Penurunan Kualitas Timnas Jerman, Salah Guardiola?

20 November 2018 22:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Apresiasi Pep Guardiola untuk kemenangan Manchester City atas Southampton. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Apresiasi Pep Guardiola untuk kemenangan Manchester City atas Southampton. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
ADVERTISEMENT
Timnas Jerman sedang mengalami penurunan performa, yang ditandai dengan miskin prestasi usai Piala Dunia 2014. Lucunya, Josep Guardiola dikait-kaitkan dengan degradrasi performa dan prestasi Jerman.
ADVERTISEMENT
Nah, yang jadi pertanyaan, memangnya Guardiola ini melakukan apa, sih, sampai namanya dibawa-bawa?
Begini...
Pada kisaran 2013 sampai 2016, Guardiola memang pernah merasakan atmosfer kompetisi level tertinggi Jerman, Bundesliga. Ketika itu, dia menangani Bayern Muenchen. Guardiola menerapkan gaya bermain pass and move, dipadukan dengan penguasaan bola di klub yang bermarkas di Allianz Arena tersebut.
Di bawah asuhan Guardiola, Bayern meraih tiga trofi Bundesliga, dua trofi DFB Pokal, satu trofi Piala Super Eropa, serta satu trofi Piala Dunia Antarklub. Pep hanya gagal mengantarkan Bayern meraih trofi Liga Champions karena selama diasuh olehnya, Bayern selalu terhenti di babak semifinal.
Meski meraih kesuksesan bersama Bayern, Guardiola dianggap sebagai biang kegagalan Jerman mendulang prestasi pada kisaran 2015 sampai 2018. Hal ini diutarakan oleh Hans-Peter Briegel, mantan bek Jerman. Menurutnya, Guardiola telah menciptakan ilusi di sepak bola Jerman, bahwa menguasai bola lebih penting dibandingkan memenangi laga.
ADVERTISEMENT
"Prinsip dasar sepak bola telah hilang dari cara pikir kita, bahwa di sepak bola, hasil akhir lebih penting dibandingkan dengan menguasai laga. Perubahan ini muncul setelah Guardiola datang ke Bayern Muenchen," ujar Briegel kepada Repubblica, dilansir Goal.
"Dia menciptakan ilusi bahwa untuk memenangi laga, bola harus dikuasai selama mungkin. Tapi, banyak menguasai bola tidak menjamin sebuah tim meraih kemenangan. Ambil contoh Prancis. Di Piala Dunia 2018 kemarin, meski tidak banyak menguasai bola, mereka bisa menjadi juara," tambahnya.
Memang, setelah menjadi juara dunia pada 2014, Jerman hanya mampu meraih trofi Piala Konfederasi 2017. Di ajang Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018, Jerman gagal total. Teraktual, mereka harus terdegradasi ke Liga B UEFA Nations League 2018 akibat menghuni posisi buncit klasemen Grup 1 Liga A. Mereka gagal bersaing dengan Prancis dan Belanda.
ADVERTISEMENT
Virgil van Dijk (kanan) mencetak gol Timnas Belanda ke gawang Jerman. (Foto: John Macdougall/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Virgil van Dijk (kanan) mencetak gol Timnas Belanda ke gawang Jerman. (Foto: John Macdougall/AFP)
Ucapan Briegel ini semakin beralasan jika melihat permainan Jerman saat ini. Dalam enam laga internasional pada 2018, mereka membukukan persentase penguasaan bola yang tinggi, dengan angka tertinggi mencapai 74% saat mereka kalah dari Korea Selatan di laga akhir fase grup Piala Dunia 2018. Hal ini berbeda dengan catatan mereka di Piala Dunia 2014.
Di ajang itu, meski menorehkan persentase penguasan bola tertinggi kedua setelah Spanyol (57,7%), mereka sukses menjadi tim yang efektif. Hal ini ditandai dengan total 18 gol dari rataan tembakan ke gawang sebesar 14,1 kali per laga. Bandingkan dengan Piala Dunia 2018. Kala itu, Jerman hanya mampu menorehkan 2 gol dari rataan tembakan per laga sebanyak 24 kali.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah penurunan performa Jerman ini memang salah Guardiola? Sebenarnya tidak juga. Soal penguasaan bola ini, Jerman sedikit salah menafsirkan gaya main Guardiola.
Benar bahwa Guardiola menekankan penguasaan bola dalam dasar permainan mereka, dipadukan dengan gaya main pass and move. Namun, yang membedakannya adalah, Guardiola juga tetap menekankan aspek klinis. Guardiola tidak ingin umpan-umpan pendek yang dimainkan timnya hanya berakhir menjadi tiki-taka karena tak akan ada ujungnya.
Thierry Henry dan Pep Guardiola saat masih bersama-sama di Barcelona. (Foto: Lluis Gene/ AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Thierry Henry dan Pep Guardiola saat masih bersama-sama di Barcelona. (Foto: Lluis Gene/ AFP)
Itulah alasan mengapa Guardiola juga menginginkan kreativitas di area sepertiga akhir. Kreativitas ini murni dihadirkan para penyerang, seperti yang pernah Thierry Henry ucapkan dalam sebuah acara di Sky TV perihal gaya main yang diterapkan Guardiola kala melatih Barcelona. Selain itu, Guardiola juga adaptif. Perubahan formasi dan posisi tak segan ia lakukan di tengah laga saat rencananya tak membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang tidak terlihat dari permainan Jerman, terutama di Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018. Yang muncul di permainan Jerman, penguasaan bola memang mulai menjadi ciri. Tapi, penguasaan bola di sini adalah penguasaan bola tanpa tujuan. Efeknya, Jerman rentan dihajar skema serangan balik dan mengalami kesulitan mencetak gol.
Sederhananya, Jerman terjebak periode suram bukan karena kesalahan Guardiola, tapi karena gagal memahami dan mengimplementasikan sepak bola ala Guardiola.