Pelatih Terbaik Dunia 2018: Antara Taktik, Kepemimpinan, Pengalaman

25 Juli 2018 19:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deschamps bersama trofi Piala Dunia. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Deschamps bersama trofi Piala Dunia. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
Nominasi Pelatih Tim Pria Terbaik Dunia 2018 versi FIFA telah diumumkan. Tahun ini, ada 11 orang yang menjadi nomine. Menyoal nominasi ini, Piala Dunia 2018 memang menjadi momentum paling tepat bagi sejumlah pelatih untuk menunjukkan kegeniusan dan tajinya. Nama-nama yang tadinya asing mulai dikenal selama gelaran di Rusia itu berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dari 11 nama, ada lima nama yang tercatat sebagai pelatih tim kontestan Piala Dunia: Roberto Martinez (Timnas Belgia), Gareth Southgate (Timnas Inggris), Didier Deschamps (Timnas Prancis), Stanislav Cherchesov (Timnas Rusia), dan Zlatko Dalic (Timnas Kroasia).
Nah, tak ingin ketinggalan, kumparanBOLA juga merilis daftar pemain yang layak untuk memenangi Pelatih Tim Pria Terbaik Dunia 2018 versi FIFA.
1. Didier Deschamps: Menang dengan Cara Sederhana
Didier Deschamps bersama skuat Prancis. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
zoom-in-whitePerbesar
Didier Deschamps bersama skuat Prancis. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
Keberhasilan Didier Deschamps membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 2018 adalah satu hal dan apa yang dilakukannya untuk merebut gelar juara itu menjadi hal lain.
Karier kepelatihan Deschamps di Timnas Prancis didewasakan oleh konsistensinya untuk menanggung risiko. Untuk memahami kalimat ini kita perlu melangkah mundur cukup panjang dan menyaksikan seperti apa permainan Deschamps kala masih berstatus sebagai pemain Prancis di Piala Dunia 1998.
ADVERTISEMENT
Jangan minta Deschamps untuk mengatur kreativitas permainan tim, karena itu menjadi tugasnya Zinedine Zidane. Jangan pula mengharapkannya untuk bermain elok dan mencetak gol, karena keduanya menjadi bagian Youri Djorkaeff dan Lilian Thuram.
Yang menjadi tugas Deschamps waktu itu adalah merebut bola, mematahkan dan memutus jalannya serangan lawan. Dikenal sebagai gelandang pengangkut air, di atas lapangan, Deschamps memang tampil beringas, tak jarang pula melakukan aksi-aksi kotor untuk mendapatkan bola dan melayani kawan-kawannya di lini serang.
Tak ada permainan cantik, karena sepak bola Deschamps adalah sepak bola yang sederhana. Sepak bola yang dilakoni dengan pemahaman akan tugasnya di atas lapangan: memutus serangan. Titik. Cuma itu.
Konsep itulah yang dibawanya dalam perjalanannya sebagai pelatih Timnas Prancis sejak 2012. Menilik skuat Piala Eropa 2016, tak ada nama Karim Benzema dan Franck Ribery di dalamnya. Padahal, keduanya merupakan pemain penting di klub masing-masing. Pengalaman pun menjadi faktor yang membuat banyak orang mempertanyakan keputusan Deschamps waktu itu. Begitu pula dengan Samir Nasri yang terdepak dari Piala Dunia 2014.
ADVERTISEMENT
Deschamps bukan orang yang tergila-gila dengan nasionalisme semu. Ia tak peduli dari mana asal pemain yang dibawanya, selama itu orang Prancis dan dinilai bisa berdampak oke bagi tim, ya, angkut saja. Lihatlah Paul Pogba yang berasal dari Guinea.
Kylian Mbappe hasil persilangan Kamerun dan Aljazair. Antoine Griezmann yang berdarah Jerman dan Portugal. Hugo Lloris, orang asli Mediterania, ataupun Alphonse Areola yang merupakan orang Filipina. Persoalan umur juga tak menjadi masalah. Deschamps menyadari bahwa skuat harus seimbang: Ia butuh semangat talenta muda dan pengalaman pemain senior.
Mental menabrak risiko untuk tim yang mengalir deras dalam permainan sepak bolanya itu dibawa sampai ke Rusia. Ia tak peduli saat orang-orang mencemooh timnya sebagai tim yang memainkan anti-football karena bertahan melulu. Apa-apa yang ditunjukkan Deschamps semacam membuktikan omongan Johan Cruyff, bahwa di atas lapangan hanya ada satu bola, maka buatlah bola itu menjadi milikmu.
ADVERTISEMENT
Timnas Prancis selebrasi setelah memenangi Piala Dunia 2018. (Foto: Michael Dalder/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Prancis selebrasi setelah memenangi Piala Dunia 2018. (Foto: Michael Dalder/REUTERS)
Taktik Deschamps tidak membuat para pemainnya sibuk untuk menunjukkan permainan cantik. Secara taktik, Deschamps konsisten menggunakan 4-2-3-1. Kalaupun berubah, paling jauh hanya akan bergeser ke 4-3-3.
Bek-beknya tidak terdiri dari pemain yang beringas-beringas amat. Permainan lini tengahnya juga sederhana. N’Golo Kante bertugas merebut dan mengejar bola, Pogba berusaha untuk mendistribusikan kepada teman-temannya.
Begitu pula dengan lini serangnya. Olivier Giroud tidak dipaksakannya untuk mencetak gol karena itu memang bukan tugasnya. Kemampuan kontrol bola dan dribel yang mumpuni membuat Deschamps meminta Giroud untuk menjadi umpan lawan. Dengan keberadaan Giroud yang seperti ini, tugas mencetak gol yang diemban oleh Mbappe dan Griezmann menjadi lebih mudah untuk dituntaskan.
Ada banyak pelatih hebat di ranah sepak bola, ada banyak nama-nama genius yang menjadi juru taktik di Piala Dunia 2018. Namun, Deschamps di Piala Dunia 2018 menjadi sosok yang jarang ditemukan, karena ia merebut gelar juara dengan berbekal konsep sederhana. Toh, bermain sepak bola itu memang simpel, tapi, memainkan sepak bola dengan simpel adalah hal sulit. Nah, Cruyff lagi, kan!
ADVERTISEMENT
2. Zlatko Dalic: Menyeimbangkan Ide dan Komposisi Tim di Piala Dunia 2018
Dalic di sesi latihan Kroasia. (Foto: Oli Scarff/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dalic di sesi latihan Kroasia. (Foto: Oli Scarff/AFP)
Zlatko Dalic membuktikan bahwa terkadang, masa lalu tidak punya urusan apa-apa dengan masa kini dan masa depan. Melihat catatan uji tanding Kroasia, sebagian besar orang akan berpikir bahwa mereka akan pulang dini. Pasalnya, dari empat uji tanding, Kroasia hanya menang dua kali. Sementara, masing-masing satu laga berakhir dengan kekalahan dan hasil imbang.
Namun, penampilan Kroasia di bawah asuhan taktik Zalic berkata sebaliknya. Kroasia bahkan menjejakkan kaki ke final Piala Dunia pertama mereka. Serupa dengan tim-tim lain yang berlaga di Piala Dunia 2018, Dalic diperhadapkan dengan satu persoalan: bagaimana caranya mengalahkan lawan.
Lantas, pertanyaan itu dijawab Dalic dengan cara adaptif. Anak-anak asuhnya tampil sebagai tim yang berhasil mengeksploitasi permainan lawan. Dibandingkan dengan Kroasia edisi 1998, skuatnya kali ini lebih terbatas. Bila keseimbangan kekuatan ada di seluruh lini pada 1998, maka tahun ini, hanya sektor sentrallah yang bisa disebut istimewa. Adapun, Luka Modric dan Ivan Perisic yang menjadi tokoh utama di sektor tersebut.
ADVERTISEMENT
Tumpukan gelar dan pengalaman tak akan ada artinya bagi pelatih kalau ia tetap tak sanggup mengakomodir skuat dengan apa yang ada di tangannya (komposisi pemain -red). Yang dilakukan oleh Dalic di sepanjang gelaran Piala Dunia adalah menggabungkan ide dengan komposisi pemainnya.
Percuma ia memiliki konsep genius bila itu tak dapat diaplikasikan secara optimal lewat permainan anak-anak asuhnya. Lantas, permainan Kroasia di atas lapangan-lapangan Rusia menjadi: mengalirkan bola, meredam serangan, menciptakan dan menyelesaikan peluang.
Timnas Kroasia usai Piala Dunia 2018. (Foto: Dylan Martinez/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Kroasia usai Piala Dunia 2018. (Foto: Dylan Martinez/REUTERS)
Yang mengesankan dari Dalic, minimnya pengalaman tidak menjadikannya sebagai inferior. Alih-alih menimba banyak ilmu di sepak bola Eropa, ia lebih banyak berkutat di Timur Tengah. Kisah Dalic dan Timnas Kroasia pun baru terjalin singkat. Ia ditunjuk sebagai pelatih jelang laga pamungkas babak kualifikasi Grup I, tepatnya pada 7 Oktober 2017. Ia menggantikan Ante Cacic yang gagal membawa tim didikannya unggul atas Turki dan Finlandia.
ADVERTISEMENT
Yang harus diselesaikan oleh Dalic tidak melulu soal taktik dan pertandingan di atas lapangan. Permasalahan internal saat timnya sudah ada di Piala Dunia pun menjadi tugas lain yang harus dituntaskan cepat-cepat. Dalic sadar, dibandingkan dengan banyak tim, Kroasia jelas tidak diunggulkan. Paling hebat, mereka hanya dinilai sebagai tim kuda hitam. Bakal menunjukkan permainan yang oke, tapi juga tak hebat-hebat amat. Tim yang dinilai akan memberikan kejutan, tapi bukan kejutan yang awet.
Atas situasi ini, Dalic bersikap tegas. Nikola Kalinic yang menolak untuk dijadikan sebagai pemain cadangan dipulangkannya seusai laga pertama Kroasia. Sepintas, keputusan ini akan terlihat tak manusiawi. Namun, yang dilakukan Dalic adalah membersihkan timnya dari racun-racun dalam diri sendiri. Kalaupun racun itu adalah anak didiknya sendiri, maka anak didiknya itulah yang harus dijauhkan dari timnya yang akan berlaga.
ADVERTISEMENT
Efektivitas taktik dan kepemimpinan macam inilah yang pada akhirnya membuat Dalic juga pantas untuk masuk dalam calon perebut gelar pelatih terbaik. Bagaimanapun, kepelatihan tak hanya tentang satu sisi: ia bukan cuma soal taktik, dan juga bukan soal kepemimpinan saja. Dan sebagai pelatih, Dalic membuktikan bahwa ia memiliki keduanya.
3. Zinedine Zidane: Menaklukkan Atmosfer Liga Champions
Zidane dan trofi Liga Champions. (Foto: REUTERS/Andrew Boyers)
zoom-in-whitePerbesar
Zidane dan trofi Liga Champions. (Foto: REUTERS/Andrew Boyers)
Oke, Real Madrid memang gagal jadi juara La Liga 2017/2018. Jangankan menjadi juara, menjadi runner-up pun tak berhasil. Madrid menutup kompetisi liga sebagai peringkat ketiga dengan koleksi 76 angka. Artinya, mereka tertinggal 17 angka dari sang juara, Barcelona, dan kalah tiga angka dari rival sekota, Atletico Madrid.
Namun, Madrid tak menutup musim 2017/2018 dengan nirgelar. Mereka berhasil mengalahkan Liverpool dan memastikan diri merebut gelar juara Liga Champions ke-13. Catatan ini menjadikan Madrid sebagai klub yang paling banyak merebut gelar juara Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang terjadi di musim 2017/2018 (dan mungkin juga di musim-musim sebelumnya), mereka yang tampil butut di liga justru berhasil menunjukkan taringnya di Liga Champions. Madrid menjadi salah satunya. Posisi mereka di klasemen memang tak buruk-buruk amat, tapi Madrid tetaplah tim papan atas La Liga. Sepuluh hasil imbang dan enam kekalahan sudah cukup hebat untuk mempertanyakan kredibilitas Zinedine Zidane sebagai pelatih.
Yang menjadi pembeda, Zidane berhasil menaklukkan atmosfer Liga Champions. Dibandingkan dengan kompetisi liga, persaingan di Liga Champions jauh lebih ganas. Masalahnya, hampir mustahil menemukan tim medioker berlaga di Liga Champions. Setidaknya, mereka menjadi yang terbaik di liga masing-masing.
Segala hal yang ada dalam kompetisi Liga Champions bisa direduksi dalam satu kalimat: kombinasi pertarungan klub papan atas dengan kejelian strategi para pelatih di setiap pertandingan. Liga Champions menjadi kompetisi yang ganas karena tidak memberikan banyak waktu kepada para kontestannya.
ADVERTISEMENT
Ia berbeda dengan kompetisi liga yang pada umumnya bergulir selama sekitar sembilan bulan. Tim-tim di kompetisi liga bisa menutup laga dengan dalih: Ah, masih ada pertandingan pekan depan. Sementara, di Liga Champions, semua peserta menjadi pemangsa dan pelatih menjadi lebih ‘licik’, karena waktunya juga jauh lebih singkat. Putaran final berlangsung pada 12 September 2017 hingga 26 Mei 2018. Itu pun jangan melupakan perhitungan jeda di dalamnya.
Intinya, di Liga Champions, satu kekalahan bisa berakibat begitu fatal. Dan racikan taktik Zidane berhasil menekan angka kekalahan timnya sampai ke kemungkinan terkecil yang bisa mereka capai.
Yang menjadi keunggulan Zidane, ia memiliki respons taktik yang tepat. Untuk hal ini, kita hanya butuh melihat seperti apa jalannya laga Madrid melawan Liverpool di final Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Di pertandingan itu, Isco tidak tampil efektif. Lantas, Zidane dengan meresponsnya dengan tepat: Memasukkan Gareth Bale. Keputusan ini tidak hanya menjadi upaya untuk memenuhi satu kebutuhan, yaitu menambah daya gedor. Namun, kehadiran Bale memberikan keuntungan lain bagi Madrid: menambah opsi serangan.
Real Madrid Juara Liga Champions 2018 (Foto: LLUIS GENE/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Real Madrid Juara Liga Champions 2018 (Foto: LLUIS GENE/AFP)
Respons taktik yang tepat ini juga ditunjukkan Zidane di laga leg pertama babak perempat final Liga Champions musim yang sama, kala mereka melawan Juventus. Bila diingat-ingat, di babak kedua, Juventus tampil dengan lebih berani dan menekan demi mengejar ketertinggalan. Tekanan lawan tak menciutkan Zidane. Bahkan ia berhasil memetik keuntungan dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh tim besutan Massimiliano Allegri itu.
Caranya, ia mengubah formasi timnya menjadi 4-3-3, melahirkan opsi serangan baru dengan melancarkan serangan lewat area sayap. Adapun, strategi ini menjadi respons taktik Zidane atas kecenderungan pemain-pamain sayap Juventus yang mulai meninggalkan area aslinya. Taktik ini terbukti jitu, karena Madrid berhasil menambah dua gol lagi.
ADVERTISEMENT
Banyak yang menilai, Zidane diuntungkan karena Madrid dibekali dengan pemain-pemain bintang. Namun, satu hal yang (mungkin) harus disadari, percuma satu tim punya setumpuk dengan teknik tingkat tinggi, tapi pelatihnya tak bisa menciptakan taktik yang tepat.
Bagaimanapun, di setiap pertandingan, taktik adalah wadah yang dipakai oleh tim untuk membentuk teknik pemain-pemain kelas kakap itu. Dengan adanya taktik yang pas, kemampuan individu itu dapat digunakan untuk meraih tujuan tim: kemenangan dan gelar juara.
***
Di antara 11 nama, Gareth Southgate juga tampil sebagai salah satu nomine yang menarik. Keberhasilannya mengantarkan Inggris mencapai prestasi tertinggi di Piala Dunia sejak 1966 menjadi sorotan.
Selain itu, Southgate juga dinilai sebagai pelatih yang berhasil membangkitkan kepercayaan diri suporter Inggris yang mereka wujudkan lewat lantunan "Football is Coming Home". Intinya, tak peduli seperti apa pun permaianannya di setiap laga, semangat 'Football is Coming Home' itu ada.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Southgate sebagai pelatih yang layak diperhitungkan menjadi salah satu yang terbaik juga disebabkan oleh keberhasilannya merangkul dan melindungi pemain-pemain muda Inggris. Alhasil, segala hal yang dilakukan Southgate dipercaya sebagai upaya yang tepat untuk merawat bibit-bibit muda yang nantinya akan menentukan masa depan sepak bola Inggris.
Terlepas dari segala keberhasilan itu, kejelian taktik masih menjadi masalah dalam skuat Timnas Inggris asuhan Southgate. Celah berupa lubang yang dibiarkan menganga di area sayap menjadi masalah yang tidak juga dituntaskan oleh Southgate di setiap laga mereka di Piala Dunia 2018.
Untuk fase grup saja (melawan Tunisia, Panama, Belgia) gempuran dari sisi kiri yang diterima Inggris persentasenya mencapai 46%, sementara di sisi kanannya mencapai 35,5%. Melancarkan serangan dari area paling dominan memang tak salah. Namun, jangan sampai keunggulan di satu sektor membuat pelatih abai untuk menutup kekurangan di sektor lain.
ADVERTISEMENT
Atas pertimbangan itulah, untuk kali ini, Southgate belum bisa masuk ke tiga pelatih terbaik versi FIFA. Kalaupun memang harus ada gelar yang direbut Southgate, maka itu tak akan lebih dari juara favorit. Sayangnya, FIFA belum membuat nominasi itu.