Oezil dan Masa Lalu sebagai Anak Imigran

23 Juli 2018 15:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi Mesut Oezil saat Timnas Jerman melawan Meksiko di laga fase grup Piala Dunia 2018. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi Mesut Oezil saat Timnas Jerman melawan Meksiko di laga fase grup Piala Dunia 2018. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Saya seorang Jerman ketika kami menang dan seorang imigran ketika kami kalah.”
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas diungkapkan oleh Mesut Oezil saat mengumumkan pensiun dari Tim Nasional (Timnas) Jerman. Dari pernyataannya, terlihat bagaimana pemain Arsenal tersebut memperlihatkan sakit dari tindakan rasialis atas kegagalan Timnas Jerman di Piala Dunia 2018.
“Apa yang dilakukan oleh DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) dan pihak lain membuat saya tak ingin mengenakan seragam Timnas Jerman. Saya merasa tak diinginkan dan berpikir bahwa mereka melupakan segala yang lakukan sejak melakoni debut untuk Timnas Jerman di 2009.”
“Orang-orang yang gemar mendiskriminasikan orang lain secara rasial hendaknya tak diperbolehkan untuk bekerja di federasi sepak bola, yang banyak pemainnya berlatar imigran. Sikap seperti itu menunjukkan bagaimana mereka tidak bisa merefleksikan tim nasional," demikian pernyataannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang lahir dari campuran darah Jerman dan Turki, wajar apabila Oezil mencintai keduanya. Namun, meski mengingat Turki, dalam beberapa kesempatan, ia menunjukkan bagaimana Jerman adalah ia negara yang pilih.
Pertanyaannya, apakah ia tak boleh marah ketika ia telah melakukan semuanya dan semua orang justru menjadikan masa lalunya sebagai aib?
***
Lembah Ruhr atau Lower Rhein adalah satu daerah dengan kekayaan alam paling komplet di Jerman. Oleh Encyclopedia Britannica, kawasan ini disebut sebagai lokasi strategis bagi setiap pasukan yang singgah di Eropa Utara.
Masyhurnya nama lembah Ruhr dikenal saat Konfederasi Jerman terkena imbas revolusi industri di 1850-an. Sebagai daerah yang dikenal dengan hasil buminya, kawasan ini berkembang sebagai salah satu kiblat revolusi industri di Konfederasi Jerman.
ADVERTISEMENT
Revolusi industri mengubah pemandangan lembah Ruhr yang sebelumnya begitu elok. Adanya eksploitasi batubara membuat kawasan ini jadi rumah bagi orang-orang yang mengundi nasib, termasuk imigran yang siap dibayar murah.
Turki jadi salah satu negara yang paling banyak mengirimkan imigran ke Ruhr. Plakat kerja sama antara Jerman Barat dan Turki di 1910-an semakin memperbanyak jumlah orang Turki yang bekerja di lembah Ruhr.
Satu dari sekian orang Turki yang datang adalah Mustafa Oezil. Ia menetap di Jerman bersama kedua orang tuanya, 48 tahun silam. Mustafa bekerja di sebuah pabrik di wilayah utara Ruhr, Gelsenkirchen, sementara istrinya hanya menjadi ibu rumah tangga.
Setelah menikahi Gulizar, Mustafa memiliki empat orang anak. Satu di antaranya diberi nama Mesut Oezil. Mereka tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur yang terletak di kawasan pekerja yang diisi oleh orang-orang Turki di sudut Gelsenkirchen bernama, Bismarck.
ADVERTISEMENT
Di Bismarck, Oezil tumbuh dan besar. Jika tak sedang sekolah, ia menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola dengan anak-anak sepantarannya di lapangan yang diberi kerangkeng di setiap sudut area.
Mesut Oezil kecewa dengan sikap Timnas Jerman. (Foto: Dylan Martinez/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Mesut Oezil kecewa dengan sikap Timnas Jerman. (Foto: Dylan Martinez/Reuters)
Tak ingin bakat anaknya sia-sia, Mustafa lantas mendaftarkan Oezil di beberapa klub lokal di sekitar Gelsenkirchen. Namun, karena minimnya ruang untuk imigran dan tersedianya klub yang representatif, rencana tersebut diurungkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Mustafa sadar bahwa bakat anaknya di sepak bola tak biasa. Bersama Oezil, ia rela menyeberangi kota lain, Essen, untuk memasukkan anaknya ke klub bernama Rot-Weiss Essen. Setelah melakoni beberapa tes, Oezil diterima.
Bakat Oezil kemudian tak disia-siakan oleh Rot-Weiss. Dalam beberapa kompetisi dan turnamen, ia berhasil membawa klub tersebut menjadi juara, baik di level provinsi, maupun nasional.
ADVERTISEMENT
Tak hanya bermain di klub, bakat Oezil diasah saat ia bermain di jalanan. Oleh sesama peranakan Turki di sana, ia mengasah teknik dan visi bermain sepak bolanya. “Teknik dan visi saya dipengaruhi oleh darah dan teman-teman Turki saya,” kata Oezil suatu hari.
Di balik kemampuan teknik yang berada di atas rata-rata, Oezil juga menunjukkan sisi di mana ia harus mementingkan kemenangan timnya. Oleh pelatihnya di Rot-Weiss, Andreas Winkler, ia disebut selalu mengutamakan kemenangan tim.
“Oezil tak punya nafsu untuk menjadi bintang di setiap kemenangan. Pengaruh budaya Turki membuatnya paham bahwa menjadi bintang tak perlu untuk menjadi yang paling menonjol," kata Winkler.
Karier Oezil di Rot-Weiss tak berlangsung lama. Menjelang berusia 18 tahun, Mustafa menolak tawaran kontrak profesional senilai 4.000 euro yang diajukan oleh Rot-Weiss. Beberapa hari kemudian, ia bergabung ke Schalke 04.
ADVERTISEMENT
***
Oezil saat berfoto dengan Erdogan.  (Foto: Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Oezil saat berfoto dengan Erdogan. (Foto: Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
Mesut Oezil memutuskan untuk pensiun dari Tim Nasional (Timnas) Jerman, Minggu (22/7/2018) waktu setempat. Keputusannya disebut berhubungan dengan pertemuan yang diadakan oleh Recep Tayyip Erdogan (Presiden Turki) Mei lalu.
Pertemuan tersebut dinilai tak layak oleh Presiden DFB (Federasi Sepak Bola Jerman), Reinhard Grindel. Olehnya, Oezil dinilai sebagai salah satu alat kampanye yang dilakukan oleh Erdogan.
“DFB menghargai situasi istimewa para pemain dengan latar belakang imigran. Namun, sepakbola dan DFB menganut nilai-nilai yang tidak dihormati oleh Tuan Erdogan. Tidak baik para pemain kami dimanfaatkan untuk tujuan kampanyenya,” kata Grindel.
Pernyataan Grindel membuat Oezil kecewa. Baginya, meski Jerman adalah ia saat ini, tapi Turki adalah darahnya. Orang tuanya, keluarganya, dan masa lalunya, memiliki ikatan yang amat erat dengan Turki.
ADVERTISEMENT
“Kepadamu, Reinhard Grindel, saya kecewa tapi tidak terkejut. Pada 2004, saat kau masih anggota Parlemen Jerman, kau berkata bahwa ‘multikulturalisme pada kenyataannya adalah mitos (dan) kebohongan abadi,” terang Oezil.
Kekecewaan Oezil memang pantas terjadi. Benar katanya, ia akan diingat kalau Jerman menang dan bakal dilupakan apabila Jerman tak lagi kuat.