Mengapa Main Hakim Sendiri di Sepak Bola Indonesia Tak Pernah Lenyap?

8 Mei 2018 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerusuhan antara Arema vs Persib (Foto: Instagram/@adebayuindra)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan antara Arema vs Persib (Foto: Instagram/@adebayuindra)
ADVERTISEMENT
Kegaduhan kembali menyeruak di sepak bola Indonesia. Dua aksi kekerasaan yang dilakukan suporter dan pemain kepada wasit menjadi pemicunya.
ADVERTISEMENT
Aksi kekerasan pertama terjadi ketika Persitema Temanggung menjamu PSIP Pemalang di Stadion Bhumi Pala dalam lanjutan Liga 3 Zona Jawa Tengah, Minggu (6/5/2018). Kekacauan yang terjadi di pengujung pertandingan diawali oleh keputusan wasit yang mengesahkan gol kedua PSIP.
Bermula dari sepakan penjuru, penjaga gawang Persitema gagal menangkap bola dengan sempurna. Bola liar di mulut gawang dinilai pemain PSIP, yang berdiri di dekat gawang, sudah melewati garis. Tidak berselang lama, wasit dan hakim garis menyetujuinya. Gol untuk tim tamu.
Keputusan tersebut direspons tidak baik oleh suporter tuan rumah. Mereka langsung melempari wasit dengan benda-benda keras. Bahkan, ada satu suporter yang masuk ke lapangan dan memberikan tinju kepada hakim garis yang seketika terkapar di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Kekerasan selanjutnya terjadi pada pertandingan yang mempertemukan Persibara Banjarnegara vs Bhayangkara Muda. Kali ini, aksi kekerasan dilakukan oleh pemain Bhayangkara Muda, Manan Samara, lantaran tidak terima dengan keputusan wasit yang memberikannya kartu kuning.
Ketika rekan setimnya mengerumuni wasit, Manan sempat-sempatnya memanfaatkan situasi dengan memberikan satu pukulan keras ke arah wajah wasit. Wasit yang merasa kesakitan langsung berlari ke pinggir lapangan demi mendapat perawatan.
Dua tindakan tersebut semakin membuat sepak bola Indonesia identik dengan kekerasan dan tentu saja dua aksi tersebut membuat wajah sepak bola nasional tercoreng.
Lantas, timbul pertanyaan: Apa sih yang menyebabkan aksi kekerasan terus terjadi di sepak bola Indonesia? Dan bagaimana cara mengentaskannya?
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan (kumparan.com), Koordinator Save Our Soccer (SOS) --lembaga swadaya yang memantau isu sepak bola nasional--Akmal Marhali, mencoba menjawabnya. Berikut hasil wawancaranya.
Apa yang jadi faktor maraknya aksi kekerasan di sepak bola Indonesia?
Itu bukan kasus baru. Kasus seperti itu sudah terjadi sejak 10 sampai 15 tahun yang lalu. Dan, setiap tahun pasti terjadi. Artinya, ada masalah yang cukup besar di sepak bola Indonesia.
Yang pertama masalah kepercayaan. Kepercayaan terhadap banyak hal seperti Federasi, pengelola kompetisi, wasit, dan juga kualitas kompetisi. Masalah kepercayaan itulah yang kemudian memunculkan kecurigaan.
Kecurigaan seperti apa yang Anda maksud?
Para pelaku sepak bola memiliki opini-opini negatif. Misalnya, pertandingan belum dimulai, hasil pertandingan sudah ditetapkan. Bahkan, sebelum kompetisi dimulai, juaranya sudah ditetapkan di awal musim. Opini-opini seperti itu hinggap di masyarakat. Inilah yang kemudian mempengaruhi kejadian-kejadian di sepak bola.
ADVERTISEMENT
Pemain yang akan masuk ke lapangan selalu berpikir 'apakah mereka akan dikerjai atau tidak' oleh hal-hal non teknis seperti keputusan wasit yang bisa merugikan mereka. Kecurigaan seperti itulah yang kemudian bisa menyulut satu keputusan wasit yang salah dengan aksi-aksi kekerasan.
Kecurigaan seperti itu terjadi pula di kalangan suporter. Mereka yang datang ke Stadion untuk menyaksikan tim kesayangannya berlaga dibayang-bayangi anggapan 'jangan-jangan tim kami dikerjain' ketika wasit membuat satu keputusan yang lagi-lagi dianggap merugikan. Itulah yang kemudian harus dibenahi.
Selain kepercayaan, adakah faktor lain yang mudah menyulut para pelaku sepak bola melakukan aksi kekerasan?
Ada. Yaitu ketidaktegasan dalam regulasi. Sanksi Komdis (Komite Disiplin) yang berupa denda uang itu tidak efektif. Kenapa tidak efektif? Orang hanya bayar dan itu sangat mudah untuk diselesaikan. Lalu, komdis selalu tidak konsisten dalam menjatuhkan hukuman.
ADVERTISEMENT
Misalnya, sanksi seumur hidup, eh ternyata berubah. Yang masih hangat itu hukuman yang diberikan kepada Umuh. Larangan 6 bulan terlibat dalam sepak bola kemudian diubah. Begitu juga dengan larangan 5 kali bermain yang diberikan kepada (Vladimir) Vujovic.
Artinya, hal itu membuka celah kepada pelaku sepak bola untuk beranggapan 'Wong, nanti hukumannya dihapus'.
Lantas, apa solusi yang Anda tawarkan agar permasalahan terkait kepercayaan dan kecurigaan bisa diselesaikan?
Keteladaan. Keteladanan yang seperti apa? Pengurus PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) dan PT LIB (Liga Indonesia Baru) jangan ada yang rangkap jabatan.
Mereka harus memilih sehingga masyarakat punya opini yang positif. Sekarang coba bayangkan bagaimana orang mau percaya sama PSSI, orang ketua PSSI-nya punya PSMS. Wakil Ketum pegang Persija. Wakil Ketum satu lagi Arema. Pengelola PT LIB pengurus Persib.
ADVERTISEMENT
Diskusi interaktif Save Our Soccer (Foto: Okky Ardiansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi interaktif Save Our Soccer (Foto: Okky Ardiansyah/kumparan)
Kemudian, harus ada pernyataan resmi dari federasi yang membuat klub-klub peserta kompetisi takut. Misalya, musim ini kami akan bertindak tegas terhadap pengaturan skor. Jadi, kepada masyarakat yang ada mengetahui potensi silakan melaporkan ke PSSI. Hukuman terberat adalah dicoret dari keanggotaan PSSI.
Kedua siapa yang melakukan aksi kekerasan di lapangan, musim ini, hukumannya tidak lagi hanya sekadar denda dan sanksi pengusiran. Tapi, bisa dicoret dari keanggotaan PSSI dan terdegradasi ke kompetisi lebih rendah.
Terakhir, semua pelaku sepak bola harus juga menghargai profesi masing-masing.