Modric-Rakitic dan Kans Kroasia Lampaui Pencapaian Piala Dunia 1998

9 Juli 2018 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Modric dan Rakitic, kunci Kroasia. (Foto:  REUTERS/Lucy Nicholson)
zoom-in-whitePerbesar
Modric dan Rakitic, kunci Kroasia. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
ADVERTISEMENT
Melihat permainan Luka Modric dan Ivan Rakitic tak ubahnya pusat tata surya. Segala sesuatu yang terjadi pada permainan skuat Tim Nasional (Timnas) Kroasia saat ini, berputar di sekeliling keduanya.
ADVERTISEMENT
Kedua pemain itu adalah ‘matahari’, sementara penggawa-penggawa Vatreni lainnya adalah ‘planet’ yang mengitarinya. Keduanya adalah harmoni dan itu berujung dengan kesuksesan Kroasia menjejak semifinal setelah 1998 di edisi Piala Dunia 2018.
Lalu, di balik kilau keduanya, ada kegeniusan sang pelatih, Zlatko Dalic, dalam meracik taktik.
Bagaimana Dalic Menjadikan Modric-Rakitic ‘Matahari’ di Kroasia?
Dalic punya dua formasi andalan, tapi dua-duanya punya tujuan yang sama: memaksimalkan kemampuan menyerang dua gelandang terbaik dalam timnya saat timnya melakukan serangan balik cepat.
Dalam formasi 4-2-3-1, Rakitic ditandemkan dengan Marcelo Brozovic di lini tengah. Meski sama-sama di tengah, peran keduanya berbeda. Tugas Brozovic adalah memutus suplai bola dari gelandang tengah ke striker lawan. Selain itu, distribusi bola Brozovic yang bagus memudahkan Rakitic untuk menjadi opsi lainnya di kala Modric buntu bermain di belakang striker.
ADVERTISEMENT
Peran keduanya tentu tak hanya dimudahkan oleh hadirnya Brozovic. Ada Mario Mandzukic yang terbiasa bermain melebar sebagai striker. Kebiasaan penyerang Juventus itu bermain melebar bisa dikatakan berguna untuk mengecoh lini belakang lawan.
Brozovic signifikan membantu Modric dan Rakitic. (Foto: Alberto Pizzoli/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Brozovic signifikan membantu Modric dan Rakitic. (Foto: Alberto Pizzoli/AFP)
Di sisi lain, hadirnya winger-winger Kroasia yang lincah membuat kedua pemain ini punya banyak opsi kala melancarkan serangan balik. Terutama, Ivan Perisic yang sangat jago dalam melakukan cut-inside. Formasi 4-3-3 Kroasia sebenarnya tak jauh beda dengan formasi 4-2-3-1. Hanya, beban Rakitic dan Modric dalam menyerang dibagi rata karena keduanya sama-sama berperan sebagai ‘nomor 8’.
Taktik ini dapat dikatakan sukses besar selama fase grup. Kroasia sukses cetak 7 gol dan hanya bobol 1 gol selama di grup. Sayangnya, tren ini tak berlanjut di fase gugur karena lawan-lawan mereka tahu caranya ‘membunuh matahari’.
ADVERTISEMENT
‘Membunuh Matahari’ Itu
Apa yang terjadi saat matahari meledak atau mengerucut dan mati? Chaos, karena setiap planet akan kehilangan ritmenya. Itulah yang terjadi ketika Modric dan Rakitic gagal menunjukkan kreativitasnya di skuat Kroasia dalam dua laga fase gugur.
Mari bahas laga imbang 1-1 lawan Denmark di 16 besar terlebih dahulu. Laga ini bermula dari gol cepat Mathias Joergensen saat laga belum berusia satu menit. Usai gol tersebut, Rakitic dan Modric sama-sama gagal menunjukkan tuahnya.
Selain umpan terobosannya kepada Ante Rebic yang pada akhirnya digagalkan tekel Joergensen di kotak penalti di masa perpanjangan waktu, Modric tidak betul-betul berbahaya di laga itu. Dia hanya melancarkan lima umpan kunci (umpan yang berpeluang menjadi kans) dan dua tembakan tepat sasaran yang sama-sama tidak ada kaitannya dengan proses gol.
ADVERTISEMENT
Rakitic boleh saja terlibat dalam proses gol. Namun, itu juga karena kesalahan bek Denmark kala membuang bola hasil operan Rakitic. Setelah tendangan dilesakkan, bola mengenai punggung pemain Denmark lainnya sebelum diubah Mandzukic menjadi gol. Kesalahan yang sesungguhnya bisa ditidakadakan.
Nicolai Jorgensen gagal mengeksekusi penalti saat Denmark dikalahkan Kroasia. (Foto: Damir Sagolj/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Nicolai Jorgensen gagal mengeksekusi penalti saat Denmark dikalahkan Kroasia. (Foto: Damir Sagolj/Reuters)
Kegagalan keduanya berpendar tentu tak bisa dilepas dari taktik low-block yang diusung Denmark ketika diserang. Saat Kroasia memengang bola, Denmark akan menumpuk pemain di kotak penalti mereka sendiri dengan harapan tak ada ruang yang bisa dieksplotasi. Performa apik Kasper Schmeichel di laga itu adalah pelengkap kesuksesan taktik ini.
Hal yang sama juga berlaku saat imbang 2-2 dalam laga lawan Rusia di perempat final. Rusia juga menerapkan taktik low-block ketika diserang plus memiliki kiper hebat dalam diri Igor Akinfeev. Memang Modric pada akhirnya sanggup membukukan satu assist, namun itu tak tercipta dari open play. Melainkan melalui tendangan sudut di menit 101.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kebiasaan bek-bek Kroasia dalam bertahan harusnya perlu diwaspadai. Di laga yang berakhir kemenangan 3-1 atas Islandia di laga kedua babak grup, Dejan Lovren melakukan handball yang berujung gol dari tendangan penalti untuk Kroasia.
Dalam laga lawan Rusia, Josep Pivaric melakukan kesalahan serupa yang membuat Mario Fernandes bisa cetak gol menyambut umpan lambung dalam skema tendangan bebas. Gol yang membuat laga ini berlanjut ke babak adu penalti.
Bagaimana Menghadapi Inggris?
Inggris sesungguhnya buruk dalam bertahan. Ketika diserang, mereka meninggalkan lubang di sana-sini yang sangat besar kemungkinannya untuk menjadi panggung Modric dan Rakitic berpendar ketika kedua tim bertemu pada Kamis (12/7/2018).
Namun, di balik buruknya cara The Three Lions bertahan, ada Jordan Pickford yang siap pasang badan. Kelincahannya di depan gawang adalah sebab utama Inggris tak kebobolan lebih dari empat gol.
ADVERTISEMENT
Pickford menyelamatkan penalti Carlos Bacca. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Pickford menyelamatkan penalti Carlos Bacca. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Selain itu, persoalan skema set-piece Inggris ini juga perlu diwaspadai Kroasia. Pasalnya, 8 dari 10 gol Inggris di Piala Dunia hadir karena set-piece. Dengan pertahanan Kroasia yang suka membuat kesalahan, bukannya tak mungkin laga ini berujung dengan babak adu penalti seperti yang sudah-sudah untuk Kroasia.
***
Di Piala Dunia 1998, Kroasia menjadi salah satu tim yang paling mencuri perhatian. Berbekal pemain-pemain bintang macam Zvonimir Boban, Davor Suker, Slaven Bilic, Robert Prosinecki, hingga Robert Jarni, mereka melaju hingga semifinal.
Pada babak empat besar tersebut, mereka ditaklukkan Prancis dan akhirnya harus puas pulang dengan membawa gelar tempat ketiga --usai mengalahkan Belanda. Kendati gagal jadi juara, Kroasia sudah menunjukkan bahwa beberapa kualitas individu kelas satu bisa diramu dengan taktik yang pas --plus kolektivitas-- dan membawa mereka melaju jauh.
ADVERTISEMENT
Situasi nyaris serupa ada pada skuat mereka tahun ini. Pertanyaannya: Bisakah mereka melampaui pencapaian di tahun 1998?