news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pada Shankly dan Busby Mereka Berutang

14 Januari 2017 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Patung Matt Busby di depan Old Trafford. (Foto: Clive Mason/Getty Images)
“Sir Matt, Sir Alex, Bill & Bob.”
Empat nama di atas merujuk pada Sir Matt Busby, Sir Alex Ferguson, Bill Shankly, dan Bob Paisley. Tentu ini bukan perkara menderetkan nama manajer-manajer besar saja. Jika peka, Anda bisa mencium aroma ledekan hanya dengan melihat deret-deret nama itu.
ADVERTISEMENT
Deret-deret nama itu disajikan dalam tiga baris. Sir Matt di paling atas, lalu Sir Alex di bawahnya. Gelar “Sir” keduanya dicetak hitam tebal. Baru di baris ketiga nama Shankly dan Paisley disajikan bersampingan.
Ini adalah tulisan dari sebuah spanduk bikinan pendukung Manchester United. Dituliskan besar-besar dengan warna merah sebagai dasarnya —warna kebesaran untuk United dan juga rival berat mereka, Liverpool.
Dengan mencetak tebal-tebal --dengan warna hitam pula-- kata “Sir”, para pendukung United itu ingin menunjukkan bahwa Busby dan Ferguson adalah bangsawan. Sementara Shankly dan Paisley hanyalah “Bill dan Bob biasa”, orang-orang yang bisa ditemukan sehari-hari.
Ini adalah sebentuk olok-olok (alias banter) yang sering terjadi di antara pendukung kedua kesebelasan. Masih segar juga di ingatan bagaimana pada tahun lalu, sekelompok pendukung Liverpool nekat menerobos ke tribun pendukung United di Old Trafford dan membentangkan bendera The Reds.
ADVERTISEMENT
Pendukung United yang ada di tribun tersebut tidak terima. Bentrokan sempat pecah. Tapi, tidak berlangsung lama. Para petugas keamanan keburu melerai. Selamatlah malam itu, tidak perlu ada goresan merah darah di bawah naungannya.
Olok-olok dengan menulis Shankly dan Paisley dengan sebutan “Bill dan Bob” pada akhirnya memang tidak akan serta-merta mengerdilkan sosok keduanya. Pendukung United tahu itu.
Shankly memunguti puing-puing lalu membangunnya menjadi pangkal Liverpool yang kita kenal sekarang. Paisley kemudian memugar dan menyempurnakannya —lalu terus berlanjut ke tangan-tangan Joe Fagan dan Kenny Dalglish.
Tapi, dalam ranah banter, akan selalu ada celah untuk mencela. Tak peduli sebesar apa pun sosok Shankly dan Paisley, mereka selamanya —dalam pandangan pendukung United— hanyalah warga biasa karena tak punya gelar kebangsawanan layaknya Busby dan Ferguson.
ADVERTISEMENT
Ini, tentu saja, sama dengan kebiasaan pendukung Liverpool menertawai hidung merah Ferguson, yang bagi mereka mirip dengan orang mabuk. Tidak peduli juga kalau Ferguson, dalam lebih dari dua dekade, sukses mengumpulkan 13 gelar juara Liga Inggris.
Namun, ingatlah: sosok selalu lebih besar daripada olok-olok. Tanpa “Bill” tidak akan ada “Sir Matt”. Begitu juga sebaliknya. Shankly dan Busby bersahabat dan, dalam bahasa masing-masing, mereka saling menghormati.
Kala Busby sudah duluan menukangi United, Shankly masih berkutat dengan Huddersfield Town. Pada 1959, tidak lama setelah membawa Huddersfield menang 1-0 atas Liverpool, Shankly langsung mendapatkan tawaran mengarsiteki Liverpool.
Direktur Liverpool ketika itu, Tommy Williams, mendatangi Shankly dan bertanya: “Apakah kamu mau menangani tim terbaik di negeri ini?” Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan salah satu kalimat termasyhur Shankly:
ADVERTISEMENT
“Kenapa memangnya? Matt Busby hengkang dari klubnya?”
***
Patung Bill Shankly di depan Anfield. (Foto: Clive Mason/Getty Images)
Shankly dan Busby sama-sama lahir di Skotlandia, terpisah jarak empat tahun dan 30 kilometer —yang satu di East Ayrshire yang lainnya di Bellshill. Keduanya sama-sama lahir di komunitas pekerja tambang.
Baik Shankly dan Busby sama-sama menanamkan etos kerja keras ke dalam tim. Mereka membangun dari nol sebuah tim yang nyaris hancur berantakan. Ketika Shankly datang, Liverpool berkubang di Divisi Dua. Sedangkan beberapa tahun sebelumnya, Busby harus membangun United di tengah reruntuhan pasca-Perang Dunia.
Shankly, dalam ceritanya dulu, masih ingat betul hari-hari itu. Pada masa perang, ia ditugaskan di Manchester dan ada di sana ketika Blitz datang menghujani kota industri tersebut. Beberapa hari kemudian, ia melihat Old Trafford hancur berantakan. Shankly lantas mengira, tidak akan pernah ada lagi tim muncul dari puing-puing itu.
ADVERTISEMENT
Busby muncul. Dan dengan tangan magisnya memugar apa yang tersisa dari puing-puing itu.
Sedemikian sabarnya Shankly dan Busby hingga mereka memercayai yang namanya proses. Bagi Shankly, proses itu berjalan lebih cepat. Lima tahun setelah bergabung, ia bisa membawa Liverpool menjuarai Liga Inggris. Sementara Busby butuh tujuh tahun.
Tapi, Shankly paham kalau Busby sedang menunggu tim terbaiknya datang. Seraya menunggu pemain-pemain mudanya bisa dipanen, Busby bersabar dengan menggunakan pemain-pemain senior dan yang sudah tua. Kesabaran itu terbayar ketika Busby Babes muncul dan membawa United berjaya.
“Banyak tim yang berada di posisi serupa akan menjual pemain-pemain tuanya. Tapi, Matt tidak begitu. Ia tetap bertahan dengan pemain-pemainnya dan berani menambahnya dengan pemain-pemain baru seperti Jimmy Delaney —yang mana merupakan aset tak ternilai,” ucap Shankly seperti dilansir Manchester Evening News.
ADVERTISEMENT
Shankly jugalah yang memberikan saran kepada George Best ketika pemain legendaris United itu meminta gaji lebih tinggi kepada The Red Devils. Best merasa, dengan ketenarannya yang kian terangkat, ia layak mendapatkan bayaran lebih besar. Tapi, Shankly berargumen: ketenaran Best yang semakin menanjak menunjukkan, ia jadi pemain yang lebih baik karena bermain bersama United.
Best lantas mengingat saran Shankly lainnya, yang dituturkan kepadanya ketika ia masih berusia 19 tahun. “Ketenaran, nak,” kata Shankly, “adalah harga yang harus dibayar ketika kamu melakukan pekerjaanmu dengan baik.”
Sebijak-bijaknya Shankly kepada United dan pemain-pemainnya, bukan berarti ia tidak pernah berlaku iseng. Maklum, namanya juga rival. Kembali, dari cerita Best, terangkatlah cerita di mana Shankly mengelabui legenda United lainnya, Bobby Charlton.
ADVERTISEMENT
Pada 1967, ketika United bertandang ke Anfield, Shankly menyambut dan menyalami pemain United satu per satu. Best curiga. Tahu Shankly punya sisi iseng dan jago dalam urusan mind games, ia memantau lebih lanjut.
Ketika Shankly menyalami Charlton, ia lantas berucap. “Bobby, senang melihatmu, nak. Tapi, ya ampun, kau terlihat kurang sehat.”
Mendengar pernyataan Shankly itu, Charlton heran. “Sakit? Aku terlihat sakit?” tanya Charlton balik, dan wajahnya memucat.
Aye, Bobby. Kau terlihat tidak enak badan. Kalau aku jadi kau, aku akan langsung menemui dokter sekembalinya ke Manchester.”
Charlton heran, ia merasa baik-baik saja hari itu. Tapi, beberapa saat kemudian, ketika Busby dan asistennya, Jimmy Murphy, masuk ke ruang ganti, muncul pengumuman bahwa susunan pemain United hari itu harus dirombak.
ADVERTISEMENT
Charlton, yang semestinya ada di starting XI, tidak bisa main. Ia tiba-tiba saja sakit.