Perhatikan Gervinho, Ia Belum Tamat

23 November 2018 9:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gervinho merayakan golnya ke gawang Cagliari. (Foto:  Iguana Press/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Gervinho merayakan golnya ke gawang Cagliari. (Foto: Iguana Press/Getty Images)
ADVERTISEMENT
"Saya bisa menyantap makanan Italia dan tersenyum sepanjang hari," demikian Gervinho menjelaskan seperti apa hari-harinya bersama Parma.
ADVERTISEMENT
Kejatuhan berjalan sama cepatnya dengan waktu. Parma bangkrut, pada 2015/16 mereka harus digiring turun berlaga di Serie D. Pada 2018/19, Parma menciptakan sejarah. Mereka resmi menjadi tim pertama di jagat sepak bola Italiayang sukses promosi tiga kali secara beruntun.
Serie A seketika terlihat mirip era 1990-an, kala Parma baku-hantam dengan tim-tim elit berebut juara di kompetisi tertinggi Italia. Ini bukan pengandaian atas nama romantisme dan nostalgia belaka karena Parma memang kembali ke Serie A. Sehabis gelap, terang tidak hanya terbit untuk Parma, tapi juga untuk Gervinho. Parma naik kelas ke Serie A, Gervinho pulang ke Serie A.
Hanya karena Gervinho bukan orang orang Italia, bukan berarti ia asing dengan sepak bola Serie A. Sejak 2013/14 sampai pertengahan 2015/16, ia pernah berseragam AS Roma. Bersama Serigala Ibu Kota, pemain kelahiran Anyama, Pantai Gading, ini menorehkan penampilan yang tidak kelewat buruk, yaitu 26 gol dan 20 assist dari 88 laga di seluruh kompetisi.
ADVERTISEMENT
Gervinho bersama Timnas Pantai Gading. (Foto: ISSOUF SANOGO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gervinho bersama Timnas Pantai Gading. (Foto: ISSOUF SANOGO / AFP)
Namun, pada Januari 2016, ia memutuskan untuk hengkang ke Asia, membela Hebei China Fortune di Liga Super China. Setelah dua tahun bertanding dari satu lapangan ke lapangan di China, Gervinho direkrut oleh Parma. Ia menjadi salah satu dari sedikit nama senior yang membela Parma di musimnya yang baru.
"Setiap orang berpikir bahwa saya ke China untuk pensiun dan dibayar begitu saja. Mereka pikir saya pergi ke sana untuk berlibur selama beberapa tahun. Saya mengalami cedera dan itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa Gervinho sudah tamat. Tapi, mereka salah. Setiap pekannya, kami, para pesepak bola, harus bertanding memberikan yang terbaik. Ada begitu banyak pemain asing di China sekarang. Situasi ini juga memotivasi para pemain asli China," jelas Gervinho dalam wawancara kepada Fabrizio Romano untuk The Guardian.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak akan membiarkan diri saya lenyap begitu saja di dunia sepak bola ini. Di China, setiap pemain harus selalu prima karena kami memang dituntut untuk tampil brilian. Kami menghasilkan banyak uang, gaji saya memang tinggi. Tapi, saya harus membuktikan bahwa saya memang layak buat dibayar sedemikian tinggi. Setiap laga adalah tantangan. Saya bertanding bersama dan melawan pemain-pemain yang sungguh luar biasa," kata Gervinho.
Berangkat dari segala hal yang dibicarakannya itu, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Gervinho baik-baik saja di negeri China sana. Gervinho tetap bermain sepak bola, memuaskan hasratnya untuk mencetak gol, menggiring bola, dan mengalahkan lawan. Kondisi finansialnya pun bagus dan kesehatannya terbukti tak merepotkan lagi.
Gervinho merayakan kemenangan Parma atas Torino. (Foto: Valerio Pennicino/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Gervinho merayakan kemenangan Parma atas Torino. (Foto: Valerio Pennicino/Getty Images)
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu, buat apa, sih, ia kembali ke Serie A? Ke klub macam Parma pula. Okelah kalau sejarah yang menjadi bahan pertimbangan. Tapi, bukankah kembali ke Parma dalam kondisi klub yang sekarang sama saja dengan bertaruh terlalu banyak? Apalagi, ini bukan pertaruhan yang aman.
"Semuanya bermula saat Direktur Olahraga Parma, Daniele Faggiano, menelepon saya. Setelah berbicara beberapa menit, saya paham bahwa mereka memiliki penawaran untuk saya. Faggiano adalah orang yang sangat lugas, pragmatis, dan antusias. Ia pantas untuk mendapatkan aplaus. Seketika, saya langsung jatuh cinta dengan proyek ini."
"Saat saya memberi tahu orang-orang bahwa saya akan ke Parma, mereka tidak berpikir bahwa Parma itu tim yang bagus di Serie A. Tapi, pada kenyataannya kami melakukan pekerjaan yang hebat. Terhindar dari degradasi masih menjadi tujuan kami. Hanya, kami juga tidak mau melepaskan mimpi-mimpi kami begitu saja. Mimpi-mimpi itu begitu signifikan," jelas Gervinho.
ADVERTISEMENT
Gervinho memang realistis. Parma bukannya tak kepayahan berkompetisi di Serie A 2018/19. Namun, bukan berarti kemenangan tak pernah mereka gapai sama sekali. Dua belas pertandingan dituntaskan dengan lima kemenangan, dua hasil imbang, dan lima kekalahan. Bahkan satu dari lima kemenangan itu didapat ketika berhadapan dengan Inter Milan di Giuseppe Meazza.
Bukan kemenangan ekstravaganza, cuma 1-0. Tapi, kemenangan itu didapat walau Inter tampil superior dengan memenangi 72,6% penguasaan bola dan mencatat 26 upaya tembakan. Gol kemenangan itu lahir di menit 79 berkat sepakan Federico Dimarco. Ironisnya, Dimarco adalah pemain Inter yang dipinjamkan ke Parma.
Sejak pertama kali membesut Parma pada 2016, Roberto D'Aversa paling sering bermain dalam pakem dasar: 4-3-3. Dua hal yang tampak jelas dalam formasi 4-3-3 ala Parma adalah susunan 11 pemain awalnya cenderung tetap dan mereka tidak peduli dengan penguasaan bola.
ADVERTISEMENT
Tentang ciri yang disebut terakhir, terbukti dari rataan penguasaan bola Parma yang hanya mencapai 39,6%. Angka ini adalah yang terendah di antara seluruh kontestan Serie A. Namun, hanya karena terendah, bukan berarti Parma tak berkutik. Dalam 12 laga Serie A 2018/19, mereka sudah membukukan 12 gol.
Selebrasi pemain-pemain Parma atas gol Federico Dimarco di laga melawan Inter. (Foto: Getty Images/Emilio Andreoli)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi pemain-pemain Parma atas gol Federico Dimarco di laga melawan Inter. (Foto: Getty Images/Emilio Andreoli)
Dalam formasi ini, Gervinho ada di lini depan, bersama Antonio Di Gaudio mengapit Roberto Inglese yang menjadi ujung tombak. Usia Gervinho yang sudah mencapai 31 tahun yang dibangun di atas rangkaian kisah bersama sembilan klub berbeda sejak usia muda (sebelum Parma yang sekarang) dan Timnas Pantai Gading menjadikannya sebagai pembangkit moral tim serta pencetak gol andal.
Sudah empat gol yang dicetak oleh Gervinho di Serie A. Catatan ini mengantarkannya sebagai topskorer sementara Parma. Bahkan, satu dari empat gol itu lahir dengan cara yang menakjubkan: lewat aksi solo run yang menyerupai gol legendaris George Weah untuk AC Milan pada 1996.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada satu hal pun yang saya sesali. Saya hanya ingin menikmati moment, setiap aksi di lapangan, setiap tembakan mengarah gawang. Pada akhirnya, segala sesuatu yang saya dan kalian miliki akan lenyap. Makanya, saya ingin menikmati semuanya selagi bisa. Lagipula, hidup akan menyedihkan tanpa sepak bola," ucap Gervinho kepada The Guardian.
"Saya selalu ingat cerita ini. Masa kecil saya di Pantai Gading saya habiskan dengan bermain sepak bola tanpa sepatu. Dulu, mendapatkan sepatu biasa saja susahnya minta ampun, apalagi sepatu bola. Itu barang mewah dan saya tidak mampu membelinya. Di akademi tempat saya berlatih, tak ada pemain yang memiliki sepatu."
"Namun, bermain tanpa sepatu itu menjadi semacam filosofi akademi. Inilah yang mereka tegaskan kepada kami: Saat kamu bermain tanpa sepatu, maka kamu akan belajar dengan lebih baik bagaimana caranya mengontrol bola. Saat kamu memakai sepatu, segalanya akan lebih mudah dan kamu akan menjadi pemenang. Setelah bertahun-tahun dan menempuh perjalanan panjang, pada akhirnya kami memiliki sepatu. Sukacita setelah bersusah payah, walaupun kami tidak pernah tidak tersenyum. Hal ini tidak mungkin saya lupakan, selalu saya pegang erat," jelas mantan pemain Arsenal ini.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sepak bola Italia dan Eropa saat ini, Gervinho memang bukan lagi pemain bintang. Namanya kalah tenar dibandingkan para pesohor lapangan hijau lainnya. Tak perlu jauh-jauh, di Italia saja sudah ada nama sebesar Cristiano Ronaldo, semenjanjikan Lorenzo Insigne ataupun seawet Edin Dzeko. Apalagi, cedera pernah menghajar Gervinho dan ia kini bermain untuk klub promosi.
Gervinho adalah enigma. Keputusannya yang bagi sebagian besar orang kelewat nekat itu melahirkan tanda tanya besar. Keputusan yang akan membuat perbincangan tentangnya hanya beralih dari satu keraguan ke keraguan lain. "Memangnya Parma bakal bertahan sampai sejauh apa?", "Bisa apa, sih, Gervinho ini?", "Memangnya gaji di Parma besar, sampai ia mau ke sana?", dan sebutkanlah yang lain.
ADVERTISEMENT
Tapi, apa pun jawabannya, Gervinho sudah mengambil keputusan. Ia sudah turun lapangan, mengusahakan kemenangan, dan menanggung kekalahan. Barangkali keputusannya memang tak masuk akal, tapi lewat langkah yang tak logis itulah Gervinho membuktikan bahwa ia belum tamat. Bahwa ia diciptakan bukan untuk ditaklukkan.