news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mesut Oezil, Imigran Turki, dan Ultranasionalisme Beracun

23 Juli 2018 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Oezil saat membela Timnas Jerman. (Foto: REUTERS/Michael Dalder )
zoom-in-whitePerbesar
Oezil saat membela Timnas Jerman. (Foto: REUTERS/Michael Dalder )
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selesai sudah kiprah Mesut Oezil di Tim Nasional (Timnas) Jerman. Setelah 92 penampilan, 23 gol, 40 assist, dan satu trofi Piala Dunia, Oezil memilih untuk pamit mundur. Penyebabnya, bukan karena dia sudah puas, bukan pula karena dia merasa tak mampu lagi, melainkan karena dia tak tahan lagi.
Di Timnas Jerman, Oezil dikelilingi pemain-pemain hebat yang punya prestasi mentereng di level klub. Memang, pria 29 tahun ini punya tugas ekstra berat sebagai pengatur serangan. Namun, tugasnya di Timnas selama ini hampir selalu terlihat mudah karena dia memiliki rekan-rekan yang kompeten, tak seperti di Arsenal, di mana Oezil seringkali terlihat seperti mahasiswa yang bermain bersama anak-anak TK.
Bukan. Yang membuat Oezil tidak tahan lagi bermain untuk Timnas Jerman bukan (in)kompetensi rekan-rekannya, melainkan diskriminasi rasial yang dia terima.
ADVERTISEMENT
"Seorang suporter Jerman bilang kepadaku seusai pertandingan (melawan Swedia), 'Oezil, mampus kau Turki keparat, minggat kau babi Turki.' Ini belum termasuk surat bernada kebencian yang kuterima, telepon yang berisi ancaman, dan berbagai komentar di media sosial," tulis Oezil dalam surat perpisahannya sebagai pemain Timnas Jerman.
Selain itu, dalam surat tersebut, secara khusus Oezil juga menyoroti seseorang bernama Grindel. Menurut Oezil, Grindel adalah sosok yang inkompeten dan tidak pantas mengemban jabatan yang dimiliki saat ini karena dia punya latar belakang diskriminai rasial. Oezil juga menegaskan bahwa dia tidak mau lagi jadi kambing hitam atas inkompetensi Grindel.
Grindel yang dimaksud Oezil adalah Reinhard Dietrich Grindel, Presiden Persatuan Sepak Bola Jerman (DFB). Sebelum Piala Dunia 2018 digelar, Grindel dan Oezil sudah mulai berseteru. Muasal masalahnya adalah Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki itu. Dalam lawatannya ke London, Erdogan ditemui oleh tiga pemain berdarah Turki yang merumput di Premier League: Oezil, Ilkay Guendogan, dan Cenk Tosun. Mereka pun berfoto bersama.
ADVERTISEMENT
Bagi Grindel, apa yang dilakukan Guendogan dan Oezil itu merupakan masalah besar. Sebab, oleh kalangan konservatif Jerman, (Turki di bawah kepemimpinan) Erdogan dianggap sebagai sebuah ancaman dan Grindel, sebagai politisi Persatuan Demokrat Kristen Jerman, adalah bagian dari konservatisme itu.
Menanggapi foto Oezil dan Erdogan itu, Grindel berkata, “Tentu DFB menghargai situasi istimewa para pemain dengan latar belakang migran. Namun, sepak bola dan DFB menganut nilai-nilai yang tidak dihormati oleh Tuan Erdogan. Tidak baik para pemain kami membiarkan diri mereka dimanfaatkan untuk tujuan kampanyenya.”
Sejak itu, masalah Oezil dan ke-Turki-annya itu bergulir bak bola salju. Apalagi, di Piala Dunia 2018 lalu Jerman kandas di fase grup dan Oezil (dinilai) gagal tampil optimal. Sampai akhirnya, Grindel kembali mendesak Oezil untuk memberi klarifikasi ihwal fotonya dengan Presiden Turki tersebut. Oezil menolak dan akhirnya, dia menyampaikan segala uneg-unegnya lewat surat yang menyertai keputusan pensiunnya dari Timnas Jerman itu.
ADVERTISEMENT
***
Apa yang terjadi pada Oezil sama sekali bukan barang baru di Jerman. Meskipun orang-orang Turki merupakan minoritas terbesar di Jerman dengan populasi 2,7 juta jiwa (berdasarkan Sensus 2011) bukan berarti kehidupan mereka baik-baik saja. Prasangka adalah hal lazim yang senantiasa mendampingi jalan hidup para imigran Turki di Jerman.
Sebenarnya, kisah antara orang-orang Turki dan tanah Jerman ini sudah terjalin sejak lama, tepatnya sejak abad ke-16. Pada 1529, Kekaisaran Turki Usmani berupaya untuk melakukan penaklukan terhadap wilayah Balkan Utara dan untuk itu, mereka melakukan pengepungan terhadap Wina yang kini menjadi ibu kota Austria.
Ilustrasi Perang Wina 1683. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perang Wina 1683. (Foto: Wikimedia Commons)
Upaya penaklukan itu gagal dan ketika Kekaisaran Turki Usmani mengulangi itu pada 1683, kegagalanlah yang kembali mereka dapatkan. Dari kegagalan itu, banyak di antara serdadu Kekaisaran Turki Usmani yang jadi tawanan perang. Para serdadu itu kemudian dipaksa untuk menjadi orang Jerman dan dikristenkan.
ADVERTISEMENT
Awalnya memang tidak mengenakkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, jumlah orang Turki yang berpindah ke Jerman justru semakin banyak. Ini disebabkan oleh adanya kebijakan menyewa tentara bayaran yang dilakukan oleh Raja Frederick William I dari Kerajaan Prusia. Sebagian besar tentara bayaran Raja Frederick William I adalah tentara Turki dan ini berimbas pada integrasi yang lebih lancar.
Apiknya relasi antara Prusia dan Kekaisaran Turki Usmani ini terus berlanjut. Selain soal sewa-menyewa tentara, kedua negara itu juga berhubungan erat lewat perdagangan. Alhasil, migrasi pun jadi tak terelakkan dan jumlah orang Turki di Berlin serta orang Jerman di Istanbul pun meningkat drastis. Boleh jadi, puncak hubungan baik ini adalah ketika Prusia memberi kehormatan bagi Sultan Abdulaziz I untuk menjadi patron bagi sebuah masjid di Berlin.
ADVERTISEMENT
Setelah sempat surut akibat dua Perang Dunia, relasi Jerman dan Turki kembali terjalin pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada 1961. Ketika itu, Jerman sedang mengalami masa keemasan yang disebut Wirtschaftswunder (Keajaiban Ekonomi).
Yang jadi masalah, Jerman (Barat) tidak punya cukup banyak sumber daya manusia untuk menggerakkan roda perekonomian karena mereka tak bisa merekrut orang-orang dari Timur. Akhirnya, pada tahun tersebut mereka menjalin kerja sama Gastarbeiter (Pekerja Asing) dengan pemerintah Turki.
Jerman memang bukan satu-satunya negara tujuan ekspor bagi para tenaga kerja Turki. Selain Jerman, ada pula Belgia, Belanda, bahkan Australia. Namun, Jerman tetap menjadi tujuan utama. Selain karena kedekatan geografis, kebutuhan di Jerman juga jauh lebih besar.
Imigran Turki di Jerman. (Foto: Getty Images/Sean Gallup)
zoom-in-whitePerbesar
Imigran Turki di Jerman. (Foto: Getty Images/Sean Gallup)
Para pekerja Turki itu awalnya hanya melakukan kerja-kerja yang tidak membutuhkan kualifikasi tinggi. Umumnya, orang-orang Turki ini bekerja di pabrik, pelabuhan, atau pertambangan. Inilah yang membuat diaspora Turki lebih banyak terpusat di wilayah-wilayah seperti North Rhine-Westphalia yang merupakan daerah pertambangan, Hamburg yang merupakan daerah pelabuhan, serta Muenchen yang merupakan kota industri.
ADVERTISEMENT
Awalnya, kerja sama Gastarbeiter itu punya limitasi jelas. Semua pekerja Turki hanya boleh bertahan selama dua tahun. Akan tetapi, para pemilik modal di Jerman punya cara cerdik untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka memaksa pemerintah untuk menghapuskan limit itu supaya mereka bisa mempekerjakan orang-orang Turki berupah rendah itu dengan lebih lama.
Apa yang terjadi di Jerman ini hampir sama dengan apa yang terjadi di Inggris pada era 1950-an. Saat itu, untuk memutar kencang roda perekonomian, pemerintah Inggris membuka pintu lebar-lebar bagi para pekerja berupah murah dari negara-negara bekas jajahan. Dari situlah muncul banyak sekali imigran Pakistan di daerah Midlands yang merupakan wilayah industri di Inggris.
Orang-orang Turki di Jerman itu sedianya tidak punya tujuan untuk menetap. Mereka hanya ingin bekerja, mencari uang sebanyak mungkin, lalu kembali ke negaranya untuk menikmati hasil kerja. Namun, justru dari situlah muncul gelombang emigrasi baru yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Melihat kesuksesan mantan buruh migran itu, orang-orang Turki yang lebih muda tergerak untuk melakukan hal serupa. Terlebih, pemerintah Jerman pada 1967 memberi kesempatan lebih besar bagi para pekerja perempuan untuk datang dan bereuni dengan keluarganya. Akhirnya, jumlah emigran dari Turki pun jadi jauh lebih besar dari mereka yang berepatriasi.
Dalam situasi demikian, orang-orang Jerman Barat dan Turki hidup berdampingan nyaris tanpa masalah. Simbiosis mutualisme itulah yang membuat kehidupan kedua entitas itu, meski minim interaksi apalagi integrasi, jadi tidak menghasilkan gesekan.
Relasi Turki-Jerman (Ilustrasi) (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
zoom-in-whitePerbesar
Relasi Turki-Jerman (Ilustrasi) (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
Masalah baru tercipta ketika Jerman Barat dan Timur bersatu. Setelah reunifikasi, identitas orang-orang Turki mulai dipermasalahkan. Apalagi, dengan runtuhnya Tembok Berlin, runtuh pula sekat yang memisahkan para buruh murah di Jerman Timur dengan uang melimpah di Barat. Dengan kata lain, orang-orang Jerman ketika itu merasa bahwa tanpa orang Turki pun mereka sudah bisa berdiri sendiri.
ADVERTISEMENT
Inilah yang kemudian memantik xenophobia dan kekerasan terhadap orang-orang Turki. Pasalnya, kendati sudah tinggal di Jerman selama puluhan tahun, orang-orang Turki itu belum bisa dianggap sebagai orang Jerman. Penyebabnya adalah hukum kewarganegaraan Jerman itu sendiri.
Ketika itu, yang dianggap sebagai warga negara Jerman hanyalah orang-orang berdarah Jerman saja (jus sanguinis). Sementara, orang-orang non-Jerman yang lahir di Jerman tetap dianggap orang asing. Solusi dari masalah ini sebetulnya sudah ada, yakni dengan membuka kesempatan bagi para imigran Turki itu untuk mengajukan diri sebagai warga negara Jerman.
Namun, solusi itu tidak bisa menyelesaikan masalah sepenuhnya. Sebab, para imigran Turki itu sendiri punya masalah dengan integrasi.
Berdasarkan riset Berlin Institute, orang-orang Turki adalah imigran yang paling tidak terintegrasi dengan Jerman. Sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Jerman. Selain itu, 30 persen orang Turki di Jerman gagal menyelesaikan pendidikan. Oleh karenanya, orang-orang Turki jadi kesulitan berbaur dan tidak bisa mengikuti tuntutan yang ada di Jerman sana.
ADVERTISEMENT
Buruknya integrasi orang-orang Turki ini sebetulnya bukan salah mereka sepenuhnya karena ini semua berasal dari kebijakan pemerintah Jerman sendiri. Dulu, orang-orang Turki tidak diperkenankan bersekolah dengan orang-orang Jerman. Mereka hanya boleh bersekolah dengan sesama orang Turki dan bahasa Jerman pun tidak digunakan di sekolah-sekolah itu.
Oezil saat berfoto dengan Erdogan.  (Foto: Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Oezil saat berfoto dengan Erdogan. (Foto: Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
Kekerasan struktural terhadap orang-orang Turki itu membuat mereka jadi terasing di negeri orang. Padahal, mereka sudah memiliki kehidupan dan penghidupan di sana. Buruknya integrasi orang-orang Turki ini pada akhirnya menjadi alasan lain bagi mereka yang dari sananya sudah memendam kebencian terhadap orang-orang yang berbeda.
***
Oezil, sebagai pesepak bola top yang namanya masyhur sampai ke ujung dunia, sebenarnya termasuk orang-orang Turki yang beruntung. Ketika sistem pendidikan formal menjadi biang bagi kegagalan orang-orang Turki, sepak bola menjadi sarana untuk berintegrasi dengan lebih baik. Di lapangan sepak bola, para imigran Turki ini dipaksa untuk menggunakan bahasa Jerman dan pada akhirnya, mereka menemukan jalan untuk meraih keberhasilan.
ADVERTISEMENT
Inilah mengapa, banyak sekali orang Turki yang mentas dari sistem persepakbolaan Jerman. Oezil hanya salah satu contoh karena selain dirinya, masih banyak nama-nama lain seperti Tosun dan Guendogan, Nuri Sahin, Hamit dan Halil Altintop, serta Mehmet Scholl yang merupakan pemain keturunan Turki pertama di Timnas Jerman.
Awalnya, sepak bola adalah sebuah jalan keluar. Akan tetapi, kasus Oezil tadi menunjukkan bahwa sepak bola pada akhirnya tidak cukup untuk melawan sentimen negatif yang tengah merebak di seantero negeri. Seiring dengan munculnya krisis imigran pada 2015 lalu, pergerakan sayap kanan kembali menguat di Jerman.
Menguatnya paham sayap kanan ini bahkan sampai menggoyahkan posisi Angela Merkel selaku kanselir. Merkel sendiri dulunya merupakan harapan bagi para pencari suaka di Jerman. Akan tetapi, jumlah imigran yang akhirnya tak terkontrol membuat orang-orang Jerman jadi abdi paranoia. Akhirnya, Merkel menyerah dan memilih untuk mengetatkan aturan mengenai jalur masuk imigran, khususnya di Bavaria yang terkenal sebagai Texas-nya Jerman.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, cerita Oezil itu hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar bernama (ultra)nasionalisme beracun. Jika pesepak bola sehebat dirinya, yang sudah mampu mempersembahkan kebanggan besar bagi Jerman, bisa sampai ditumbalkan seperti itu, bagaimana dengan mereka yang papa dan tak berdaya?