Nuno Espirito Santo dan Anomali Pinggir Lapangan

7 Agustus 2018 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
ADVERTISEMENT
Intensitas permainan Wolverhampton Wanderers yang menggigit itu sinkron dengan gesture Nuno Espirito Santo di pinggir lapangan. Di pinggir lapangan, gelagatnya beringas. Tinjunya tak diacungkan setinggi-tingginya, seringnya, hanya mencapai kepalanya. Namun, teriakannya nyaring dan rautnya gahar setiap kali timnya berhasil menambah gol.
ADVERTISEMENT
Ia menghajar pemain yang dianggapnya mengganggu timnya di pinggir lapangan. Ia berselebrasi tanpa peduli perasaan pelatih lain. Bagi Nuno, pinggir lapangan adalah arena pertarungannya. Dan yang namanya arena pertarungan, gerak siapa pula yang bisa dibatasi?
Nuno adalah sosok yang menikmati pinggir lapangan dengan intens. Namun, kemampuannya untuk menikmati suasana pinggir lapangan ini tidak lahir begitu saja. Untuk sampai ke tahap ini, ia harus mabuk-mabukan dan berpura-pura mabuk.
Perjalanannya sebagai pesepak bola dihabiskan di bawah mistar gawang. Sayangnya, ia bukan pilihan utama di klub pertamanya, Vitoria Guaimaraes. Membela Guimaraes selama empat musim, ia hanya kebagian jatah bermain 34 kali.
Untuk setiap pesepak bola, kesempatan bermain adalah pengakuan paling valid. Jawaban diplomatis seorang pelatih saat wartawan di konferensi pers bertanya mengapa pemain A tidak diberi kesempatan bermain adalah omong kosong.
ADVERTISEMENT
Sesuai naluri, siapa pun yang tak mendapat pengakuan akan memberontak. Pemberontakan itu pulalah yang dilakukan oleh Nuno. Ia tak hanya meminta, tapi memaksa presiden klubnya untuk segera menjualnya. Sang presiden, Antonio Pimenta Machado, menyanggupi asalkan ada klub yang bersedia membeli minimal seharga 1 juta dollar AS.
Sialnya, janji tak lebih dari akal-akalan belaka. Begitu Deportivo La Coruna bersedia membelinya dengan harga demikian, Machado justru menaikkan harga Nuno menjadi lima juta dollar AS. Nuno menyerah. Ia bersiap menghadapi kemungkinan terburuk untuk menjadi penghangat bangku cadangan abadi sampai renta, sampai kemampuannya habis dimakan usia.
Namun, jangka waktu pemikiran yang satu dengan pemikiran lain demikian tipisnya. Pagi hari Nuno menyerah, siang hari, ide liar dan semangat itu lahir tanpa permisi.
ADVERTISEMENT
Nuno dan agennya bersekongkol. Barangkali, ini menjadi kegilaan paling konyol dan mujarab sekaligus yang pernah mereka lakukan sepanjang hayat. Sang agen sengaja mengacak-acak apartemen Nuno, ia melaporkan kepada presiden klub bahwa Nuno berperilaku buruk dan tak karuan.
Parahnya, ia bahkan menambahkan, ada kemungkinan Nuno bakal semakin liar. Sang presiden gusar, pasalnya, ia beberapa kali memergoki Nuno mabuk-mabukan saat bersenang-senang di klub malam. Bos besar menyerah, ia meminta si agen datang dan mengurus kepindahan Nuno dengan segera. Bravo.
Untuk menjadi seorang agen pemain, kau harus bisa bersikap layaknya James Bond. Mengetahui setiap detail targetmu, mulai di mana ia biasa menghabiskan jam makan siang, berapa lama waktu yang ia habiskan untuk makan, ke klub malam mana ia biasa bersenang-senang, sampai semabuk apa ia saat meninggalkan klub tadi.
ADVERTISEMENT
Itu semua dipelajari dengan cermat oleh agen Nuno. Hasilnya, tak sia-sia. Mulut manis dan licin sang agen berhasil mengantarkan Nuno ke klub barunya, Deportivo La Coruna.
Dan bila ditanya siapa nama agen brilian ini, maka jawabannya adalah Jorge Mendes. Ya, Mendes yang itu. Super agent yang kini menangani Cristiano Ronaldo dan Jose Mourinho. Jauh sebelum namanya melambung karena menangani duo Portugal itu, Mendes sudah lebih dulu menangani orang gila yang juga berasal dari Portugal. Nuno adalah klien pertama dalam daftar panjang yang bisa dipamerkan Mendes di curriculum vitae-nya.
Agen super, Jorge Mendes. (Foto: AFP/Jack Taylor)
zoom-in-whitePerbesar
Agen super, Jorge Mendes. (Foto: AFP/Jack Taylor)
Jauh setelahnya, Nuno menjadi pelatih. Dan sebagai pemikir pinggir lapangan, ia mengakui bahwa Jose Mourinho dan Jesualdo Ferreira memberikan banyak pengaruh untuknya. Soal Mourinho, karena ia pernah bermain di bawah kepemimpinan Mourinho di Porto. Sementara tentang Ferreira, kesempatan untuk terlibat dalam dunia kepelatihan didapatinya saat Ferreira menjadi pelatih Malaga dan Panathinaikos. Saat itu, Nuno menjadi pelatih kiper.
ADVERTISEMENT
Narasi pinggir lapangan Nuno berubah dari kutukan menjadi berkat. Duduk di pinggir lapangan memampukannya untuk menenggelamkan diri dalam pertandingan sampai ke batas paling muskil. Dari kursi terkutuk itu ia menyelidiki ruang sampai ke sudut-sudutnya, melihat segalanya, sampai ke detail-detail yang luput dari pandangan mata yang sibuk menikmati kehebatan para petarung lapangan hijau.
Seketika ia menyadari, kegilaannya akan sepak bola makin menjadi-jadi seiring dengan bertambahnya waktu yang ia habiskan di pinggir lapangan. Anomali. Tapi, anomali adalah bukti bahwa tak ada yang tak mungkin di muka Bumi ini. Yang menjadi pembeda, kali ini, ia sadar bahwa ia ingin terlibat dalam sepak bola, tapi tidak sebagai pemain.
Keseimbangan antara lini pertahanan dan penyerangan menjadi narasi utama dari keseluruhan cerita kepelatihan Nuno bersama Wolves. Bagi Nuno, taktik adalah hasil kawin silang antara kelemahan dan keunggulan timnya.
ADVERTISEMENT
Ia tidak akan memaksa anak-anak asuhnya untuk mengubah gaya permainan, tapi ialah yang mengubah taktik sesuai dengan materi yang ada. Hasilnya, timnya dapat bermain dengan tenang. Adaptasi dan improvisasi adalah perkara penting. Hanya, dua hal itu tak menjadi tugas timnya saja, tapi juga tugasnya sebagai pelatih.
Rio Ave menjadi klub pertama yang ditanganinya secara penuh. Di sini, timnya tampil dengan mengandalkan serangan balik dengan memanfaatkan permainan cepat pemain-pemain sayapnya.
Para pemain Wolves sebelum berlaga. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Wolves sebelum berlaga. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
Kepindahan Nuno ke Valencia sama dengan memindahkannya ke laboratorium taktik yang lebih luas. Ia ibarat ilmuwan gila yang tak bosan-bosannya bereksperimen dan mempersetankan risiko-risiko yang bukannya tak menggerogotinya dengan ganas.
Sekali waktu, ia bermain dengan formasi 4-2-3-1. Kadang memasuki arena dengan formasi 4-3-3, kadang bisa pula dengan mengandalkan permainan skema tiga bek 3-5-2. Untuk formasi yang terakhirk, ceritanya menjadi abadi karena dengan formasi inilah ia berhasil merebut kemenangan 2-1 atas Real Madrid. Melawan tim seperti Madrid, ia mengandalkan man-markin yang pada kenyataannya berhasil merusak permainan lawan dan mencuri peluang dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong untuk melesakkan serangan balik.
ADVERTISEMENT
Walau bermain di Spanyol, ada satu stigma yang dilawan Nuno bersama Valencia: fruitless position. Artinya, penguasaan bola tanpa hasil berarti. Sepak bola Spanyol identik dengan stigma penguasaan bola. Yang menjadi fokus Nuno, jangan sampai timnya hanya unggul dalam penguasaan bola, tapi gagal menciptakan permainan menyengat.
Itulah sebabnya, ia menginstruksikan para pemainnya untuk tetap intens membangun serangan dan berpenetrasi. Para full-backnya akan bermain melebar, kalau bola berhasil direbut oleh lawan, maka gelandang-gelandang akan berfungsi sebagai sistem yang mengembalikan bola ke wide area. Cara ini cukup jitu. Valencia menutup musim 2014/15 di peringkat empat. Sayangnya, kontrak Nuno tak diperpanjang.
Setelahnya, Nuno berkelana ke Porto. Di sini, ia menggunakan skema 4-4-2. Kali ini, ia mengandalkan penguasaan bola di area depan. Namun, cara ini tak begitu bertaji. Alih-alih menang, ia lebih banyak menutup laga dengan hasil seri.
ADVERTISEMENT
Cerita kepelatihan Nuno berlanjut ke Inggris walau ia tak langsung mengecap atmosfer persaingan Premier League. Satu pertanyaan yang menjadi bekalnya selama melatih Wolves adalah: Apakah ide yang dibawanya dapat bekerja di kompetisi ini? Pertanyaan ini bukan tentang bagaimana Championship mengubah ide dasarmu, tapi bagaimana idemu dapat tetap hidup di dalam Championship. Sederhananya, tentang adakah kemungkinan ide ini bisa menjadi bekal yang cukup untuk mengarungi kompetisi Championship.
Bersama Wolves, Nuno bermain dengan mengusung formasi dasar 3-4-3. Formasi ini belum pernah digunakannya secara reguler di tim-tim terdahulu. Namun, ide dasar permainan ini merupakan gabungan dari ide-ide yang dibawanya di tim terdahulu, tetap dengan mengandalkan intensitas permainan dan umpan-umpan cepat.
Nuno saat memimpin Wolverhampton. (Foto: Reuters/John Clifton)
zoom-in-whitePerbesar
Nuno saat memimpin Wolverhampton. (Foto: Reuters/John Clifton)
ADVERTISEMENT
Yang menarik, Nuno berhasil membentuk Conor Coady menjadi seorang sweeper dan Barry Douglas beralih peran, dari seorang full back menjadi wing back. Formasi tiga bek yang demikian akan menggiring para penyerangnya untuk melakoni dua peran. Yang pertama, sebagai ujung tombak (satu penyerang). Yang kedua, para wide forward (dari dua sisi).
Skema ini berpotensi memberikan keuntungan ketika transisi bertahan ke menyerang. Skenario umumnya, lawan yang tidak sedang melakukan pressing akan membiarkan satu pemain di depan untuk berhadapan dengan trio bek Wolves. Akibatnya, gelandang lawan akan berusaha untuk memenuhi wilayah tengah lapangan sehingga (diprediksi) dapat memberi keleluasaan bagi Wolves untuk build up serangan. Caranya, tentu dengan mengalirkan bola secara horizontal atau menyamping dengan mengandalkan pergerakan naik para bek.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Nuno mengubah full back menjadi wing back adalah nilai tambah yang tinggi. Sebabnya, ini sama dengan membiarkan pemain menemukan permainan paling optimalnya, terlebih, wing back merupakan peran penting dalam permainan skema tiga bek.
Permainan wing back yang efisien akan sanggup menjadi umpan yang memancing winger lawan turun. Untuk mengatasi jumlah pemain bertahan yang 'berkurang' karena wing back bergerak aktif membangun serangan, dua gelandang tengah akan bermain di posisi yang lebih dalam. Pada periode ini, wide forward akan menjadi umpan yang baik bagi full back lawan. Dan ruang untuk mensirkulasikan bola secara horizontal atau menyamping ini didapat dari skema yang demikian.
Dalam kepemimpinan dan kepelatihan Nuno, dialog adalah hasil penting. Dialog memungkinkan timnya untuk saling mendengar: pelatih (dan stafnya) mendengar pemain dan pemain mendengar tim kepelatihan. Baginya, mustahil tim dapat bertahan hidup jika tidak memberikan ruang untuk berbagi opini, tapi di sisi lain, sebagai pelatih ia juga harus berani mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Musim 2018/19 menjadi babak baru bagi Wolves dan Nuno. Di musim ini, mereka akan berlaga di kompetisi puncak Liga Inggris, Premier League. Banyak yang menilai Premier League sebagai hutan rimbanya sepak bola. Persaingan di dalamnya adalah tentang memakan dan dimakan.
Nama Nuno lantas disebut-sebut sebagai genius baru dalam sepak bola. Di satu sisi, pendapat ini terkesan berlebihan karena perjalanan Nuno di Wolves baru semusim, terlalu dini untuk menilai. Namun, terlepas dari benar atau tidaknya pendapat ini, Nuno agaknya tak peduli dengan gelar pelatih genius. Yang ia pedulikan, ia hanya ingin menikmati pinggir lapangan dengan intens.