Membandingkan Proyek Emas Naturalisasi Singapura dengan Indonesia

20 Maret 2018 18:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Striker Timnas Indonesia, Cristian Gonzales. (Foto: Romeo Gacad/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Striker Timnas Indonesia, Cristian Gonzales. (Foto: Romeo Gacad/AFP)
ADVERTISEMENT
Tak ada yang meragukan kualitas Tim Nasional (Timnas) Indonesia dalam ajang Piala Tiger (kini bernama Piala AFF) 2004. Selain diperkuat pemain hebat macam Ilham Jaya Kusuma, Hendro Kartiko, dan Elie Aiboy, Indonesia juga memiliki juru taktik cemerlang asal Inggris, Peter White. Maka itu, 'Garuda' diyakini mengakhiri turnamen dengan piala.
ADVERTISEMENT
Namun, asa Indonesia kandas di tangan Singapura. Di bawah arahan pelatih Serbia, Radojko Avramovic, Singapura menang agregat 5-2 atas Indonesia di final. Bahkan, dalam laga pertama di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ponaryo Astaman dan kolega tumbang 1-3.
Kesuksesan Singapura tidak lepas dari kebijakan Asosiasi Sepak Bola Singapura (FAS) menerapkan kebijakan naturalisasi. Jalan ini dianggap jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Namun, pertimbangan matang seperti yang ditunjukkan oleh FAS tentu tidak boleh dilupakan.
Pada tahun tersebut, Singapura langsung melakukan naturalisasi terhadap tiga pemain asing. Mereka adalah Mirko Grabovac (Kroasia), Egmar Goncalves (Brasil), dan Daniel Bennett (Inggris). Tak semuanya dipanggil untuk memperkuat Singapura dalam ajang Tiger Cup 2004. Dari tiga nama tersebut, hanya Bennett yang menembus skuat pilihan Avramovic.
ADVERTISEMENT
Untuk menambah kekuatan, FAS kembali melakukan naturalisasi kepada dua penyerang asal Nigeria, Itimi Dickson dan Agu Casmir. Pemain yang disebut terakhir sempat menjadi mimpi buruk bagi Indonesia berkat sepasang gol yang dicetaknya pada babak final.
Tiga pemain naturalisasi Singapura di Piala Tiger 2004 bukanlah pemain sembarangan. Ketika menjalani proses naturalisasi, mereka sudah memiliki kualitas yang teruji serta jalan karier yang masih panjang. Bennett masih 24 tahun, Dickson 21 tahun, dan Casmir 19 tahun.
Selain itu, penampilannya ciamik ketiga pemain tersebut saat berlaga di kompetisi teratas Singapura, S.League, tentu saja menjadi pertimbangan FAS. Dari situ, mereka mengenal gaya Singapura dan mengintegrasikan diri dengan skuat.
Striker Singapura, Agu Casmir. (Foto: Ahmad Zamroni/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Striker Singapura, Agu Casmir. (Foto: Ahmad Zamroni/AFP)
Singapura kembali melakukan proses naturalisasi kepada para pemain asing yang berlaga di S.League menjelang Piala AFF 2007. Saat itu, terdapat dua pemain naturalisasi baru yang menjadi skuat asuhan Avramovic. Mereka adalah bek Nigeria, Precious Emuejeraye, dan gelandang bertahan kelahiran Serbia, Fachrudin Mustafic.
ADVERTISEMENT
Kehadiran kedua pemain ini membuat lini pertahanan Singapura semakin kokoh. Namun, tak ada nama Casmir.
Pencoretan Casmir dari skuat arahan Avramovic tak lepas dari kehadiran pemain muda bertalenta asal Singapura, Noh Alam Shah, yang memang sedang dalam performa terbaiknya. Di akhir turnamen, Noh mendapatkan segalanya. Selain trofi, Noh berhasil menjadi pencetak gol terbanyak dan pemain terbaik.
Pada dua edisi selanjutnya, 2008 dan 2010, Singapura gagal mengulang kesuksesannya. Bahkan, pada 2010, laju Singapura terhenti di babak penyisihan grup. Namun, pada Piala AFF 2012, semuanya kembali indah bagi Singapura. Gelar keempat turnamen terbesar di Asia Tenggara sukses direngkuhnya.
Pada 2012, Singapura kembali menjalankan proyek naturalisasi. Pemain asal Serbia, Aleksandar Duric, yang telah dinaturalisasi sejak 2007, dipercaya oleh Avramovic untuk menjadi ujung tombak. Di usianya yang tak lagi muda, 41 tahun, Duric mampu bermain dengan apik. Bersama Khairul Amri, Singapura berhasil mencatatkan 11 gol dari 7 laga.
ADVERTISEMENT
Kendati dinaturalisasi saat usianya sudah menginjak 37 tahun, Duric tetap menjadi pemain paling tajam di Singapura. Selain mengemas 8 trofi S.League, Duric menjadi pencetak gol terbanyak selama 4 kali (2007, 2008, 2009, 2013) di Singapura. Tak heran apabila ia tetap menjadi pilihan Avramovic ketika usianya sudah berkepala 4.
Kesuksesan Singapura dalam melakukan naturalisasi diikuti oleh beberapa negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Pada 2010, pemain Uruguay, Cristian Gonzales, menjadi pesepakbola pertama yang menjalani program perpindahan kewarganegaraan yang digagas oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Tentu saja, tujuan dari program tersebut untuk membantu Indonesia meraih banyak prestasi.
Pada tahun itu, Gonzales berhasil memikat pecinta sepak bola Indonesia lewat performa apik. Terlebih sepasang gol yang dicetak ke gawang Filipina di babak semifinal. Memiliki insting yang bagus dalam mencetak gol, Gonzales mampu menjadi tumpuan di lini depan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Gonzales telah mengemas 12 gol dari 29 penampilan. Dengan usianya yang sudah menginjak 41 tahun, rasanya sulit bagi Gonzales untuk menambah catatan tersebut. Setelah itu, PSSI mulai getol melakukan proses naturalisasi.
Tercatat beberapa pemain yang sudah rampung menjalani proses perpindahan kewarganegaraan. Mereka adalah Kim Jeffrey Kurniawan, Diego Michiels, Tonnie Cussell, Raphal Maitimo, Victor Igbonefo, Greg Nwokolo, Sergio van Dijk, Stefano Lilipaly, dan Ilija Spasojevic.
Dari sederet nama tersebut, hanya Spaso -demikian Spasojevic disapa- dan Lilipaly yang hingga saat ini masih dipercaya memperkuat Indonesia di beberapa ajang. Bahkan, Spaso diproyeksikan menjadi ujung tombak Indonesia U-23 dalam ajang Asian Games.
Ilija Spasojevic (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilija Spasojevic (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Selain dua nama tersebut, tak banyak kontribusi yang diberikan oleh pemain naturalisasi lainnya. Maka tak heran apabila program perpindahan kewarganegaraan ini tak berdampak banyak bagi Indonesia dan trofi yang diharapkan pun tak kunjung diraih.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan naturalisasi di Indonesia. Namun, yang paling mencolok ialah usia pemain ketika menjadi WNI. Memang, tak semua pemain yang dinaturalisasi berada di usia senja, seperti Michiels, Kim Jeffrey, dan Lilipaly.
Pemain yang disebut terakhir mulai menjalani debut resminya pada Piala AFF 2016 atau lima tahun setelah merampungkan proses naturalisasi. Yang menjadi permasalahannya ialah tak ada restu dari klub yang dibela oleh Lilipaly.
Beberapa pemain yang sudah merampungkan proses naturalisasi sudah tak berada di usia yang produktif. Teraktual, dua pemain Sriwijaya FC, Esteban Vizcarra dan Alberto Goncalves. Kedua pemain ini tentu saja sulit untuk bersaing memperkuat Indonesia dengan pemain lokal yang usianya jauh di bawah mereka.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Vizcarra dan Goncalves mengubah paradigma terkait naturalisasi di sepak bola Indonesia. Keduanya mendapatkan paspor Indonesia bukan untuk membela timnas, melainkan disinyalir menguntungkan klubnya karena bisa menambah kuota 'pemain asing'.
Paradigma belakangan di Indonesia sekaligus menjadi pembeda dengan Singapura. Di Singapura, seorang pemain dinaturalisasi karena tampil apik di klub dan membukakan jalan ke timnas, bukan sekadar menguntungkan klub tanpa memberikan kontribusi buat timnas.