Megan Rapinoe Tetap Jadi Musuh Berbahaya bagi Diskriminasi

24 September 2019 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Wanita Terbaik FIFA 2019, Megan Rapinoe. Foto: Marco Bertorello / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Wanita Terbaik FIFA 2019, Megan Rapinoe. Foto: Marco Bertorello / AFP
ADVERTISEMENT
Di hadapan para petinggi FIFA dan pesohor lapangan hijau, Megan Rapinoe bersuara lantang melawan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Trofi yang ada didapatnya pada Selasa (24/9/2019) itu tidak hanya bicara soal gelar Pemain Wanita Terbaik FIFA 2019. Trofi itu juga menegaskan bahwa Rapinoe belum berhenti memperjuangkan apa yang ia percayai.
Yang ada dalam pidato kemenangan Rapinoe di Teatro alla Scala, Milan, bukan hanya ucapan terima kasih kepada orang-orang terdekatnya. Yang ia bagikan dari atas panggung bukan lelucon, bukan pula air mata haru.
"Saya akan membagikan kisah yang paling menginspirasi saya tahun ini: Raheem Sterling dan Kalidou Koulibaly. Bukan cuma soal performa hebat mereka, tetapi juga perlawanan mereka terhadap rasialisme," jelas Rapinoe.
Penyerang tim nasional sepak bola wanita Amerika Serikat, Megan Rapinoe, mencium trofi saat merayakan kemenangan setelah menjuarai Piala Dunia FIFA 2019, di City Hall, New York, Rabu (10/7). Foto: REUTERS
Di hadapan para pesohor, Rapinoe berdiri. Ia mengingatkan kembali bahwa sepak bola adalah dunia yang kacau, tetapi tidak kehilangan kekuatannya.
ADVERTISEMENT
Kamera tidak bisa tidak menyorot Juergen Klopp yang tertegun mendengar Rapinoe berbicara. Jill Ellis yang dinobatkan sebagai Pelatih Tim Wanita Terbaik itu berulang kali menyunggingkan senyuman mendengar mantan anak didiknya berbicara. Dari sudut lain, Sari van Veenendaal menikamkan matanya yang berkaca-kaca ke arah panggung.
"Ada juga cerita tentang perempuan Iran yang membakar diri karena larangan menonton pertandingan di stadion. Pun dengan pemain MLS, Mr. (Collin) Martin, yang menyatakan bahwa ia gay," lanjut penggawa Timnas Wanita AS itu.
"Begitu pula dengan pesepak bola wanita LGBTQ+ yang tidak terhitung banyaknya. Mereka berjuang keras bukan hanya agar bisa berlaga di ranah yang mereka cintai, tetapi juga melawan para homofobia. Semua cerita ini menginspirasi saya. Di sisi lain, kisah ini membuat saya sedih dan kecewa," jelas Rapinoe.
ADVERTISEMENT
Kita mulai dengan kisah perempuan Iran yang membakar diri. Pada Maret 2019, seorang perempuan Iran yang belakangan dikenal sebagai Sahar Khodayari dijebloskan ke penjara karena kedapatan menyaksikan tim kesayangannya, Esteqlal of Tehran, berlaga di Stadion Azadi, Teheran.
Larangan kepada perempuan Iran untuk menonton sepak bola di stadion membuatnya memutar otak. Ia tetap datang ke stadion dengan menyamar sebagai pria berjaket biru dan berambut palsu.
Penyamaran itu terbongkar. Sahar bahkan disebut terlibat keributan dengan pihak keamanan karena menolak penangkapan. Dipenjara selama tiga hari, Sahar dilepaskan bersyarat dan mesti menunggu selama enam bulan untuk persidangan.
2 September 2019 seharusnya menjadi hari persidangannya. Namun, pengadilan memutuskan untuk mengganti jadwal karena sang hakim memiliki keperluan keluarga mendadak.
ADVERTISEMENT
Nahas, Sahar secara tidak sengaja mendengar bahwa ia bisa saja dihukum penjara selama enam bulan hingga dua tahun. Sahar bereaksi, membakar diri di depan kantor pengadilan. Menderita luka bakar hingga 90%, ia meninggal sepekan kemudian di Motahari Disaster and Burn Hospital.
Cerita berikutnya soal Collin Martin. Pada 29 Juni 2018, gelandang Minnesota United ini buka suara bahwa ia seorang gay. Di seluruh kompetisi olahraga mayor AS, Martin dipercaya sebagai satu-satunya atlet pria aktif yang menyatakan diri sebagai gay. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat pun, LGBTQ+ masih harus berhadapan dengan stigma.
Sterling dan Koulibaly adalah dua dari sekian banyak pesepak bola yang kerap berhadapan dengan rasialisme. Salah satu kasus Sterling adalah ketika ia berlaga bersama Timnas Inggris melawan Montenegro di UEFA Nations League. Persoalan serupa dihadapi Koulibaly saat ia turun arena bersama Napoli di laga melawan Inter Milan.
ADVERTISEMENT
Rapinoe percaya bahwa ia tidak menjadi satu-satunya orang yang menyadari persoalan macam itu. Rapinoe juga yakin bahwa Sterling dan Koulibaly tidak harus melawan rasialisme sendiri, bahwa Martin tidak mesti menjadi satu-satunya atlet yang melawan diskriminasi karena alasan apa pun, termasuk orientasi seksual.
"Akan sangat menginspirasi jika semua orang melawan rasialisme persis seperti yang dilakukan Sterling dan Koulibaly, jika setiap orang berjuang sama kerasnya dengan atlet-atlet LGBTQ+ dalam melawan homofobia," jelas Rapinoe.
"Akan menjadi inspirasi besar jika semua orang turut ambil bagian memperjuangkan kesetaraan gaji di ranah olahraga, jika semua pihak memperjuangkan investasi untuk olahraga perempuan," ujarnya.
Megan Rapinoe merayakan gol ke gawang Prancis. Foto: Reuters/Benoit Tissier
Menjadi pesepak bola profesional, bagi Rapinoe, tidak hanya bicara soal kekayaan dan popularitas. Nama besar yang dimiliki adalah penanda bahwa mereka memiliki pengaruh hebat.
ADVERTISEMENT
Di era modern, pesepak bola profesional bukan hanya berstatus sebagai atlet, tetapi juga figur publik. Maka, mengapa tidak menggunakan privilege itu untuk ikut memperjuangkan kesetaraan dan hak orang lain?
"Saya mengajak semua orang di sini menggunakan sepak bola Anda untuk menopang orang lain. Agar Anda menggunakan beautiful game ini--sepak bola ini--untuk mengubah dunia menjadi lebih baik," ujar Rapinoe.
Tepuk tangan memenuhi ruangan. Sebagian merupakan tanda setuju, sebagian sebagai formalitas belaka. Siapa yang tidak setuju, itu bukan urusan Rapinoe.
Pada akhirnya sepak bola diingatkan kembali bahwa perempuan yang berdiri di Teatro alla Scala itu bukan pesepak bola sembarangan. Bahwa pesepak bola yang berdiri di sana merupakan salah satu musuh paling berbahaya bagi diskriminasi.
ADVERTISEMENT