Piala Dunia 1950: Di Maracana, Brasil Memeram Luka

4 Mei 2018 20:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jules Rimet dan Obdulio Varela. (Foto: STAFF / INTERCONTINENTALE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jules Rimet dan Obdulio Varela. (Foto: STAFF / INTERCONTINENTALE / AFP)
ADVERTISEMENT
199.584 orang yang datang ke laga final Piala Dunia 1950 berarti perayaan atas berakhirnya perang yang meluluhlantakkan hampir separuh dunia.
ADVERTISEMENT
Ratusan ribu orang di final Piala Dunia itu menghadirkan sebuah rekor: Jumlah penonton paling banyak pada sebuah pertandingan Piala Dunia. Namun, final itu kelak dikenal dengan cerita yang berbeda.
Orang-orang ingin bergembira, beria-ria setelah bertahun-tahun diremukkan ambisi bengis para penguasa. Maracana adalah simbol keberadaan surga, bahkan untuk mereka yang mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Ia menjadi nirwana bagi kaki-kaki ringkih yang dibesarkan dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Selalu ada tempat bagi orang-orang yang tak masuk hitungan.
Brasil katanya sedang arogan, tapi bagaimana bila mereka hanya ingin dianggap ada oleh dunia?
Inggris akhirnya ikut bertanding di Piala Dunia. Ini menjadi kali pertama bagi mereka bertarung berebut takhta puncak di lapangan bola. Namun, kemenangan tipis 1-0 sudah cukup untuk Amerika Serikat. Kekalahan ini menjadi awal dari cerita kelam Inggris yang tak kunjung ada obatnya.
ADVERTISEMENT
Italia yang perkasa itu datang ke turnamen dengan takut dan kalut. Mereka tak mau menumpang pesawat karena dihantui Tragedi Superga. Akhirnya, Azzurri berlayar sampai ke Brasil.
Cerita tentang India menjadi selipan muram dalam pesta-pora di tanah Brasil. Mereka batal berkompetisi karena tak diperbolehkan FIFA untuk bertanding dengan kaki telanjang.
Brasil dan Uruguay mencapai final. Kata melenggang boleh disematkan pada Brasil. Hingga final, mereka tak kalah sekalipun. Pertandingan tersulit adalah saat melawan Swiss di fase grup. Laga itu ditutup dengan skor imbang 2-2.
Namun, sebelum dan setelahnya, pesepak bola Brasil berpesta di atas lapangan. Dunia tahu sesemarak apa tarian Samba di atas lapangan bola.
Brasil adalah kiblat bagi sepak bola indah. Menang itu harus, tapi tak pernah cukup. Sepak bola harus indah. Di atas lapangan, mereka tak sekadar menggocek bola, tapi mempermalukan lawan.
ADVERTISEMENT
Jika kultur Brasil memang menyukai pesta, sukacita, dan karnaval, maka para pebola tadi memenuhi kebutuhan orang Brasil akan hal-hal ekstravaganza lewat aksi sirkus dan kemenangan fantastis.
Pesta sudah dirancang sedapat-dapat sejak jauh-jauh hari. Siapa pun yang ikut berlaga dalam skuat Timnas Brasil dianugerahi gelang emas bertuliskan ‘Untuk Juara Dunia’.
Media-media sudah sibuk sehari jelang laga. Mempersiapkan berita dengan tajuk tentang kemenangan Brasil. Pikir mereka, tak mungkin Brasil tak punya tempat di rumahnya sendiri.
Uruguay datang dengan status tim yang terabaikan. Menjadi yang terabaikan tak pernah menyenangkan. Intimidasi didapat dari perlakuan orang-orang terhadap mereka yang kerap dijagokan. Uruguay bukan tim yang payah. Gelar juara Piala Dunia pertama tahun 1930 ada dalam darah mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, di tanah Brasil mereka tak dapat tempat. Itulah sebabnya mereka tak mau berhenti menjejalkan diri mencari ruang bernaung lewat kemenangan-kemenangan tak seberapa.
Satu-satunya kemenangan mewah yang diberikan anak-anak didik Juan Lopez Fontana adalah saat melawan Bolivia di pertandingan pertama fase grup. Kemenangan 8-0 disegel di hari perdana.
Setelahnya, berkat dua kemenangan tipis dan satu hasil imbang, Uruguay tetap bertahan di Piala Dunia lewat sepak bola yang tak cantik. Mereka bertahan karena memegang teguh paham garra charrua. Bekerja keras dari awal sampai akhir laga.
Jangankan menang melawan Brasil, untuk mengalahkan Swedia pun Uruguay harus bertungkus-lumus. Laga itu memang berakhir dengan kemenanagn 3-2 untuk Uruguay. Namun, pertandingan berjalan dengan keunggulan 2-1 milik Swedia sampai separuh babak kedua. Beruntung, Uruguay berhasil membalikkan keadaan lewat dwigol Oscar Omar Miguez di menit 77 dan 85.
ADVERTISEMENT
Kemenangan atas Swedia di babak semifinal mengantarkan Uruguay ke gua singa. Brasil menanti setelah mengalahkan Spanyol dengan skor 6-1. Seantero Brasil sudah bersorak. Kemenangan yang seharusnya masih diandai-andai sudah jadi kenyataan untuk mereka.
Namun, Uruguay bukan lawan yang kepalang mudah untuk Brasil. Tujuh belas upaya yang mereka lesakkan berakhir nirbobol di babak pertama. Lima di antaranya berasal dari Ademir. Alcides Ghiggia berhasil merepotkan gempuran serangan Brasil dari sebelah kanan.
Di tengah-tengah dominasi Brasil, justru peluang terbaik jatuh ke kaki Uruguay. Delapan menit sebelum jeda sepakan keras Miguez membentur gawang.
Schfianno cetak gol pertama Uruguay vs Brasil. (Foto: STAFF / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Schfianno cetak gol pertama Uruguay vs Brasil. (Foto: STAFF / AFP)
Dua menit setelah turun minum Brasil berhasil mencetak angka pertamanya. Zizinho berhasil melepaskan diri dari kepungan lawan. Ia berpenetrasi hingga menyentuh kotak penalti dan memenangi tendangan sudut.
ADVERTISEMENT
Sepakan dari tepi itu disambut oleh Friaca. Seketika, Maracana bergemuruh. Teriakan yang riuhnya minta ampun dan permainan kembang api seolah menjadi peneguh bahwa hari ini memang harinya Selecao.
Kapten Uruguay, Obdulio Varela, tahu apa yang dibutuhkan timnya: dua gol. Lantas, di tengah-tengah riuhnya terikan kemenangan prematur itu ia berkata kepada rekan setimnya, Rodriguez Andrade, “Biarkan mereka berteriak. Dalam lima menit kita akan melihat seisi stadion seperti kuburan. Dan saat itu hanya akan ada satu suara yang terdengar. Suara saya!”
Di menit 63, pemain Brasil, Jair, melepaskan tembakan ke arah gawang. Ini menjadi serangan terakhir Brasil di Piala Dunia 1950. Menyaksikan anak-anak asuhnya menekan dan memimpin laga, Flavio Costa memerintahkan anak-anak asuhnya untuk sedikit bermain terbuka. Tujuannya, memancing Uruguay dan menciptakan serangan balik.
ADVERTISEMENT
Namun, Uruguay punya Varela. Dan sang kapten tak ingin kapalnya karam. Pada menit 66, ia melepaskan umpan dari area kanan untuk Ghiggia. Pemain bertahan Brasil, Bigode, terpancing. Ia malah memberi celah untuk gerak liar Ghiggia.Bola tadi dilepaskan Ghiggia kepada Schfianno dan berbuah menjadi gol penyama kedudukan.
Maracana terhentak, tapi riuhnya belum padam. Petaka kembali hadir dalam wujud yang paling mengerikan di menit 79.
Ghiggia menjadi bengis dan tak terkendali. Lagi-lagi ia mempermainkan Bigode. Lawannya ini kepalang bingung. Ia ragu untuk menutup Ghiggia atau tidak. Sebabnya, ia tahu Schfianno sedang berlari ke tengah kotak penalti.
Alih-alih mengumpan, Ghiggia malah melepaskan tembakan rendah ke arah tiang dekat. Bola melayang ke pojok kanan bawah. Moacir Barbosa tak mampu menepis, gawang yang dikawalnya kembali mendulang duka.
ADVERTISEMENT
Maracana terdiam. Ucapan Varale adalah nubuat yang menjadi kenyataan. Setelahnya, Brasil tak mampu mengejar ketertinggalan. Di Maracana Brasil menangis, di Maracana Uruguay berpesta. Maracanazo.
Seperti biasa, Jules Rimet yang bertugas menyerahkan trofi juara kepada pemenang. Ia memindahkan trofi juara ke tangan Varale sambil memeram luka. Naskah pidato ucapan selamat untuk kemenangan Brasil tetap bersembunyi di dalam sakunya.