Pergi, Tersesat, dan Pulang bersama Alvaro Morata

4 Maret 2019 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi dari Alvaro Morata. Foto: REUTERS/Vincent West
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi dari Alvaro Morata. Foto: REUTERS/Vincent West
ADVERTISEMENT
Jalan pulang adalah jalur yang membawamu kembali ke tempat yang ingin kau tinggalkan saat bertumbuh. Jalan pulang adalah jejak samar yang mengantarmu pada tempat yang ingin kau tinggali saat segala sesuatunya mulai kembali melambat.
ADVERTISEMENT
Bagi Alvaro Morata, jalan pulang itu membawanya ke Atletico Madrid.
“Saya merasa sedikit tersesat. Ini bukan hanya tentang gol. Saya meninggalkan rumah waktu masih muda, mengejar asa ke Juventus, berlanjut ke Madrid," seperti itulah petikan wawancara Morata bersama Sid Lowe untuk The Guardian pada April 2017, saat ia masih membela Real Madrid.
28 Januari 2019 menjadi penanda berbeda bagi orang-orang. Untuk sebagian pekerja, itu hari yang menyenangkan karena gaji sudah di tangan. Bagi sebagian lagi, itu menjadi hari kelahiran, hari kehilangan, atau mungkin hari yang mendakwamu dengan kegagalan di ujian akhir. Untuk Morata, itu menjadi hari kepergiannya dari Chelsea, kepulangannya ke Atletico.
Klub ini bukan tempat asing bagi Morata. Sebelum masuk akademi Real Madrid, La Fabrica, ia dididik di Atletico. Barangkali ini menjadi kali pertama pikirannya paham bahwa ada lusinan bahkan puluhan ambisi yang bisa digenapi di atas lapangan bola.
ADVERTISEMENT
Sepintas Atletico tidak sedang dalam kondisi buruk. Mereka masih ada di papan atas, tidak terlempar dari lima besar. Tapi, masalah tidak selalu bertingkah seperti orang tenar baru. Ia tak selalu suka menampakkan diri. Tak jarang rupanya tersembunyi di balik kemenangan, trofi, dan perayaan gol.
Masalah Atletico adalah ketergantungan mereka kepada Antoine Griezmann soal mencetak gol. Sebelum kedatangan Morata, laju Griezmann jauh lebih kencang ketimbang penyerang lain.
Griezmann menari usai membobol gawang Girona. Foto: Reuters/Albert Gea
Kala itu, Diego Costa baru membuat masing-masing dua gol dan assist, sementara Angel Correa hanya mengumpulkan dua gol dan satu assist. Pun dengan Nikola Kalinic yang juga mengoleksi dua gol. Bahkan bila torehan ketiga penyerang itu digabung, jumlahnya masih kalah dari pencapaian Griezmann karena sang penggawa Prancis sudah menyegel 14 gol dan sembilan assist.
ADVERTISEMENT
Mematikan Griezmann adalah cara paling sederhana bagi tim mana pun untuk mematikan Atletico. Kedatangan Morata ke Atletico tidak serta-merta membuat segalanya jadi lebih mudah untuk tim dan Griezmann. Dalam empat pertandingan pertamanya, Morata masih menggenggam catatan nirgol walau berhasil membukukan satu assist.
Namun, keran yang pampat itu akhirnya terbuka juga pada laga kelima. Melawan Villarreal pada pentas La Liga, Morata menyegel gol pembuka keunggulan dengan bantuan assist Filipe Luis.
Dan kabar baiknya, catatan itu berlanjut ke laga melawan Real Sociedad. Semua gol pada laga yang berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk Atletico itu dicetak oleh Morata.
Aksi Alvaro Morata saat Chelsea melawan Vidi FC di Liga Europa. Foto: Ben Stansall/AFP
Keberhasilan Morata mencetak gol membangkitkan persepsi bahwa ia menjadi pilihan yang sepadan untuk ditandemkan bersama Griezmann di garda terdepan. Ia memang baru bermain dalam enam laga bersama Atletico dengan raihan tiga gol dan satu assist. Tapi, pilihan ini lebih masuk akal ketimbang memainkan Correa atau Kalinic di lini serang.
ADVERTISEMENT
Formasi 4-4-2 menjadi sistem yang begitu mengakomodir kebutuhan Diego Simeone agar timnya bermain defensif. Celakanya, sistem ini tidak memberikan tempat kepada gelandang serang murni.
Yang dibutuhkan oleh tim defensif untuk mencetak gol adalah pemain tajam. Di antara semua pemain Atletico, Griezmann menjadi satu-satunya pemain yang memenuhi syarat. Sejak musim 2016/17, ia selalu bertengger di puncak klasemen pencetak gol Atletico.
Berangkat dari sini, pertanyaannya bisa ditebak. Simeone menandemkan Morata dengan Griezmann karena keduanya punya kualitas yang cocok sebagai penyerang Atletico: tajam. Kalau seperti itu, apa yang membuatnya gagal di Chelsea? Toh, Maurizio Sarri adalah tipe pelatih yang ngotot agar timnya untuk bermain menyerang.
Maurizio Sarri di laga Chelsea vs Manchester United. Foto: REUTERS/David Klein
Sebagian orang mungkin masih ingat bagaimana murkanya Sarri kala timnya memainkan banyak bola lambung pada laga pekan kesembilan Premier League 2018/19. Chelsea bermain imbang 2-2 oleh Manchester United. Usai laga, Sarri meletup, “Saya tidak ingin ada bola-bola lambung lagi. Mainkan bola-bola pendek!”
ADVERTISEMENT
Morata punya julukannya sendiri: Penyerang yang tidak bisa mencetak gol dengan kaki. Julukan itu berawal dari ketajamannya untuk melakukan penyelesaian akhir dengan sundulan.
Morata bermain dalam 72 pertandingan bersama Chelsea dan mencetak 24 gol. Dari 24 gol itu, 10 di antaranya dicetak via sundulan. Tentu keunggulannya ini tak dapat keluar jika pelatihnya mengamuk saat tim memainkan bola-bola lambung.
Para pemain Atletico Madrid setelah lawan Juventus. Foto: REUTERS/Sergio Perez
Kabar baiknya, Simeone bukan tipe pelatih yang saklek dengan bola pendek, silang, atau lambung. Selama umpan-umpan itu bisa mengantarkan timnya mencetak gol dan menyegel kemenangan, ya, sikat saja.
Efek sundulan maut Morata terlihat kembali pada laga melawan Sociedad itu. Kedua gol yang dicetaknya lahir dari sundulan.
Yang pertama bermula dari tendangan sudut yang diterima Diego Godin dengan sundulan. Bola yang masih melambung lantas disambar Morata dengan sundulan. Begitu pula dengan kedua yang berawal dari sepak pojok Koke.
ADVERTISEMENT
Ketimbang disebut buruk, hubungan Sarri dan Morata rasanya lebih sesuai buat disebut manis-manis creepy. Walaupun sering tak cocok dengan sistem permainan Sarri, bukan berarti Morata tak nyambung sama sekali.
Ketimbang sebagai penyelesai akhir, Morata lebih berfungsi sebagai penghubung antarpemain. Kecepatan Morata membuatnya mampu melanjutkan umpan hanya dengan satu sentuhan. Intinya, efektif dan tidak ribet sehingga serangan dapat dibangun dengan cepat.
Para pemain Atletico Madrid merayakan gol. Foto: REUTERS/Sergio Perez
Walaupun terkenal sebagai tim yang alot dalam bertahan, bukan berarti serangan Atletico tidak mematikan. Menariknya, Atletico dan Chelsea memiliki kecenderungan yang mirip saat membangun serangan.
Mereka acap berdiri di belakang dengan tujuan memancing tim lawan untuk bergerak naik. Bila sudah seperti ini, kedisiplinan pertahanan Atletico menunjukkan kelasnya. Mereka akan mengurung lawan dengan rapat.
ADVERTISEMENT
Biasanya Griezmann akan bersiaga di sekitar lapangan tengah untuk mengantisipasi bola panjang kiriman gelandang yang bekerja padu dengan bek. Masalahny tinggal penyelesaian akhir. Persoalan Chelsea adalah mereka tidak memiliki penyerang yang klinis.
Nah, dalam proses menyambung serangan lewat bola-bola pendek itulah, permainan satu sentuhan Morata dibutuhkan. Berlama-lama memegang bola akan memberi lawan ruang dan waktu untuk menghentikan aliran bola. Serangan bisa mati di tengah jalan.
Situasi ini juga menguntungkan dalam kemelut di depan gawang lawan. Berbanyak-banyak menyentuh bola justru akan menggagalkan peluang. Maka perlu permainan cepat dan tak bertele-tele. Contohnya muncul dalam laga melawan Juventus yang berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk Atletico.
Selebrasi Alvaro Morata bersama Antoine Griezmann. Foto: REUTERS/Javier Barbancho
Gol itu diawali dengan sepak pojok yang dieksekusi oleh Thomas Lemar. Walaupun gol sundulannya pada menit 70 dianulir, Morata tak kapok untuk menyundul bola dalam kotak penalti. Kali ini bukan mengarah gawang, tapi sebagai umpan yang disambar Gimenez menjadi gol.
ADVERTISEMENT
Tugas mencetak gol memang jadi pekerjaan utama penyerang. Tapi, hanya karena itu pekerjaan utamanya, bukan berarti ia tak punya tanggung jawab lain. Bermain di lini serang berarti terlibat aktif dalam proses serangan.
Namun, proses serangan tidak sependek membuat penyelesaian akhir. Masih banyak lagi, mulai dari membuka ruang, menjemput bola, atau memberi umpan dan assist.
Kalaupun Morata mandek mencetak gol, ia masih bisa menciptakan umpan kunci atau assist lewat permainannya yang tak bertele-tele. Ia pun dapat mengeksploitasi ruang di depan gawang yang ditinggalkan para bek.
****
Simeone bukan tipe juru taktik yang saklek dengan satu cara tertentu. Sosok asal Argentina ini bukan pelatih yang menciptakan seniman, tapi pemburu di lapangan hijau. Ia juga pelatih yang jago membangun hubungan personal dengan anak-anak asuhnya--terlepas dari tingkah dan perangainya yang garang.
ADVERTISEMENT
Diego Simeone dalam konferensi pers jelang laga Atletico Madrid vs Juventus. Foto: REUTERS/Sergio Perez
Ciri khas Simeone ini bisa dimanfaatkan betul oleh Morata. Toh, ia sendiri yang bicara secara terbuka tentang masalah mental yang dihadapinya.
“Orang-orang pikir, kami ini mesin. Mereka tidak menyadari, di balik penampilan yang buruk ada masalah personal. Kamu memiliki perasaan, melakukan kesalahan, kamu itu manusia. Saya merasa tidak seperti diri sendiri sehingga fokus jadi terbelah," jelas Morata kepada Sid Lowe.
Kesulitan Morata tak cuma terjadi pada periode keduanya membela Madrid, tetap sudah dimulai sejak ia bermain untuk Juventus. Pernah suatu waktu Gianluigi Buffon mendampinginya dalam sesi bersama tim psikolog.
Entah seperti apa awalnya, Morata meledak dan menangis. Melihat kawannya itu begitu emosional, Buffon memilih pergi.
Bukan karena jengah, tapi ingin memberikan Morata ruang yang luas untuk menumpahkan segalanya pada psikolog. Buffon pikir, dengan meninggalkannya sendirian, Morata bisa lebih leluasa bercerita.
ADVERTISEMENT
Alvaro Morata dan Diego Simeone. Foto: JAVIER SORIANO / AFP
“Buffon seperti ayah untuk saya di Juventus, sosok yang selalu berkeras untuk melindungi dan menguatkan saya. Ia bilang kepada saya, jika saya ingin menangis, menangislah di rumah. Orang-orang yang ingin saya kesusahan akan senang melihat saya menangis. Dan sebaliknya, aorang-orang yang ingin saya bahagia, akan sedih."
“Di atas lapangan, lawan bisa melihat apakah kau sedang baik-baik saja atau terpuruk. Dan jika melihatmu terpuruk, mereka bisa memanfaatkanmu sebagai celah," jelas Morata.
Segala hal yang dilakukan Buffon dan setiap kata yang diucapkan Morata pada akhirnya membentuk kesimpulan bahwa sepak bola bukan olahraga yang pemaaf. Ia bisa menghukum siapa pun yang dinilai gagal dalam pertandingan, tanpa peduli potensi dan perasaan.
ADVERTISEMENT
Bila perlakuan ini datang bertubi-tubi, tak mengherankan hari-hari Morata menjadi gelap. Dan tersesat adalah ganjaran bagi banyak orang yang berjalan dalam gelap.
Maka, beruntunglah Morata masih bisa menemukan jalan pulang. Kalaupun pada akhirnya ini tidak menjadi kepulangan, setidaknya ia bisa kembali sejenak ke tempat di mana ia memulai segalanya.