news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Lima Sentuhan Ajaib Archie Gemmill yang Mengubah Piala Dunia 1978

25 Mei 2018 20:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Timnas Skotlandia. (Foto: JACQUES DEMARTHON / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Timnas Skotlandia. (Foto: JACQUES DEMARTHON / AFP)
ADVERTISEMENT
Gol Archie Gemmill ke gawang Belanda pada Piala Dunia 1978 memensiunkan Piala Dunia sebagai turnamen yang melahirkan kisah yang itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Digelar di Argentina, Piala Dunia ini seharusnya menjadi pentas bagi negara-negara Amerika Latin: Uruguay, Brasil, Argentina, Meksiko. Langkah mereka memang jauh, tapi tak mengesankan. Di tengah persaingan jagoan-jagoan standar Piala Dunia, Skotlandia menyusup menjadi salah satu kejutan.
Skotlandia berangkat ke Argentina berbekal racikan taktik mantan pesepak bola Blackburn Rovers, Ally MacLeod. Kepastian mereka berlaga di Piala Dunia didapat sesaat setelah mengalahkan Wales pada Oktober 1977.
Skotlandia berbeda dengan negara-negara peserta Piala Dunia pada umumnya. Kehadiran mereka tak diperhitungkan, derap mereka dianggap sebagai bunyi yang tak perlu selama gelaran dihelat. Mereka menyandang status sebagai tim penggembira.
Piala Dunia 1978 adalah borok menahun bagi tubuh sepak bola. Diktator militer Jorge Videla yang saat itu memimpin Argentina ingin menjadikan ajang Piala Dunia sebagai alat untuk mengampanyekan keberhasilan-keberhasilan pemerintahan militer.
ADVERTISEMENT
Pesan yang ingin mereka sampaikan, Argentina melejit berkat kepemimpinan junta militer. Piala Dunia jadi ajang paling ideal untuk menyuarakan pesan tadi.
Bermula dari aksi ibu-ibu yang berdemonstrasi dalam diam (juga menginspirasi Aksi Kamisan di Indonesia -red), aksi protes jelang gelaran Piala Dunia 1978 lahir di sejumlah negara. Ibu-ibu itu menentang junta militer Argentina yang sudah menghilangkan cucu, anak, dan mungkin suami mereka.
Mereka berunjuk rasa di Plaza de Mayo, lapangan luas di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada, sejak 30 April 1977. Puncaknya terjadi pada 1 Juni 1978, tepat saat sepak mula Piala Dunia.
Pesta sepak bola sejagat selalu menarik minat di mana pun. Di tengah-tengah perayaan ini, mereka menelanjangi kebengisan junta militer yang merongrong hak mereka. Piala Dunia 1978 menjadi yang tersepi, hanya 16 negara yang ikut bertanding.
ADVERTISEMENT
Protes junta militer Argentina di Paris. (Foto: MICHEL CLEMENT / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Protes junta militer Argentina di Paris. (Foto: MICHEL CLEMENT / AFP)
Sepak-terjang MacLeod bersama Skotlandia diawali dengan jenaka, dengan membintangi iklan perusahaan karpet. Di iklan itu ia duduk di atas permadani, berkostum laiknya seorang gaucho lengkap dengan pistolnya. Yang muncul di iklan-iklan tak hanya MacLeod, tapi juga 22 orang pemain Timnas Skotlandia.
Satu dari mereka, Joe Jordan, menjadi bintang iklan bir yang berkali-kali menjadi sponsor gelaran olahraga. Sementara, British American Tobacco Company memberikan penawaran kepada skuat Timnas untuk menjadi bintang iklan.
Kritik dewan kesehatan diterima MacLeod. Namun, ia menjawabnya dengan satu kalimat nyeleneh, tapi sakti; "Beberapa pemain kami merokok. Jadi, mendukung kampanye anti-rokok sama saja dengan tidak jujur. Itu bukan perbuatan yang benar."
Skotlandia yang seperti itulah yang berangkat ke Argentina. Entah apa yang ada di dalam otak mereka, tapi agaknya iming-iming gelar juara tidak pernah menjadi hal yang paling penting dalam gelaran ini.
ADVERTISEMENT
Kekonyolan Skotlandia di Piala Dunia ini tak berhenti sampai di deretan iklan, tapi juga tentang perjalanan mereka ke hotel tempat mereka menginap, di wilayah Alta Gracia. Untuk sampai ke sana harus melewati semacam perbukitan. Masalah pun bermula dari sini. Entah seperti apa awalnya, tiba-tiba kopling bus yang mereka tumpangi terbakar. Hasilnya, bus mereka mogok dan perjalanan seketika menjadi suram.
Keberuntungan memang datang dalam banyak wujud. Kali ini, keberuntungan Skotlandia mengambil rupa supir truk yang baik hati. Ia bersedia membantu tim, menderek bus itu sampai ke hotel.
Kesusahan Skotlandia hari itu berakhir, entahlah dengan besok. Tapi, buat apa dipusingkan? Prinsip mereka waktu itu, kesusahan satu hari biarlah untuk satu hari. Karena hari esok pasti punya kesusahannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Di dua pertandingan pertama fase grup, Skotlandia tampil menyedihkan. Melawan Peru, mereka kalah 1-3. Menghadapi Iran, mereka hanya berhasil menahan imbang 1-1. Sungguh? Iran? Hasil ini menjadikan MacLeod sebagai bulan-bulanan lelucon dunia. Namun, pertunjukan harus terus berjalan. Lawan terakhir mereka di fase grup adalah Belanda. Oke.
Suasana final Piala Dunia 1978 (Foto: ROBERT DELVAC / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana final Piala Dunia 1978 (Foto: ROBERT DELVAC / AFP)
Jika ditanya siapa Belanda itu, maka jawabannya adalah runner-up Piala Dunia 1974. Bila melawan Iran saja mereka imbang 1-1, apalagi melawan Belanda. Johan Cruyff yang memimpin Belanda di Piala Dunia 1974 memang pensiun sebelum pesta di Argentina. Namun, sebagian besar yang berlaga empat tahun sebelumnya ikut ambil bagian pada 1978.
Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem ini lahir dari kencenderungan orang-orang Belanda yang terobsesi dengan pemanfaatan ruang. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah total football.
ADVERTISEMENT
Walaupun Michel tidak lagi memimpin Belanda, seharusnya mazab yang menjadi modal utama keberhasilan mereka di Jerman ini tak ditinggalkan begitu saja oleh Ernst Happel. Skotlandia menjadi tim yang membongkar keutuhan pemahaman ruang Belanda.
Belanda menjadi tim yang mencetak keunggulan pertama di menit 34 berkat gol penalti Rob Rensenbrink. Selain konyol, MacLeod menyandang reputasi sebagai manajer paling pesimistis di seantero Skotlandia. Predikat itu lantas melahirkan spekulasi para komentator, pasca-gol pertama itu, mental Skotlandia sudah habis.
Namun, pertandingan menjadi humor gelap yang menyerang balik para spekulan. Alih-alih melempem, Skotlandia berhasil mencetak dua gol balasan. Satu gol Kenny Dalglish di menit 44, satu lagi dari eksekusi penalti Gemmil, dua menit setelah turun minum usai. Untuk sementara, Skotlandia tampil serupa iklan MacLeod untuk perusahaan karpet itu: mengejutkan.
ADVERTISEMENT
Momentum Skotlandia agaknya bermula saat Happel memutuskan untuk melakukan pergantian pemain berdekatan dengan waktu gol penalti Dalglish itu. Waktu itu, ia memutuskan untuk menarik Wim Rijsbergen dan menggantinya dengan pemain dengan tipe lebih bertahan seperti Pieter Wildschut, demi meredam permainan Graeme Souness.
Laga ini seperti mempertontonkan pertandingan Belanda melawan Liverpool. Suporter Skotlandia yang hadir ke stadion menyanyikan lagu 'You'll Never Walk Alone'. Maklum saja, ada Dalglish di sana.
Argentina memang surganya kejadian surealis. Apa yang terjadi di menit 68 menjadi bukti. Dalglish mencoba mendobrak area kanan pertahanan lawan yang dikawal oleh duet Jan Poortvliet dan Wim Jansen. Lawan berhasil menjegal Dalglish sehingga bola terlepas dari kendalinya. Lantas, yang terjadi selanjutnya adalah keajaiban.
ADVERTISEMENT
Saat itu juga, Gemmil mengacak-acak pemahaman ruang Belanda lewat lima sentuhan. Sentuhan pertama, ia merebut bola dari kaki Jansen. Kedua, ia memutar tubuhnya dan mulai berlari ke arah gawang. Tiga, ia melewati adangan sang kapten Belanda, Ruud Krol.
Empat, ia menyelinap masuk ke area kotak penalti setelah berhasil mengelabui Poortvliet. Lima, ia melesakkan tembakan yang tak dapat diantisipasi oleh kiper Belanda saat itu, Jan Jongbloed.
Lima sentuhan ini meruntuhkan kemegahan total football kebanggaan Belanda. Pada dasarnya, prinsip total football sangat sederhana: mengubah ukuran lapangan dalam benak pemain lawan. Bila pemain Belanda yang menguasai bola, maka mereka akan membuat lapangan terkesan jadi begitu luas. Caranya, dengan bergerak selebar mungkin.
ADVERTISEMENT
Namun bila lawan yang menguasai bola, ruang harus diubah jadi sesempit mungkin. Pemain Belanda yang terdekat harus secepat mungkin menutup pergerakan lawan yang memegang bola. Mau pemain bertahan atau bukan, tugas itu sudah saklek. Tak peduli tiga atau empat pemain, ia menjadi kewajiban.
Strategi itu pulalah yang dilakukan oleh pemain Belanda saat Gemmil bergerak dengan licin menguasai bola. Bila dihitung-hitung dari tayangan ulang, maka setidaknya ada lima pemain Belanda yang berusaha menutup pergerakannya. Namun, kelima-limanya, ditambah satu kiper, takluk dalam lima sentuhan.
Lima sentuhan ini menjadi lima sentuhan paling bersejarah di sepanjang perjalanan sepak bola Skotlandia. Namun, kesedihan datang dalam wujudnya yang paling sempurna. Tiga menit setelah gol ajaib itu, Johnny Rep mencetak gol kedua untuk Belanda. Apa boleh buat, Belanda memang kalah, tapi lolos ke putaran selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Piala Dunia 1978 kembali berjalan seperti yang sudah-sudah, gol Gemmil menjadi keajaiban yang tersisa.