news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mancini, si Tegar Tengkuk, Membangun Italia

15 Oktober 2018 18:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain Italia merayakan gol Cristiano Biraghi ke gawang Polandia. (Foto: Kacper Pempel/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Italia merayakan gol Cristiano Biraghi ke gawang Polandia. (Foto: Kacper Pempel/Reuters)
ADVERTISEMENT
“Dalam 10 terakhir, sepak bola Italia begitu-begitu saja.”
Roberto Mancini mengucapkan kalimat itu di hadapan jurnalis dan penulis The Guardian, Daniel Taylor, di dalam gerai Etihad di Bandara Manchester pada 2013.
ADVERTISEMENT
Sepak bola Italia yang begitu-begitu saja memang mengantarkan mereka pada gelar juara dunia dan runner up Piala Eropa. Namun, sepak bola yang begitu-begitu saja juga membawa Italia pada keruntuhan. Klimaksnya muncul dalam wujud kegagalan Italia melangkah ke Piala Dunia 2018.
Kegagalan Italia ke Piala Dunia adalah aib. Sebabnya, dalam 60 tahun terakhir mereka selalu lolos ke putaran final pesta sepak bola sejagat ini. Itu belum ditambah dengan empat gelar juara pada 1934, 1938, 1982, dan 2006.
Berbagai cara dilakukan Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) untuk membangun kembali Azzurri dari reruntuhan. Salah satunya dengan mendatangkan Mancini. Berhitung mundur, Mancini sudah empat kali duduk di kursi kepelatihan sepak bola Italia dengan tiga klub berbeda: Fiorentina, Lazio, dan Inter Milan. Namun ini pertama kalinya Mancini melakoni karier kepelatihan di level internasional.
ADVERTISEMENT
Di antara ketiga klub itu, perjalanannya bersama Inter yang paling mencolok. Bukan hanya karena dua kali menjabat (2004-2008 dan 2014-2016), tapi karena pencapaian yang direngkuhnya bersama Inter. Total, ada tujuh trofi yang dipersembahkannya kepada Nerrazzuri yang bila diurai akan menjadi tiga scudetto, dua Piala FA, dan 2 Piala Super Italia. Sayangnya, Mancini gagal memberikan gelar juara di periode kepelatihan kedua.
Bila segala hal yang dilakukan oleh Mancini bersama Inter direduksi ke dalam dua kelompok besar, maka itu akan menjadi perombakan skuat dan otak-atik taktik.
Dalam perjalanan awal Mancini bersama Inter, yang dipersembahkannya bukan hanya ketujuh gelar, tapi juga warisan pemain berkelas. Keberhasilan Jose Mourinho merengkuh treble pada 2009/10 pun banyak berutang pada keberanian Mancini untuk bereksperimen pemain.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada lima pemain warisan Mancini yang berperan besar menyokong raihan Mourinho: Julio Cesar, Douglas Maicon, Walter Samuel, Cristian Chivu, dan Esteban Cambiasso. Bahkan sebenarnya, Mancini adalah pelatih pertama yang mulai memaksimalkan peran Javier Zanetti di lini tengah, bukan full-back kanan yang biasa diperankannya.
Kepelatihannya di Inter ditandai dengan fleksibilitas taktik. Tim asuhan Mancini tampil dengan formasi bervariasi. Mulai dari 4-3-1-2, 3-5-2, 4-3-3, hingga 4-2-3-1. Mancini muncul sebagai pelatih yang benar-benar Italia, pelatih yang tidak menyembah satu taktik tertentu. Baginya, taktik tak lebih dari sekadar alat untuk merebut kemenangan.
Pelatih Timnas Italia, Roberto Mancini. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Timnas Italia, Roberto Mancini. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
Namun, uniknya, Mancini berhasil membawa Inter bermain dengan satu identitas. Saat tim-tim lain sibuk bertarung dengan mengusung tiki-taka atau gegenpressing, Mancini membentuk Inter sebagai tim yang mengandalkan pertahanan rapat.
ADVERTISEMENT
Ia tak peduli bila timnya bermain membosankan, yang terpenting bukan permainan cantik, tapi kemenangan. Dalam benak Mancini, timnya sudah bermain sesuai dengan keinginannya bila mereka menuntaskan laga dengan kemenangan.
Gaya pertahanan Mancini ini terlihat dari catatan kebobolan yang ditorehkan oleh Inter Milan di ajang Serie A pada musim 2007/08 serta Manchester City di ajang Premier League pada musim 2010/11. Pada musim 2007/08, Inter hanya menorehkan total kebobolan 26 gol saja.
Hal sama juga terjadi kala Mancini membesut Manchester City pada musim 2010/11. Walau gagal menjadi juara Premier League, The Citizens kala itu mencatatkan total kebobolan 33 gol. Jumlah ini, sama dengan total kebobolan Chelsea, menjadi yang paling sedikit di ajang Premier League ketika itu.
ADVERTISEMENT
Selain tak peduli dengan permainan cantik atau membosankan, kontrol penuh pada aktivitas transfer menjadi ciri khas Mancini. Dalam bursa transfer musim panas 2015 lalu, misalnya. Mancini akhirnya mewujudkan kedatangan Ivan Perisic. Sebenarnya, Mancini begitu kukuh untuk memboyong Perisic pada Januari 2015. Tak kunjung berhasil, ia tak menyerah sampai pada akhirnya sang pemain berkubu di Giuseppe Meazza.
Yang didatangkannya kala itu tak cuma Perisic -mulai dari Joao Miranda, Jeison Murillo yang ditempatkan di jantung pertahanan, full-back Alex Telles dan Felipe Melo, hingga Adem Ljajic, sang gelandang serang sayap, yang didatangkan dari AS Roma dengan status pemain pinjaman.
Mancini tak ingin pergerakannya di atas lapangan dibatasi oleh siapa pun, termasuk oleh orang-orang yang secara hirarki lebih tinggi di atasnya. Saat masih melatih City, Mancini diperhadapkan dengan kedatangan Ferran Soriano dan Txiki Beguiristain yang kala itu disebut-sebut bakal mengontrol perekrutan pemain.
ADVERTISEMENT
Mancini tak merasa terganggu, tapi ia juga tak merasa perlu untuk tunduk 100% kepada keputusan keduanya. Dalam wawancaranya, ia bahkan menanggapinya dengan dingin, "Txiki dan Ferran? (Kewenangan) Mereka tidak di atas saya. Yang di atas saya hanya Khaldoon (Al Mubarak) dan Sheikh Mansour."
Roberto Mancini di sesi latihan Timnas Italia jelang uji tanding melawan Timnas Belanda. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Roberto Mancini di sesi latihan Timnas Italia jelang uji tanding melawan Timnas Belanda. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
Bersama Italia, dua ciri khas ini pun kembali terlihat. Hal yang dilakukan Mancini adalah mengubah skema permainan Azzurri.
Cara pertama yang ditempuh Mancini adalah melakukan penyegaran skuat. Nama-nama muda didatangkannya dalam gelaran UEFA Nations League. Alessio Cragno (Cagliari), Manuel Lazzari (SPAL), Nicolo Barella (Cagliari), Nicolo Zaniolo (Roma), dan Pietro Pellegri (Monaco) kini telah mendapat kehormatan untuk jadi bagian dari skuat Lo Nazionale.
Namun, Mancini bukan sosok naif. Ia tetap membutuhkan pemain senior untuk mengawal pemain muda yang masih minim pengalaman. Itulah sebabnya, Giorgio Chiellini yang tadinya sempat menyatakan pensiun dari Timnas justru kembali terlibat dalam perjalanan Italia di UEFA Nations League.
ADVERTISEMENT
Perubahan skema permainan juga menjadi tajuk utama kepelatihan Mancini bersama Italia. Dalam dua pertandingan awal di UEFA Nations League, misalnya. Saat berlaga melawan Polandia, Italia turun arena dengan formasi 4-3-3.
Kala itu, Davide Zappacosta, Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini dan Cristiano Biraghi mengisi pos bek yang melindungi kiper Gianluigi Donnarumma. Sementara, sektor gelandang menjadi milik Lorenzo Pellegrini, Jorginho, dan Roberto Gagliardini. Trio Federico Bernadeschi, Mario Balotelli, dan Lorenzo Insigne.
Para pemain Timnas Italia tengah berlatih. (Foto: Claudio Villa/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Timnas Italia tengah berlatih. (Foto: Claudio Villa/Getty Images)
David Selini, dalam analisisnya untuk Total Football Analysis menjelaskan, Jorginho punya peran penting untuk menjamin lini serang dan pertahanan dapat bekerja maksimal. Di antara tiga gelandang yang turun, Jorginho kerap mengambil posisi paling belakang.
Di posisi ini, ia berperan sebagai distributor bola yang mengirim bola dari full-back ke dua gelandang lain yang mengambil posisi lebih ke depan (Pellegrini dan Gagliardini) ataupun kepada dua pemain sayap (Bernadeschi dan Insigne). Keberadaan Jorginho juga menjadi umpan yang baik bagi lawan sehingga bisa memberikan ruang bagi Chiellini dan Bonucci untuk memberikan tekanan kepada lawan.
ADVERTISEMENT
Di laga ini, Bernadeschi dan Insigne menjadi dua winger agresif yang begitu membantu bangunan serangan Italia. Sayangnya, kemenangan tidak menjadi bagian Italia di laga ini. Italia bahkan kebobolan satu gol lebih dulu. Keberhasilan pemain-pemain Polandia merebut bola di area pertahanan Italia berujung pada keleluasaan yang didapat Lewandowski di kotak penalti.
Penyerang Bayern Muenchen itu kemudian mengirim umpan silang akurat yang dapat disambut dengan apik oleh Pietr Zielinski. Beruntung, Italia berhasil mencetak gol penyama kedudukan karena Jorginho melakukan tugasnya sebagai eksekutor tendangan penalti dengan baik.
Sebenarnya, Italia tak kekurangan peluang di pertandingan tersebut. Serupa Polandia, mereka mencatatkan 10 upaya tembakan. Yang menjadi masalah, 6 dari 10 tembakan itu tidak mengarah ke gawang. Selain tendangan penalti tadi, hanya 1 tembakan yang mengarah ke gawang. Sementara, Polandia mencatatkan 4 tembakan mengarah ke gawang.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, persoalan produktivitas ini juga terjadi di dua pertandingan persahabatan Italia dengan catatan satu kekalahan (1-3 dari Prancis) dan dua hasil imbang (1-1 dengan Belanda, 1-1 dengan Ukraina). Di laga UEFA Nations League setelahnya, Mancini belum berhasil mengantarkan Italia mendulang gol. Bahkan melawan Portugal, mereka kalah 0-1.
Namun, dari catatan pertandingan tersebut memang dapat disimpulkan bahwa Italia memang bermasalah dalam hal produktivitas. Dalam 6 pertandingan terakhir, mereka hanya sanggup mencetak 5 gol. Artinya, rataan golnya hanya 0,83 gol per laga. Sementara di babak kualifikasi Piala Dunia, Italia menorehkan catatan 2,1 gol per laga.
Hanya karena terlihat menyedihkan, bukan berarti peluang untuk memperbaiki Italia tidak ada sama sekali. Hal ini menyeruak dari omongan singkat Mancini sendiri. Katanya, “Saya bukan seorang penyihir.”
ADVERTISEMENT
Sepintas, kalimat tersebut bernada pesimistis karena mengisyaratkan bahwa Mancini tidak bisa mengubah Italia dalam waktu singkat. Namun, di sisi lain, kalimat itu menegaskan bahwa Mancini tidak datang untuk menyulap Italia, tapi membangun Italia.
Ventura menunjukkan mimik kecewa. (Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Ventura menunjukkan mimik kecewa. (Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS)
Bila melihat persoalan Italia yang merujuk pada kegagalan bertanding di Piala Dunia, maka bakal mudah untuk menyebut Giancomo Ventura sebagai biang kerok. Anggapan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab dalam wawancaranya, Ventura berkata bahwa ia sudah yakin Italia tidak akan lolos dari playoff. Dengan kata lain, secara mental, Ventura sudah kalah. Jika pemimpin sudah runtuh secara mental, maka tak heran pasukannya mengecap kekalahan di laga krusial.
Hanya, Ventura tak menjadi satu-satunya biang kerok keruntuhan Italia. Visi dan misi Italia yang begitu berat itu ditopang oleh pemain-pemain tua. Mereka mandek dalam hal regenerasi tim sejak 2004. Bila negara lain berkembang dengan melahirkan talenta-talenta muda berkualitas, Italia bermegah dengan nama besar pemain senior.
ADVERTISEMENT
Filosofi bermain sehebat apa pun harus didukung oleh pemain yang tepat. Makanya, celaka bila tak ada regenerasi pemain. Kabar baiknya, Mancini menyadari persoalan ini. Ia memulai regenerasi dengan memanggil nama-nama baru tadi. Persoalan lain yang dihadapi Mancini, Serie A penuh dengan pemain-pemain asing berkualitas. Itulah sebabnya, ia sukar mencari pemain berkualitas di level klub.
Beruntung, Mancini belum menyerah. Dalam laga melawan Portugal, ia kembali merombak tim dan mengubah formasi. Turun dengan formasi 4-4-2 melawan Portugal, Mancini mengganti sembilan pemain sekaligus. Di pertandingan tersebut, hanya Donnarumma dan Jorginho yang turun di laga melawan Polandia. Bahkan di lini depan, Mancini berjudi dengan menduetkan Simone Zaza dan Ciro Immobile.
Perjudian ini berujung buntung untuk Mancini karena Italia justru menutup laga dengan kekalahan 0-1. Alih-alih produktif, dua bomber ini justru gagal melepaskan satu peluang pun.
ADVERTISEMENT
"Orang Inggris dan Italia benar-benar berbeda. Bagi beberapa manajer Inggris, tak peduli menang atau kalah, begitu pertandingan selesai, ya selesai. Saya tidak begitu. Jika kami kalah, dalam 24 jam, maka di kepalaku hanya ada pikiran: 'Apa salah saya? Apa yang tidak pas? Mengapa kami kalah?' Dalam 24 jam pikiran itu yang berputar-putar di dalam kepala saya,” jelas Mancini, masih dalam wawancaranya bersama Daniel Taylor pada 2013 itu.
“Saya bisa tidur beberapa jam, tapi tidak bisa nyenyak. Saya hidup untuk sepak bola. Menerima kekalahan bagi saya adalah perkara mustahil. Dalam 24 jam itu, saya harus bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi sehingga keesokannya, saya mulai bisa memikirkan apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki segala sesuatu. Segala sesuatu, bukan hanya sesuatu atau dua hal.”
ADVERTISEMENT
“Saya tidak pernah berubah. Saya hidup dengan mentalitas yang sama bahkan sejak masih bermain bola bersama teman-teman waktu SD. Saya ingin menang. Saya cuma ingin menang. Saya tidak suka untuk ambil bagian pada apa pun, tapi tidak bisa menjadi pemenang.”
“Pekerjaan saya sebagai manajer membuat saya kerap marah-marah saat latihan atau di ruang ganti. Tapi, saya suka pekerjaan ini. Saya senang marah-marah setiap hari. Bukan masalah bagi saya. Kalau memang harus marah-marah, maka saya akan marah-marah dengan senang hati. Apa pun, yang penting tim saya bisa menang,” tegas Mancini.
Timnas Italia merayakan gol di laga vs Ukraina. (Foto: REUTERS/Alberto Lingria)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Italia merayakan gol di laga vs Ukraina. (Foto: REUTERS/Alberto Lingria)
Maka, beruntunglah anak-anak muda Italia itu karena sedang diasuh oleh pelatih keras kepala seperti Mancini. Rentetan hasil buruk dan kegagalan demi kegagalan yang ditelan Italia sedikit banyak membentuk mental bahwa mereka bermain untuk negara semenjana.
ADVERTISEMENT
Nihil kemenangan dalam lima pertandingan tersebut hanya semakin membuat kepala Mancini bertambah keras. Minimnya produktivitas membikin tengkuknya semakin tegar. Dalam sesi-sesi latihan, Mancini mengambil lakon sebagai sosok yang begitu keras. Tapi, ia tak asal keras. Yang dilakukannya adalah membangkitkan moral tim. Caranya juga cukup unik. Ia tak cuma marah-marah di lapangan, tapi menambahkan musik-musik menghentak yang membangkitkan semangat di sepanjang sesi latihan.
Lantas, di laga kedua melawan Polandia, hasilnya mulai kelihatan. Pada akhirnya, Italia menang walau hanya 1-0. Sebagai tim tamu, Italia tetap datang dengan skema 4-3-3. Sedikit perbedaan di lini depan lantaran Insigne didaulat sebagai false nine di antara Bernardeschi dan Federico Chiesa.
Komposisi tersebut menghadirkan dominasi bagi Italia. Mereka memenangi 68% penguasan bola dan melepaskan 5 tembakan tepat sasaran dari 17 upaya. Di sisi lain, Polandia cuma mencatatkan 6 percobaan dengan 3 di antaranya menuju target.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Insigne berhasil mencetak gol di babak kedua. Sayang, gol tersebut dianulir karena sudah terperangkap jebakan offside. Betapa keras kepalanya Mancini terlihat jelas di akhir pertandingan ini. Alih-alih menyuruh timnya bermain rapat supaya tidak kebobolan, ia justru menarik Bernardeschi dan memasukkan Kevin Lasagna yang selama ini belum pernah bermain di untuk Italia di bawah asuhan Mancini.
Pelatih Timnas Italia, Roberto Mancini, mendampingi skuatnya. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Timnas Italia, Roberto Mancini, mendampingi skuatnya. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
Bersama Udinese, performa Lasagna tidak bisa dianggap remeh. Dalam delapan penampilannya di Serie A 2018/19, ia sudah menciptakan 1 gol dan 1 assist. Torehan umpan kuncinya mencapai 0,6 per laga dan rataan tembakan per laganya mencapai 1,6. Khusus tembakan per laga ini, torehannya menjadi terbanyak ketiga di klubnya.
Walau tak tenar-tenar amat, Lasagna berhasil menjawab kepercayaan Mancini. Dalam waktu 11 menit, Lasagna memberikan impak berupa assist. Ia memantulkan bola hasil sepak pojok ke tiang jauh. Di situ, Biraghi melakukan sambutan tanpa mampu dihalau oleh Wojciech Szczesny.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara usai laganya, Mancini menilai bahwa kemenangan ini diraih karena timnya tetap sabar membangun peluang hingga pengujung laga. Berhadapan dengan kokohnya pertahanan lawan, mental tim tidak mengendur, mereka tetap menggempur walau kegagalan demi kegagalan didapat. Hingga akhirnya, gol tunggal mengantarkan mereka pada kemenangan perdana di UEFA Nations League.
Kalaupun Mancini belum bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, setidaknya di pertandingan ini, ia melihat bahwa Italia mulai membaik secara mental. Dan di ranah sepak bola, memperbaiki mental sama pentingnya dengan memperbaiki taktik.
***
Daniel Taylor pernah mengajak Mancini kembali ke masa kanak-kanaknya. Ia meminta Mancini untuk mengingat-ingat kapan ia tidak terobsesi pada kemenangan. Mancini menurut, ia mencoba mengumpulkan satu demi satu ingatan yang melekat. Akhirnya, ia sampai pada satu fragmen pertandingan tenis meja 'bohong-bohongan' bersama sepupunya. "Ia (sepupu Mancini) mengalahkan saya. Maka, saya melempar bat yang saya pegang tepat ke kepalanya."
ADVERTISEMENT
Setelah fragmen itu muncul dalam ceritanya, Mancini mengambil kesimpulan: Sejak bocah pun, ia tidak pernah tidak terobsesi dengan kemenangan.