Menyambut Fulham di Premier League 2018/19

7 Agustus 2018 22:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain fulham merayakan gol (Foto: Reuters/Carl Recine )
zoom-in-whitePerbesar
Pemain fulham merayakan gol (Foto: Reuters/Carl Recine )
ADVERTISEMENT
Kesulitan terbesar untuk menceritakan Fulham FC adalah menemukan rekam jejaknya. Fulham bukan klub sepak bola dengan sejarah mentereng, tidak dilimpahi dengan gemerlap cerita-cerita spektakuler.
ADVERTISEMENT
Keberadaannya menjadi bukti sepak bola menguasai hampir seluruh aspek kehidupan orang-orang Inggris. Sepak bola di Inggris tak sekadar menjadi permainan, entah bagaimana caranya ia berubah menjadi sebentuk pengalaman rohani. Barangkali, hal macam inilah yang membuat Fulham lahir dari dalam gereja pada 1879.
Fulham terseok-seok di awal 1990-an. Jangankan bermimpi mencapai Premier League, untuk lolos dari Divisi Tiga saja sudah kesulitan setengah mati. Ironis karena Fulham tercatat sebagai klub profesional pertama yang berdiri di London.
Keberadaan Fulham sebagai klub profesional pertama London diikuti oleh Leyton Orient, Tottenham Hotspur, Queens Park Rangers, Millwall, Barnet, Brentford, Wimbledon, dan Woolwich Arsenal yang kini berubah nama menjadi Arsenal pada 1880-an. Sementara itu, Chelsea, Charlton, Crystal Palace, dan Thames Ironworks yang berubah menjadi West Ham United baru bergabung pada 1900-an.
ADVERTISEMENT
Beruntung, juruselamat itu tetap datang di saat kritis. Pada 1997, pengusaha Mesir, Mohamed Al-Fayed datang dan membeli Fulham. Gelontoran uangnya dibarengi dengan dua hal: target untuk menjejak ke Premier League dalam jangka waktu lima tahun dan kedatangan pemain-pemain Amerika Serikat.
Sebagai pengusaha, Al Fayed menilai bahwa hal pertama yang harus dibenahi di klub ini adalah manajemen. Itulah sebabnya, ia langsung mengangkat Kevin Keagen sebagai Direktur Operasional Klub yang nantinya mengemban tugas yang mengombinasikan peran CEO dan Direktur Olahraga klub-klub sepak bola modern.
Langkah Fulham untuk mewujudkan target itu benar-benar tak mudah. Tak cuma gonta-ganti pelatih, kisruh manajerial juga melanda klub. Karier pelatih pertama di era Al-Fayed, Ray Wilkins, bersama Fulham saja tak sampai semusim.
ADVERTISEMENT
Bahkan buntut dari berakhirnya kerja sama antara Wilkins dan Fulham sampai ke ranah hukum. Wilkins merasa dirugikan karena ia dipecat oleh Keagen dua hari menjelang laga Fulham di playoff Divisi Dua. Akibatnya, ia menuntut klub sebesar 1 juta poundsterling. Pemecatan Wilkins membikin Al-Fayed harus bergerak cepat. Setelah berdiskusi dengan Keagen, mereka pun sepakat jabatan pelatih kepala menjadi milik Keagen.
Terseok-seok, pada akhirnya Fulham berhasil melangkah ke Premier League pada 2001. Yang mengejutkan, target ini terwujud setahun lebih cepat daripada waktu yang telah diperkirakan. Di awal-awal berlaga di Premier League, Fulham bukan klub yang menakutkan bagi para pesaingnya di Premier League. Paling hebat, mereka menutup Premier League di peringkat 13.
ADVERTISEMENT
Walau tak bergelimang prestasi, Fulham berkali-kali lolos dari lubang jarum. Musim 2003/04 misalnya. Kala itu, media-media dan bandar taruhan menilai Fulham sebagai klub calon degradasi. Pertaruhan ini direspons Al-Fayed dengan berani.
Al-Fayed menarik mantan kapten mereka, Chris Coleman yang pensiun dini pada 2001 karena kecelakaan, sebagai manajer. Secara mengejutkan, Fulham berhasil menutup kompetisi di peringkat sembilan. Padahal waktu itu Fulham sedang dirundung masalah keuangan yang menyebabkan Louis Saha dijual ke Manchester United dengan rekor transfer 13 juta poundsterling.
Angin segar bertiup untuk Fulham sejak 2007 hingga 2010. Kala itu Roy Hodgson yang menjabat sebagai pelatih. Ia tak hanya mempertahankan Fulham bertahan di Premier League, tapi juga berlaga di kompetisi Liga Europa pada 2009/10. Tim-tim macam Wolfsburg dan Juventus berhasil mereka kalahkan. Sayangnya, dongeng Fulham berhenti di laga puncak. Melawan Atletico Madrid, mereka kalah dengan skor tipis 1-2.
ADVERTISEMENT
Harapan Fulham untuk kembali menjadi klub yang diperhitungkan kembali muncul di pengujung 2017/18. Kemenangan 1-0 atas Aston Villa di babak play off menjadi penanda bahwa mereka akan kembali Premier League setelah empat tahun absen terlibat di kompetisi level teratas Liga Inggris itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fulham bergegas di bursa transffer. Mulai dari Jean Michael Seri, Andre Schuerrle, hingga Alexander Mitrovic didatangkan sebagai amunisi baru bagi tim untuk bersaing di Premier League.
Slavisa Jokanovic yang asal Serbia itu datang ke Fulham pada 2015. Fulham di bawah kepelatihan Jokanovic menjadi tim yang ikut meramaikan hiruk-pikuk dominasi. Dalam format 4-3-3 yang diusung Jokanovic, Fulham mengandalkan dominasi penguasaan bola dan umpan-umpan pendek. Menurut whoscored, rataan penguasaan bola mereka di musim 2017/18 mencapai 57,8% dengan akurasi umpan mencapai 83,1%.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Fulham menjejak ke Premier League tidak bisa dipisahkan dari permainan brilian Ryan Sessegnon yang bermain sebagai pemain sayap kiri. Walau masih berusia 18 tahun, Sessenegon menjadi tumpuan kekuatan Fulham. Dalam melakoni perannya Sessegnon dibantu oleh Stefan Johansen dan Tom Cairney yang memenuhi area tengah merupakan tipikal pemain yang ofensif, baik itu mengakomodir serangan maupun mengakhiri peluang. Nyatanya keduanya berhasil menghasilkan 14 gol dan assist bila dikalkulasi. Untuk menyeimbang keduanya, Jokanovic menaruh Kevin McDonald yang lebih unggul dalam atribut bertahan.
Pelatih Fulham, Slavisa Jokanovic  (Foto: Reuters/Adam Holt)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Fulham, Slavisa Jokanovic (Foto: Reuters/Adam Holt)
Fulham mematahkan anggapan bahwa mereka yang mengandalkan possesion tidak bisa tampil efektif. Sepanjang musim 2017/18, Fulham berhasil menorehkan rataan tembakan 14,1 laga. Itu belum termasuk dengan 448 peluang yang berhasil mereka bukukan di sepanjang gelaran Championship 2017/18.
ADVERTISEMENT
Bila dibandingkan dengan tim-tim yang berlaga di Championship musim lalu, Fulham menjadi tim tersubur kedua, walaupun mereka menutup musim di peringkat ketiga. Total, mereka mencetak 76 gol dengan kebobolan 42 gol. Jumlah ini lebih baik ketimbang sang runner up, Cardiff City, yang mencetak 69 gol dan kebobolan 39 gol di sepanjang musim.
Dalam wawancaranya kepada Jokanovic, gaya permainan yang diusungnya di Fulham merupakan warisan dari sepak bola negaranya, Serbia. Di mata Jokanovic, permainan orang-orang Serbia adalah permainan yang menggabungkan dominasi penguasaan bola dan keberanian untuk menyerang.
Uniknya, dalam bertahan, Fulham tidak tampil sebagai tim yang gemar melakukan intersep. Rataan intersep per laga mereka di musim 2017/18 hanya mencapai angka 8,4. Catatan ini membikin mereka sebagai tim yang paling jarang melakukan intersep di sepanjang kompetisi.
ADVERTISEMENT
"Sepak bola kami bukan sepak bola yang mudah. Ia ibarat orang-orang Serbia yang dipaksa untuk bertahan hidup di tengah iklim politik yang menggerus kebebasan kami. Itulah sebabnya, orang-orang Serbia cenderung garang saat bermain sepak bola. Kami menganggap segala hal sebagai perkara yang wajib untuk kami menangi, termasuk setiap pertandingan sepak bola."
"Saya tumbuh sebagai seorang gelandang bertahan. Itulah yang membuat saya tetap memperhatikan keseimbangan dalam permainan tim saya. Saya tahu menyerang itu mutlak dilakukan, tapi saya sadar, tanpa kesadaran untuk bertahan, kami akan menjadi bulan-bulanan tim lawan," papar Jokanovic.
Perjalanan Fulham di Premier League 2018/19 akan dimulai kurang dari seminggu lagi. Berandai-andai bahwa Fulham akan menjadi tim yang langsung berbicara banyak di Premier League memang perkara naif. Tapi, setidaknya, Fulham datang ke Premier League dengan membawa satu kemungkinan: melahirkan epos yang dapat membuat pencinta sepak bola memalingkan muka dari dominasi tim yang itu-itu saja.
ADVERTISEMENT