Periode Muram Jerman yang Membuka Mata Loew

19 November 2018 1:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Leroy Sane (kanan) merayakan gol Timnas Jerman ke gawang Rusia. (Foto: Odd Andersen/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Leroy Sane (kanan) merayakan gol Timnas Jerman ke gawang Rusia. (Foto: Odd Andersen/AFP)
ADVERTISEMENT
Timnas Jerman dan petaka adalah dua hal yang saling bertemu pada 2018. Perpaduan di antara keduanya menghadirkan periode muram, sekaligus membuka mata sang pelatih, Joachim Loew, akan pentingnya regenerasi.
ADVERTISEMENT
Jerman memulai tahun 2018 dengan percaya diri. Status mereka di awal tahun, meski gagal di Piala Eropa 2016, adalah sebagai juara dunia. Skuat yang mereka bawa ke Piala Dunia 2018 pun adalah skuat yang pernah merasakan trofi juara pada 2014 di Brasil. Dengan kekuatan seperti ini, Jerman datang ke Rusia sambil memanggul harapan mempertahankan gelar juara.
Namun, siapa pula yang menyangka bahwa lawan-lawan mereka di fase grup bertransformasi menjadi tim yang kuat? Hanya menang sekali atas Swedia, Jerman takluk di tangan dua tim lain, Korea Selatan dan Meksiko. Akibatnya, mereka gagal menembus fase gugur. Hasil ini menjadi torehan terburuk yang mereka dapat di Piala Dunia dalam 80 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018 membekas saat mereka menjejak di UEFA Nations League 2018. Tergabung di Grup 1 Liga A, Jerman gagal bersaing dengan Belanda dan Prancis. Dari tiga laga yang sudah dijalani, mereka hanya sanggup meraih satu hasil imbang dan dua kekalahan. Akibatnya, Jerman harus terdegradasi ke Liga B.
Dengan segala kemuraman yang didapat Jerman, Loew menyadari bahwa reformasi perlu dilakukan. Reformasi itu, dalam benaknya, hadir dalam bentuk kesempatan kepada para pemain muda untuk mendapatkan pengalaman main bersama Timnas senior di level internasional.
"Semuanya terasa menyedihkan karena kami tidak lagi berada di Liga A (UEFA Nations League). Namun, kami harus menerima kenyataan dan mengalihkan fokus. Sekarang, kami harus mempersiapkan diri untuk ikut di babak kualifikasi dan masuk putaran final Piala Eropa 2020, kompetisi di mana kami akan mengirimkan tim terbaik," ujar Loew dilansir ESPN FC.
ADVERTISEMENT
Loew akui Jerman tak pantas lolos. (Foto: REUTERS/Michael Dalder)
zoom-in-whitePerbesar
Loew akui Jerman tak pantas lolos. (Foto: REUTERS/Michael Dalder)
"Dengan fokus baru ini, kami juga akan melakukan sesuatu yang baru pula. Kami akan memberikan para pemain jam terbang yang lebih banyak sehingga mereka terbiasa dengan atmosfer sepak bola internasional. Tak lupa, kami ingin menutup 2018 dengan penampilan apik di Gelsenkirchen nanti (lawan Belanda)," tambahnya.
Di Grup 1 Liga A UEFA Nations League, Jerman masih memiliki laga sisa melawan Belanda. Jika bagi Belanda laga ini penting untuk menyegel tiket semifinal, maka pertandingan ini tak ubahnya hiburan semata bagi Jerman. Mereka hanya ingin menutup tahun 2018 yang kelabu dengan kemenangan.
Untuk ukuran tim seperti Jerman, empat kemenangan, dua hasil imbang, dan enam kekalahan di 12 laga internasional pada 2018 tergolong buruk. Apalagi, mereka memulai tahun dengan status sebagai juara dunia. Namun, menurut Loew, titik nadir adalah perkasa biasa bagi tim yang pernah berada di atas.
ADVERTISEMENT
Baginya, pekerjaan Jerman sekarang adalah bangkit kembali dari titik nadir. Loew pun menekankan bahwa periode kelam ini akan segera menjadi masa lalu buat Jerman. Dengan para pemain muda yang muncul, dia berharap tahun-tahun berikutnya akan jadi lebih baik lagi bagi Jerman.
Para pemain Jerman meryakan gol Niklas Sule ke gawang Rusia. (Foto: REUTERS/Matthias Rietschel)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Jerman meryakan gol Niklas Sule ke gawang Rusia. (Foto: REUTERS/Matthias Rietschel)
"Selama satu dekade, kami merangkak naik menuju puncak. Sekarang, kami sedang menuju sebuah fase baru. Kami sedang ada di titik di mana perombakan total mesti kami lakukan. Kami harus memulai kembali dari bawah, memperbarui segala sesuatunya, dan bangkit," ungkap sosok yang mulai melatih Jerman sejak 2006 tersebut.
"Namun, jika Anda berpikir bahwa sebuah tim bisa terus berada di atas selama 20 tahun berturut-turut, apalagi sepak bola internasional, maka Anda tidak mengerti sepak bola. Sama halnya dengan hidup, kadang Anda harus kembali memulai dari bawah. Jujur, kami sudah terlalu lama berada di atas sehingga kami lupa (rasanya di bawah)," pungkasnya.
ADVERTISEMENT