Muasal Kemunculan para Imigran di Tim Nasional Jerman

23 Juli 2018 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mesut Oezil dan Sami Khedira pada sesi latihan Timnas Jerman di Piala Dunia 2018. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
zoom-in-whitePerbesar
Mesut Oezil dan Sami Khedira pada sesi latihan Timnas Jerman di Piala Dunia 2018. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
ADVERTISEMENT
"Dan kalian pikir Inggris bertanding melawan Jerman: Hampir separuh dari skuat Joachim Loew berasal dari luar Fatherland"
ADVERTISEMENT
Jelang babak perdelapan final Piala Dunia 2010 silam, sebuah artikel muncul dari media sayap kanan Inggris, Daily Mail. Judulnya, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, akan terdengar seperti kalimat pembuka tulisan ini. Artikel itu sepintas tidak tampak berbahaya. Namun, perlu dicatat bahwa tulisan tersebut diterbitkan oleh media yang memang begitu fasih menyisipkan paham ultranasionalisme dalam bentuk-bentuk yang subtil.
Maksud dari artikel tersebut sebetulnya jelas. Yakni, untuk menunjukkan kepada publik Inggris bahwa tim yang akan dihadapi 'Tiga Singa' saat itu bukanlah Tim Nasional (Timnas) Jerman karena separuh dari mereka tidak berasal dari Jerman. Lewat artikel yang tidak terkesan berbahaya itu, Mail berupaya untuk mendiskreditkan keberagaman yang sebetulnya menjadi kekuatan utama Jerman kala itu.
ADVERTISEMENT
Lewat keberagaman tersebut, Jerman kala itu berhasil menembus babak semifinal Piala Dunia. Mereka gagal melaju ke final karena gawang Manuel Neuer harus kebobolan gol sundulan Carles Puyol di menit-menit akhir. Namun, empat tahun kemudian, dengan tulang punggung skuat yang tak berbeda jauh, kegagalan tersebut mereka bayar tuntas. Gelar juara dunia berhasil direngkuh Jerman untuk kali keempat.
Sayangnya, empat tahun setelah menjadi juara dunia, keberagaman (di Timnas) Jerman itu digoyang oleh sosok-sosok tidak bertanggung jawab. Sasaran utamanya adalah Mesut Oezil, seorang cucu imigran Turki yang sebenarnya sudah jadi bagian tak terpisahkan Die Mannschaft sejak 2009. Menurut sebagian orang itu, Oezil mendua. Dia dianggap masih terlalu Turki untuk menjadi seorang Jerman.
Apa yang terjadi kepada Oezil ini sebenarnya merupakan gejala dari sesuatu yang lebih besar. Yakni, adanya sentimen negatif berskala nasional terhadap orang-orang non-Jerman. Penyebabnya adalah krisis imigran dari Suriah yang terjadi mulai 2015 lalu. Terus meningkatnya jumlah imigran membuat para penganut paham ultranasionalis merasa terancam. Mereka takut Jerman jadi kehilangan ke-Jerman-annya.
ADVERTISEMENT
Di sinilah ironisnya. Sebab, ketika dulu Gerald Asamoah menjadi pesepak bola kulit hitam pertama yang bermain untuk Timnas Jerman, sambutan yang dia terima tidak begini. Usai melakoni debut menghadapi Slovakia di Weserstadion, Bremen, Asamoah kebanjiran puja-puji. Bahkan, Bild yang merupakan tabloid sayap kanan itu secara terang-terangan menulis begini: Asamoah berhasil membangunkan Jerman yang lelah.
Pada pertandingan itu, Asamoah memang tampil eksepsional. Dia berhasil mencetak satu gol indah dengan melewati beberapa pemain lawan. Ketika dirinya diganti pun, pemain keturunan Ghana itu mendapat standing ovation dari para suporter di stadion.
Artinya, ketika itu Jerman masih berada dalam keadaan sehat. Mereka masih begitu optimistis dan menatap segalanya dengan positif. Mereka melihat bahwa kehadiran Asamoah, seorang imigran yang datang ke Fatherland pada usia 10 tahun, sebagai sebuah angin segar. Mereka ketika itu masih menjadi Jerman yang begitu terbuka dan luwes.
ADVERTISEMENT
Gerald Asamoah bermain untuk Timnas Jerman pada 2005. (Foto: AFP/Marcus Brandt)
zoom-in-whitePerbesar
Gerald Asamoah bermain untuk Timnas Jerman pada 2005. (Foto: AFP/Marcus Brandt)
Asamoah adalah salah satu dari pelopor Generasi M yang merupakan singkatan dari Generasi Multikultural di Timnas Jerman. Namun, dia bukan yang pertama. Asamoah melakoni debut untuk Timnas Jerman pada 2001. Delapan tahun sebelumnya, seorang putra imigran bernama Mehmet Scholl merintis jalan panjang tersebut.
Tak seperti Asamoah yang lahir di Ghana dan punya orang tua asli Ghana, Scholl adalah produk asli imigrasi Turki yang semarak di Jerman pada dekade 1960-an. Scholl lahir di Karlsruhe, Jerman Barat, dari ayah berdarah Turki dan ibu berdarah Jerman. Nama aslinya adalah Mehmet Yueksel dan nama Scholl dia dapatkan dari ayah tirinya.
Boleh dikatakan, Scholl adalah pelopor bagi gerbong pemain imigran yang kini begitu marak di Timnas Jerman. Menariknya, Scholl ketika itu 'diuntungkan' oleh perceraian ayah-ibunya. Sebab, dengan hukum kewarganegaraan yang ketat, Scholl semestinya tidak bisa menjadi warga negara Jerman.
ADVERTISEMENT
Kala itu, hukum kewarganegaraan Jerman masih menganut azas pertalian darah alias jus sanguinis. Aturan itu sebenarnya berasal dari masa Prusia. Setelah sempat dihapuskan, aturan itu muncul kembali pada 1913 pada era kepemimpinan Kaisar Wilhelm II. Pertimbangan dimunculkannya kembali aturan itu adalah Perang Dunia I yang ada di depan mata.
Dalam aturan tersebut, dinyatakan bahwa yang boleh menjadi warga negara Jerman hanyalah orang-orang yang lahir dari dua orang tua asli Jerman. Maka, Scholl yang berayah orang Turki itu seharusnya tidak bisa menjadi warga negara Jerman.
Mehmet Scholl berduel dengan bek Kroasia, Slaven Bilic. (Foto: AFP/Jacques Demarthon)
zoom-in-whitePerbesar
Mehmet Scholl berduel dengan bek Kroasia, Slaven Bilic. (Foto: AFP/Jacques Demarthon)
Akan tetapi, pengecualian diberikan kepada beberapa kasus, salah satunya adalah anak yang lahir sebelum 1975 bisa didaftarkan sebagai orang Jerman oleh ibunya apabila tidak memiliki ayah. Perceraian ayah-ibunya itu membuat Scholl secara hukum sempat tidak memiliki ayah dan dengan demikian, dia bisa didaftarkan sang ibu -- yang akhirnya menikah kembali dengan seorang pria Jerman -- menjadi warga negara Jerman.
ADVERTISEMENT
Hukum kewarganegaraan yang ketat itu secara resmi berakhir pada 1999. Akan tetapi, sejak 1990 atau setahun pasca-reunifikasi Jerman, pemerintah sudah membuka kesempatan lebih besar bagi para imigran atau anak imigran yang lahir di Jerman untuk menjadi warga negara. Namun, ketika itu ada aturan yang masih cukup ketat, yakni tidak boleh ada orang yang memiliki dua kewarganegaraan.
Jika, katakanlah, ada seorang anak imigran Turki yang lahir di Jerman, dia akan diberi status warga negara Jerman mulai usia 18 tahun. Namun, pada usia 23 tahun, dia harus memilih, apakah bakal menjadi warga negara Jerman secara permanen atau kembali menjadi warga negara Turki. Cenk Tosun, Nuri Sahin, dan Hamit Altintop adalah contoh pesepak bola Turki dengan kasus seperti ini.
ADVERTISEMENT
Sejak 1999, aturan untuk menjadi warga negara Jerman semakin longgar saja. Bahkan, sejak saat itu kewarganegaraan ganda sudah dibolehkan. Buktinya, ada pada diri Mario Gomez dan Jerome Boateng. Gomez punya kewarganegaraan Jerman dan Spanyol, sementara Boateng punya kewarganegaraan Jerman dan Ghana. Salah satu pertimbangan diterapkannya kebijakan ini adalah menurunnya angka kelahiran di Jerman.
Dari sini, multikulturalisme pun semakin marak di Jerman. Dalam kasus sepak bola, usai kemunculan Asamoah, gelombang pemain berdarah non-Jerman jadi semakin besar. Miroslav Klose, pada Piala Dunia 2002, bahkan langsung berhasil jadi bintang Timnas Jerman. Klose sendiri merupakan pemain berdarah Polandia.
Klose pada Piala Dunia 2002. (Foto: AFP/Pedro Ugarte)
zoom-in-whitePerbesar
Klose pada Piala Dunia 2002. (Foto: AFP/Pedro Ugarte)
Pada dasarnya, apa yang terjadi di Timnas Jerman ini adalah meritokrasi murni. Warga negara yang mana pun, tak peduli apa latar belakangnya, asalkan mampu menunjukkan kemampuan terbaik, dia akan terpilih. Tidak ada alasan mengapa orang-orang ini pada akhirnya bisa membela Timnas Jerman selain fakta bahwa mereka sudah menjadi warga negara Jerman itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Imigrasi dan keberagaman ini pada akhirnya menjadi kekuatan utama Jerman di berbagai turnamen sepak bola belakangan ini. Tak cuma Jerman, memang. Prancis yang memenangi Piala Dunia untuk kali kedua di Rusia lalu juga amat sangat terbantu oleh para imigran. Pun demikian halnya dengan Inggris dan Belgia yang jadi semifinalis turnamen.
Dari sini dapat terlihat bahwa imigrasi sebenarnya merupakan hal positif bagi persepakbolaan sebuah negara. Di sini, tentunya kita tak bisa soal naturalisasi karena naturalisasi biasanya dilakukan terhadap pemain yang sudah jadi. Di Jerman, misalnya, para imigran itu tetap dibesarkan dengan kultur sepak bola Jerman.
Para pemain itu mendapat manfaat dari apiknya sistem pembinaan dan rekrutmen di Jerman sana. Sebaliknya, sepak bola Jerman mendapat imbal balik berupa kekayaan teknikal dan kultural yang sebelumnya tak pernah mereka miliki. Namun, yang terpenting adalah dengan dibesarkan lewat kultur sepak bola Jerman, para imigran itu ujung-ujungnya tetap menjadi pemain Jerman, bukan pemain Jerman keturunan Turki, Tunisia, atau Polandia. Jerman, ya, Jerman.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kendati tak bernama Klaus, Gunther, Juergen, atau Harald, para imigran itu tetap tidak bisa dibilang sebagai orang asing. Nama mereka memang asing, tetapi dalam sepak bola, apalah arti sebuah nama? Toh, bagi orang Semarang, misalnya, antara Tugiyo dan Diego Maradona saja tak ada bedanya, kok.