lawan.
Gelandang tengah, Allan Marques dan Fabian Ruiz, bertanggung jawab agar aliran bola Zuerich dari lapangan tengah ke depan tersendat. Dan tentu saja Lorenzo Insigne serta Arkadiusz Milik turut membantu pertahanan dengan memberikan tekanan sehingga menutup ruang-ruang yang memungkinkan buat dijelajah lawan.
ADVERTISEMENT
Lorenzo Insigne rayakan kemenangan Napoli atas Liverpool. Foto: REUTERS/Alberto Lingria
Sementara ketika menyerang, Lorenzo Insigne akan mengambil posisi sedikit lebih dalam sehingga mereka tak akan kekurangan orang di lini kedua. Pengambilan posisi yang demikian juga berfungsi untuk memastikan aliran bola Napoli tidak terputus dari lini ke lini.
Hanya, Napoli juga punya masalahnya sendiri. Serangan-serangan mereka memang acap dibangun secara kolektif dan agresif, tapi belakangan juga sering pointless. Dua pertandingan teranyar Napoli di Serie A, melawan Fiorentina dan Torino, berakhir imbang tanpa gol.
Sementara, mereka pun kalah 0-2 dari AC Milan sehingga harus tergusur dari Coppa Italia. Pun sebelum itu, pertemuan dengan Milan di Serie A berakhir dengan skor kacamata.
Pemain Napoli, Lorenzo Insigne, mendapatkan tekel dari pemain Torino. Foto: REUTERS/Ciro De Luca
Carlo Ancelotti, sang pelatih, pun belakangan mengakui bahwa satu-satunya kekurangan yang dimiliki oleh tim didikannya adalah tidak mampu mencetak gol. Ini bukan masalah sepele karena bagaimanapun, gol adalah indikator yang menentukan menang atau kalahnya tim dalam sebuah laga.
ADVERTISEMENT
Persoalan lain yang dialami Napoli adalah keterlambatan ketika transisi dari bertahan ke menyerang. Kecenderungan ini memberikan keuntungan tersendiri bagi lawan.
Kalaupun lini pertahanan mereka tak bagus-bagus amat, transisi yang terlambat acap membuat lawan mampu menyaring serangan. Maka, bukannya tidak mungkin jika persoalan serupa terjadi pada Napoli, Zuerich mampu mengambil keuntungan.
Kabar baik bagi penggemar Ancelotti dan Napoli, mereka sudah mengantongi kemenangan 3-1 di kandang lawan. Tentunya, torehan positif ini menjadi bekal yang mengenyangkan untuk melakoni laga leg kedua.
***
Laga leg kedua babak 32 besar Liga Europa 2018/19 antara Napoli dan FC Zuerich akan digelar di Stadion San Paolo pada Jumat (22/2/2019), sepak mula akan berlangsung pada pukul 00:55 WIB.
ADVERTISEMENT
Sementara, pertandingan antara Inter Milan dan Rapid Wien akan dihelat di Stadion Giuseppe Meazza pada Jumat (22/2/2019), dengan sepak mula yang dimulai pukul 03:00 WIB.