Persibara, Banjarnegara, Mafia Bola

Mencari Cahaya di Balik Buramnya Sepak Bola Kita

26 Mei 2019 17:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pendukung Persibara Banjarnegara membawa spanduk bertuliskan 'Brantas Mafia Bola'. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para pendukung Persibara Banjarnegara membawa spanduk bertuliskan 'Brantas Mafia Bola'. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Tak ada yang instan di dunia ini. Membuat mie instan saja harus menunggu beberapa menit, apalagi mengurus sepak bola. Tak ada ceritanya seorang juara lahir secara tiba-tiba. Kemarin latihan, hari ini juara. Tidak ada.
ADVERTISEMENT
Namun, memupuk dan menjaga konsistensi bukan perkara yang mudah. Hal ini yang dialami oleh Indonesia, bukannya semakin membaik, sepak bola Indonesia justru bak jalan di tempat, atau malah cenderung mundur.
Jangankan untuk mengaum di Asia. Di kalangan negara Asia Tenggara saja, Indonesia kesulitan bukan main. Piala AFF yang merupakan pesta sepak bola Asia Tenggara, Indonesia susah betul menjadi juara.
Ada beragam faktor yang membuat sepak bola Indonesia tak mengalami kemajuan. Regenerasi yang mandek, kompetisi yang amburadul, sampai kasus mafia bola dituding sebagai penyebabnya.
Khusus untuk mafia bola, kasusnya masih bergulir hingga sekarang. Setelah mencuat pada Desember 2018, para pelakunya mulai disidang. Enam di antaranya disidang di Pengadilan Negeri Banjarnegara, di mana kumparanBOLA hadir langsung mengikuti prosesnya.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, proses hukum untuk para tersangka masih berjalan. Kasus mafia bola ini belum menemui ujung dan masih memungkinkan untuk mengungkap fakta-fakta lain.
Semua berawal dari laporan mantan manajer Persibara, Lasmi Indaryani. Wanita yang juga politisi Partai Demokrat itu melapor karena merasa dirugikan. Berangkat dari laporan Lasmi, Satgas menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
Kemudian, Satgas melakukan penggeledahan di kantor Komisi Disiplin, kantor PSSI, dan apartemen Joko Driyono. Ujungnya, Jokdri--sapaan akrab Joko--yang baru saja ditetapkan sebagai plt Ketua Umum PSSI, langsung ditetapkan sebagai tersangka karena kasus penghilangan dan perusakan barang bukti.
PSSI pun limbung. Pasalnya selama ini, Jokdri memegang peranan sentral dalam berjalannya roda organisasi dan kompetisi. Akan tetapi, ribut-ribut soal mafia bola ini nyatanya tak membuat kompetisi sepak bola terhenti.
ADVERTISEMENT
Kompetisi tetap digulirkan dengan memulai kick-off pada 15 mei lalu. Tahun ini, sejumlah kompetisi usia muda bahkan bergulir yakni Liga 1 U-16, U-18, dan U-20. Sementara, Liga 1 Wanita dijadwalkan bergulir untuk kali pertama dalam sejarah pada akhir tahun ini.
Terungkapnya mafia bola setidaknya memberikan perbedaan, meski tak bisa dijustifikasi terjadi secara signifikan. Pelatih klub Liga 1 PS Tira-Persikabo, Rahmad Darmawan, mengaku merasakan adanya perbedaan setelah terbongkarnya jaringan mafia bola. Perbedaan itu terutama mengarah kepada kepemimpinan wasit.
"Masih terlalu dini untuk menilai kualitas kompetisi baik di dalam proses penyelenggaraan maupun dalam persiapan instrumen yang ada di kompetisi. Tapi, jujur dalam dua pertandingan (Liga 1) ini wasit cukup objektif. Kalau terjadi kesalahan itu karena human error bukan karena sesuatu hal," ujar RD--sapaan Rahmad--ketika berbincang dengan kumparanBOLA.
ADVERTISEMENT
"Ada upaya perbaikan yang signifikan yang dibuat federasi. Tentu kita menunggu dalam beberapa bulan ke depan sambil kompetisi ini berjalan," lanjutnya.
Ya, harapan sepak bola Indonesia untuk melangkah lebih baik itu pasti akan selalu merekah. Indonesia bisa meniru apa yang pernah dilakukan oleh Vietnam ketika mampu bertahan usai dihantam kasus pengaturan skor dan pertandingan pada 2014.
Vietnam bangkit, kompetisi mereka benahi. Lalu, pembinaan usia muda dijadikan poros. Semua renovasi itu akhirnya bermuara kepada timnas yang tangguh. Timnas Vietnam berhasil menjadi runner-up Piala Asia U-23 2018, semifinalis Asian Games 2018, dan menjadi juara Piala AFF 2018.
"Semua yang terjadi bisa jadi batu loncatan untuk sepak bola kita lebih baik dan bisa buat kita lebih survive lagi. Saya kira bisa saja kita meniru Vietnam, kenapa tidak bisa? Vietnam sangat serius dengan pengembangan usia muda. Mereka sudah dilatih oleh pelatih dengan kualitas bagus dan banyak mengirim tim-tim belajar ke luar negeri," tutur RD.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, pengungkapan kasus mafia bola dinilai tak serta-merta membuat perubahan. Di tataran suporter, kondisi si kulit bulat Indonesia dipandang masih setali tiga uang.
"Sepak bola Indonesia masih begini-begini saja, ya. Satgas Antimafia Bola yang waktu itu dibentuk juga masih begitu saja, sampai sekarang tidak ada hasil besarnya," ucap Sekretaris Umum The Jakmania--sebutan suporter Persija--, Diky Soemarno.
"Yang dibongkar ini apa? Lalu pola kerja seperti apa? Dan mafia itu siapa saja? ‘Kan masih mengambang sampai sekarang. Saya rasa justru tidak ada perbedaan apa-apa sebenarnya," ucap Diky.
Namun, Diky menegaskan bahwa pihaknya tetap mendukung kinerja dari Satgas. Hanya saja, badan pimpinan Brigjen Pol Hendro Pandowo ini harus bisa membuktikan secara nyata terkait mafia di sepak bola nasional.
ADVERTISEMENT
"Kalau ada mafia, ya, sudah dibereskan dan dibongkar setuntas-tuntasnya. Jangan sampai kita ngomong mafia, tapi tidak bisa dibuktikan mafia itu ada atau enggak,"katanya.
Tak dapat dimungkiri, terungkapnya mafia bola seperti memberikan tamparan keras bagi PSSI. Bagaimana tidak, orang-orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, mayoritas berada di lingkaran federasi.
Johar Lin Eng merupakan anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah, sementara Dwi Irianto mengemban tugas sebagai anggota Komisi Disiplin PSSI dan Ketua Asprov PSSI DIY. Nama lain ialah Hidayat yang merupakan mantan anggota Exco PSSI.
PSSI, yang wajahnya sudah bopeng, semakin lebam begitu kasus mafia bola mencuat. Kecurigaan selama ini bahwa pengurus federasi terlibat tak bisa lagi terbantahkan. PSSI pun semakin porak-poranda menyusul dijebloskannya Jokdri ke balik jeruji.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, yang namanya garis keperakan di tengah awan mendung itu tetap ada. Pada Februari lalu, ketika Satgas Anti Mafia Bola lagi kencang-kencangnya bertugas, Timnas Indonesia U-22 asuhan Indra Sjafri tak disangka berhasil menjuarai Piala AFF di Kamboja.
Tak hanya itu, PSSI juga menggulirkan kompetisi usia muda secara berjenjang pada tahun ini. Jadilah, Indonesia memiliki Liga 1 U-16, U-18, dan U-20. Sementara, tahun depan, PSSI berencana menggelar Liga 1 U-14.
“Dengan memiliki Liga di kelompok umur, maka pembinaan bisa dilakukan secara kontinyu dan berjenjang. Kompetisi ini akan membantu klub untuk mempersiapkan pemain-pemain masa depan,” kata Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, ketika membuka Liga 1 U-16 2019 di Bandung, pada bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Jika diibaratkan sebuah rumah, kompetisi usia muda ini adalah fondasinya. Membangunnya pun tak bisa asal-asalan. Harus teliti dan cermat agar kuat dan tak mudah keropos.
Pengamat sepak bola yang juga merupakan mantan pemain Timnas Indonesia era 1990-an, Supriyono Prima, melihat ada perkembangan pesat dari timnas usia muda sehingga bisa bersaing dengan negara-negara kuat di Asia. Menurutnya, penting bagi PSSI untuk lebih memberikan perhatian lebih ke level akar rumput.
Para pemain muda itu, kata Supriyono, membutuhkan pemahaman ideal tentang teknik dasar seperti cara bertahan, menggiring bola, melepaskan operan, serta tembakan.
''Semua pemahaman itu bisa didapatkan dari level sekolah sepak bola (SSB). Oleh karena itu, perlu adanya pelatih-pelatih kompeten yang memberikan edukasi kepada para pemain tentang poin-poin yang saya sebutkan tadi," ucap Supriyono.
ADVERTISEMENT
''Jika nantinya mereka sudah paham dari level paling bawah yaitu dari SSB, baru masuk ke kompetisi. Nah, dari kompetisi itu adalah wadah untuk memindahkan kemampuan mereka di latihan ke pertandingan. Nanti bisa dilihat, apa kekurangannya, dikoreksi, lalu dari kompetisi mulai terbentuk aspek mental bertanding yang baik," katanya.
Tentu saja, ini merupakan kepingan kecil dalam usaha perbaikan sepak bola nasional. Masih banyak yang perlu dibenahi lagi. Di sudut lain dari ruang kelam bernama sepak bola Indonesia ini, masih ada permasalahan seputar wasit.
Beberapa wasit dan mantan wasit mengaku kepada kumparanBOLA bahwa intimidasi terhadap mereka adalah hal yang biasa terjadi. Kalau situasi dan kondisinya masih sedemikian buruk, jangan harap kita bisa memberikan lingkungan yang baik untuk pemain-pemain muda itu.
ADVERTISEMENT
====
*Simak liputan kumparanBOLA seputar kasus mafia bola yang berawal di Banjarnegara lewat topik "Mafia Bola".
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten