'Made in Spain': Ketika Alumni La Liga Menguasai Premier League

7 Agustus 2018 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pep Guardiola dan gelar Premier League pertamanya. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pep Guardiola dan gelar Premier League pertamanya. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
Ada aroma berbeda dari konstelasi manajer Premier League musim 2018/19. Berbeda dengan musim lalu yang amat lekat dengan hawa Italia-nya, kali ini tercium raksi yang begitu kuat dari La Liga Spanyol di mana ada 10 manajer yang pernah berkarier di sana.
ADVERTISEMENT
Aroma tersebut sebenarnya sudah terasa sejak musim awal 2017/18. Per awal musim lalu, ada delapan bekas pemain dan pelatih yang pernah merasakan panasnya hawa persaingan di kompetisi level teratas Spanyol tersebut.
Perkara tersebut makin menjadi jelang diputarnya musim 2018/19. Ketika Fulham yang diasuh oleh Slavisa Jokanovic memastikan diri menjadi klub promosi, maka akan ada 10 alumni La Liga di Premier League.
Menurut Jason Burt dari Telegraph, fenomena ini disebabkan oleh progres sepak bola Spanyol pada akhir 2000-an hingga awal 2010-an. Perkembangan tersebut lantas memicu pandangan bahwa mereka adalah kiblat sepak bola modern.
Faktor lain, tambah Burt, adalah ketidakmampuan manajer asal Inggris untuk bersaing di Premier League. Hal tersebut kemudian membuat klub-klub mengarahkan pandangannya ke manajer dari negara lain, utamanya Spanyol.
ADVERTISEMENT
Dengan Premier League 2018/19 yang tiga hari lagi diputar (dimulai 10 Agustus waktu setempat), tidak ada salahnya apabila kami membuat daftar soal manajer-manajer lulusan La Liga di sana. Berikut di antaranya:
Arsenal: Unai Emery
Pelatih Arsenal, Unai Emery. (Foto: Reuters/Edgar Su)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Arsenal, Unai Emery. (Foto: Reuters/Edgar Su)
Musim 2018/19 jadi periode pertama Unai Emery menjadi manajer (jabatan sebenarnya adalah pelatih) di Inggris. Sebelumnya, ia menjabat sebagai pelatih Paris Saint-Germain (PSG). Ia tercatat hanya semusim bermain di La Liga dan delapan musim membesut klub La Liga.
Sepanjang karier kepelatihannya, Emery dikenal amat dekat dengan formasi 4-2-3-1. Dalam pola tersebut, ia mengedepankan serangan yang berbasis pada banyaknya pemain di daerah permainan lawan.
Saat bertahan, Emery kerap memerintahkan penyerang tengahnya untuk turun dan menutup ruang di area sentral permainan. Dari sana, lawan hanya punya satu cara yang sebetulnya sudah diperkirakan oleh Emery: sisi lapangan.
ADVERTISEMENT
Taktik tersebut sukses membawa Emery memenangi tiga gelar Europa League di Sevilla. Dengan taktik itu pula, ia berhasil membuat PSG memenangi tujuh gelar hanya dalam waktu dua musim.
Fulham: Slavisa Jokanovic
Meski berdarah Yugoslavia dan berpaspor Serbia, Slavisa Jokanovic adalah manajer yang amat lekat dengan sepak bola Spanyol. Pria berusia 49 tahun ini menjalani tujuh tahun kariernya sebagai pemain di La Liga dan kini bermukim di Madrid, Spanyol.
Karier kepelatihan Jokanovic dimulai saat ia menjadi asisten pelatih klub Divisi Empat Spanyol, CA Pinto, pada 2007. Di akhir 2007, ia dilantik sebagai pelatih klub Serbia, Partizan, dan membawa klub tersebut memenangi empat gelar dalam dua musim.
Jokanovic adalah manajer yang menjadikan pola 4-3-3 sebagai preferensi serangan. Saat menyerang, ia mengutamakan serangan sisi lapangan sebagai tumpuan, sementara saat bertahan, ia mengedepankan tingginya garis pertahanan dengan variasi pressing.
ADVERTISEMENT
Ada satu hal menarik dari Jokanovic yang pantas jadi catatan. Saat menukangi Partizan, ia pernah menerima penghargaan sebagai Pelatih Terbaik Serbia 2008. Namun, ia menolak untuk menerima trofi tersebut dengan dalih klub asuhannya gagal total di UEFA Cup.
Manchester City: Pep Guardiola
Pep di Derbi Manchester. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Pep di Derbi Manchester. (Foto: Reuters/Lee Smith)
Sudah, tak perlu menanyakan bagaimana hubungan Pep Guardiola dengan La Liga. Ia amat dekat dengan La Liga, baik saat masih aktif bermain maupun ketika sudah diangkat sebagai manajer.
Bagi Guardiola, formasi tidak memiliki makna sama sekali. Dalam setiap permainan, dia tidak terpaku dalam satu skema saja. Cairnya permainan dan fleksibilitas yang diukur dari pergerakan maupun aliran bola adalah dua hal penting yang dianut olehnya.
Jika ditotal, Guardiola menghabiskan 11 musim sebagai pemain di La Liga. Sementara itu, dari 11 musimnya sebagai juru taktik, ia menghabiskan empat musim di antaranya di La Liga dengan rasio kemenangan yang mencapai 76%.
ADVERTISEMENT
Dalam 15 musimnya berkarier di La Liga, Guardiola meraih total 28 gelar: 14 di antaranya didapatkan saat berada di atas lapangan sebagai pemain; 14 lainnya ia raih saat berada di lapangan sebagai pelatih.
Manchester United: Jose Mourinho
Mourinho kala memimpin latihan Manchester United. (Foto: AFP/Paul Ellis)
zoom-in-whitePerbesar
Mourinho kala memimpin latihan Manchester United. (Foto: AFP/Paul Ellis)
Hubungan Jose Mourinho dengan La Liga hanya berjalan selama tujuh musim. Empat dihabiskan sebagai asisten pelatih Bobby Robson dan Louis van Gaal di Barcelona serta tiga musim sebagai pelatih Real Madrid.
Bersama Van Gaal jugalah jalan Mourinho menuju karier kepelatihan terbuka. Ia sering dimintai pendapat oleh pelatih asal Belanda tersebut perihal taktik dan masukan untuk permainan tim.
Dari tujuh musim berkarier sebagai juru taktik di La Liga, Mourinho memenangi enam gelar. Termasuk dua gelar La Liga 1997/98 dan 1998/99 di Barcelona dan La Liga 2011/12 saat menukangi Madrid.
ADVERTISEMENT
Mourinho dikenal sebagai pelatih yang adaptif terhadap keadaan. Dalam satu keadaan, ia bisa saja menekan lawan hingga habis-habisan, tapi dalam keadaan lain, ia bisa saja bermain dengan pertahanan yang amat rendah.
Gaya tersebut diilhami oleh persepsi Robson di mana kemenangan, entah bagaimana caranya, adalah tujuan utama dalam sepak bola. Meski kadang menuai kritik, tapi ia berhasil membungkamnya dengan meraih sejumlah gelar.
Newcastle United: Rafael Benitez
Manajer Newcastle United, Rafael Benitez. (Foto: Reuters/Scott Heppell)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Newcastle United, Rafael Benitez. (Foto: Reuters/Scott Heppell)
Tak ada yang mampu mengalahkan pengalaman Rafael Benitez Maudes jika berbicara soal manajer Premier League yang memiliki hubungan dekat dengan sepak bola Spanyol. Pasalnya, dari 58 tahun ia hidup, 24 tahun di antaranya ia habiskan di sana.
Meski demikian, kedekatan Benitez dengan La Liga boleh jadi tak seromantis hubungannya dengan sepak bola Spanyol secara keseluruhan. Dari 24 tahunnya, ia hanya empat tahun berkarier di La Liga yang semuanya ia lakukan saat menjadi pelatih.
ADVERTISEMENT
Minimnya kesempatan Benitez menuai banyak pengalaman berkarier di La Liga berbanding lurus dengan torehan gelarnya. Pada empat musimnya di sana, ia hanya mampu meraih tiga gelar di mana semuanya ia dapatkan saat menukangi Valencia.
Secara taktikal, Benitez dikenal dekat dengan pola 4-2-3-1. Pada praktiknya, ia memerintahkan anak asuhnya bermain dalam garis pertahanan rendah dengan intensitas pressing yang jarang. Sementara, saat menekan, ia mengedepankan serangan cepat tanpa bertele-tele.
Southampton: Mark Hughes
Hughes saat menangani Fulham. (Foto: AFP/Glyn Kirk)
zoom-in-whitePerbesar
Hughes saat menangani Fulham. (Foto: AFP/Glyn Kirk)
Sekelumit cerita Mark Hughes dengan La Liga dimulai saat Manchester United menerima tawaran senilai dua juta poundsterling dari Barcelona pada 1986. Di Barcelona, Hughes bermain bersama penyerang Inggris lain, Gary Lineker.
Perjalanan Hughes di Barcelona tak berjalan terlampau lama. Kariernya di sana hanya berjalan selama satu musim karena ia tak mampu beradaptasi dengan iklim, budaya, dan sepak bola Spanyol, tentunya.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Hughes tampil apik di La Liga beriringan dengan ketidakmampuannya memberikan gelar untuk Barcelona. Karena itu pula, pada musim berikutnya, ia dilepas oleh Barcelona ke Bayern Muenchen dengan status pinjaman.
Hughes tak punya riwayat yang apik saat menjadi manajer. Pilihannya untuk menjadikan pertahanan kuat dan serangan balik sebagai senjata tak selamanya berhasil. Pada akhirnya, ia hanya memiliki rasio kemenangan sebesar 38%.
Mauricio Pochettino
Pochettino memberikan instruksi. (Foto: REUTERS/Peter Nicholls )
zoom-in-whitePerbesar
Pochettino memberikan instruksi. (Foto: REUTERS/Peter Nicholls )
Meski lahir dan besar di Argentina, nama Mauricio Pochettino amat harum di Spanyol, terutama di Espanyol. Di rival sekota Barcelona tersebut, ia menghabiskan sembilan musim sebagai pemain dan tiga musim sebagai pelatih.
Berada di Espanyol tidak lantas membuatnya nirgelar. Dalam sembilan musimnya di sana, ia berhasil membawa klub tersebut meraih dua gelar Copa del Rey, yakni pada musim 1999/00 dan 2005/06.
ADVERTISEMENT
Semasa aktif sebagai pemain, Pochettino adalah seorang bek tengah. Pengaruh dari sana lantas membuatnya menggunakan perlakuan saat tak membawa bola jadi kunci utama permainan tim yang asuhannya.
Beberapa dari praktik strategi tersebut adalah tidak memberikan lawan ruang untuk menguasai bola, melakukan pressing seketika kehilangan bola, hingga menekan hingga pertahanan lawan.
Javi Gracia
Manajer Watford, Javi Gracia. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Watford, Javi Gracia. (Foto: Reuters/Lee Smith)
Javi Gracia menghabiskan mayoritas karier sepak bolanya di Spanyol. Tujuh musim ia habiskan dengan berkarier sebagai pemain di La Liga dan empat musim dengan menjabat sebagai pelatih di klub La Liga.
Meski demikian, catatan Gracia di La Liga tak cenderung apik. Dari 11 musimnya berkarier di sana, ia gagal mendapatkan satu pun trofi. Catatannya makin tak mengesankan saat ia juga pernah membawa Cadiz CF degradasi ke Segunda Division.
ADVERTISEMENT
Gracia adalah pelatih yang gemar menggunkan formasi 4-4-2. Saat bertahan, tim asuhannya tak jarang bakal melakukan pressing dan bakal berusaha merebut bola hingga kotak penalti lawan.
Sementara itu, ketika menyerang, Gracia menjadikan sisi lapangan sebagai tumpuan. Dari sana, akan banyak umpan silang dilepaskan, yang amat sering diikuti oleh masuknya pemainnya ke kotak penalti lawan.
Manuel Pellegrini
Pellegrini memimpin West Ham United dalam uji tanding menghadapi Wycombe Wanderers. (Foto: Reuters/John Clifton)
zoom-in-whitePerbesar
Pellegrini memimpin West Ham United dalam uji tanding menghadapi Wycombe Wanderers. (Foto: Reuters/John Clifton)
Di usia yang telah memasuki 64 tahun, Manuel Pellegrini adalah sosok yang kenyang asam garam sepak bola, terutama Spanyol dengan kontes bernama La Liga. Ia telah menjadi pelatih di La Liga selama sembilan musim.
Perjalanan Pellegrini di La Liga bermula saat ia dilantik sebagai pelatih Villarreal pada 2004 yang berakhir dengan gelar Piala Intertoto 2004. Dari sana, ia kemudian ditunjuk sebagai pelatih Real Madrid. Perjalanannya di La Liga berakhir saat ia mengundurkan diri dari Malaga karena klub tersebut melanggar Financial Fair Play.
ADVERTISEMENT
Pellegrini dikenal sebagai pelatih yang tak punya preferensi terhadap suatu taktik atau formasi tertentu. Ia adalah orang yang adaptif dan melatarbelakangi semua keputusan dari kondisi di atas lapangan.
Meski demikian, Pellegrini bukan orang yang benar-benar imajinatif. Ia punya standar yang amat tinggi, baik untuk anak asuhannya saat ditekan atau dalam kondisi menyerang pertahanan lawan.
Nuno Espirito Santo
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
Nuno Espirito Santo memulai karier kepelatihannya dengan menjabat sebagai tangan kanan Jesualdo Ferreira. Kariernya sebagai pelatih kepala bermula saat ia dilantik sebagai manajer Rio Ave pada 2012.
Dari sana, Nuno berkembang dari satu klub ke klub lain. Karier kepelatihannya di Spanyol bermula saat ia ditunjuk sebagai pengganti Juan Antonio Pizzi di Valencia pada 2014, meski akhirnya dipecat pada 2015.
ADVERTISEMENT
Dalam satu musim menjadi juru taktik Valencia, Nuno gagal mempersembahkan satu pun gelar juara. Masalahnya kian besar saat di era kepelatihannya, penampilan El Che tengah buruk-buruknya.
Secara taktikal, Nuno adalah pelatih yang mengedepankan penguasaan bola. Sembari menguasai bola, ia memerintahkan pemain depannya bergerak secara dinamis di pertahanan lawan. Lewat cara itulah, ia membawa Wolverhampton menjuarai Divisi Championship musim lalu.