Piala Dunia 1990: Kartu Kuning, Tangisan, dan Kepahlawanan Gascoigne

18 Mei 2018 16:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gascoigne di laga Inggris vs Belgia. (Foto: STAFF/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gascoigne di laga Inggris vs Belgia. (Foto: STAFF/AFP)
ADVERTISEMENT
Bila kepahlawanan bisa datang dalam banyak wujud, maka di Piala Dunia 1990, ia muncul dalam rupa tangisan Paul Gascoigne.
ADVERTISEMENT
Alih-alih melenggang, Timnas Inggris tertatih sejak babak grup. Benar mereka lolos ke babak knock out sebagai juara grup F. Namun, dari tiga pertandingan yang dilakoni, hanya satu laga yang berakhir dengan kemenangan. Sementara, dua pertandingan berakhir seri.
Belgia menjadi lawan Inggris di babak knock out. Serupa pertandingan-pertandingan di fase grup, laga knock out ini juga menjadi kesulitan tersendiri bagi Inggris.
The Three Lions diselamatkan oleh gol brilian David Platt di menit…. 119. Apa boleh buat, pertandingan berlanjut ke babak tambahan karena skor bertahan 0-0 sampai waktu normal berakhir.
Di babak perempat final, Kamerun sudah menanti. Kala itu Kamerun bukan tim yang bisa dianggap remeh. Sebabnya, mereka berhasil menaklukkan Argentina di laga sebelumnya. Kamerun bermain spartan. Gempuran demi gempuran Kamerun menyulitkan Inggris. Pertandingan pun berakhir dengan skor 2-2 di waktu normal.
ADVERTISEMENT
Di babak tambahan, Gascoigne menunjukkan kegeniusannya. Ia mengirim umpan cantik kepada yang berhasil ditangkap Lineker, yang kemudian dijatuhkan oleh pemain Kamerun di dalam kotak penalti. Gol penalti tadi meloloskan Inggris ke babak semifinal.
Sebenarnya, usia Gascoigne tak muda-muda amat waktu ia berlaga bersama Timnas di Piala Dunia. Pada Juli 1990, ia sudah berumur 23 tahun. Sebelum menjadi pilihan utama di Piala Dunia 1990, Gascoigne hanya sekali bertanding bersama Timnas Inggris, tepatnya di laga persahabatan melawan Republik Ceko pada April 1990.
Menyoal umpan tadi, Lineker pernah memberikan pengakuan yang unik. Katanya, Gascoigne bukan tipe pemain yang gemar mengirimkan umpan. Bila kondisinya masih prima, Gazza lebih suka menggiring bola sendirian. Kalau ia memang memutuskan langsung mengumpan, maka artinya ia sudah kelelahan berlari.
ADVERTISEMENT
Di babak semifinal, Inggris bertemu dengan Jerman Barat. Bobby Robson menjelaskan, anak-anak asuhnya memasuki laga ini dengan santai. Bahkan, Gazza sempat bermain tenis meja dengan orang Amerika yang menginap di hotel yang sama dengan Timnas Inggris.
Lineker lebih edan lagi. Ia memasang taruhan konyol menjelang laga tersebut. Sebelum pelatihnya datang, Lineker bertaruh, Robson pasti akan mengungkit soal Perang Dunia II (Jerman dan Hitler) dalam team-talk.
Lineker tak asal bertaruh, Robson benar-benar mengungkit perang tadi saat team talk. Alih-alih terbakar semangat, seluruh tim malah tertawa saat Robson mulai meracau soal perang.
Serupa laga sebelumnya, babak semifinal itu bukan pertandingan yang mudah bagi Inggris. Di menit 60, mereka tertinggal 0-1 berkat gol Andreas Brehme.
ADVERTISEMENT
Beruntung, Gary Lineker yang pada perhelatan Piala Dunia 1986 menjadi pencetak gol terbanyak berhasil menyamakan kedudukan pada menit ke-80. Pertandingan pun dilanjutkan pada babak tambahan.
Gascoigne tidak memasuki laga ini dengan tangan hampa. Ia menenteng-nenteng ancaman larangan bertanding di babak final. Sebabnya, di fase perempat final, ia sudah dihadiahi wasit kartu kuning.
Timnas Inggris di kualifikasi Piala Dunia 1998. (Foto: BORIS HORVAT / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Inggris di kualifikasi Piala Dunia 1998. (Foto: BORIS HORVAT / AFP)
Karena skor bertahan 1-1 hingga waktu normal berakhir, pertandingan berlanjut ke babak tambahan. Tepat di menit 99, Gascoigne melanggar pemain Jerman, Thomas Berthold. Saking kerasnya pelanggaran tersebut, wasit asal Brasil Jose Roberto Wright, menghukumnya dengan kartu kuning.
Bagi Gascoigne, kartu kuning ini tak sekadar formalitas pertandingan sepak bola. Kartu yang lazimnya berukuran 12x6 cm itu ibarat kunci yang menutup rapat-rapat kesempatannya untuk berlaga di partai final bila Inggris memang berhasil mengalahkan Jerman.
ADVERTISEMENT
“Saya berdiri tegak dan melihat wasit. Ia berlari ke arah saya sambil mengambil merogoh sakunya. Seketika, saya tidak bisa mendengar apa pun. Rasanya, saya seperti terpisah dengan dunia, ada tembok hitam pekat yang mengurung saya dalam sekejap.”
“Saya melihat ke kerumunan penonton, saya melihat ke arah Lineker. Dan seketika, saya tidak menginginkan apa pun selain dibiarkan sendiri.”
“Saya tidak ingin melihat dan berbicara dengan siapa pun. Saya benar-benar kecewa,” seperti itu Gascoigne mengungkapkan pengalaman kartu kuning tadi dalam bukunya yang berjudul 'Glorious: My World, Football and Me'.
Tangis Gascoigne tak pecah seketika. Saat kedua tim sedang bersiap memasuki babak adu penalti, Robson berbicara pada Gascoigne. Dan saat itulah, kamera menangkap Gascoigne menangis sambil meneguk minuman yang sudah dipersiapkan oleh timnya.
ADVERTISEMENT
Tangisan Gascoigne waktu itu melahirkan dua persepsi. Yang pertama, sebagai reaksi anak muda yang tak siap dengan kekalahan. Yang kedua, tangisan seorang pesepak bola yang sebegitu inginnya membela negaranya di arena Piala Dunia.
Reaksi Gascoigne di laga semifinal itu seperti mengingatkan kembali serapuh apa pribadi Gascoigne. Dari luar, ia memang kerap tampil sebagai sosok bengal nan konyol. Gesturenya urakan, tingkahnya liar. Namun, selain sepak bola, trauma mengambil porsi yang besar dalam kehidupan Gascoigne.
Sekarib hubungan Gazza -demikian Gascoigne biasa dipanggil- dengan sepak bola, sekarib itu pulalah ironi dalam kehidupannya. Pada usia 10 tahun, Gazza bergabung dengan klub anak-anak lokal, Gateshead Boy.
Di sana, ia bertemu dengan Keith Spraggon, anak yang setelahnya dikenal sebagai sahabatnya. Keith dan Gazza ibarat keluarga. Orangtua Keith pun menganggap Gazza sebagai anaknya.
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, ia dimintai bantuan untuk menjaga adik Keith, Steven. Entah bagaimana ceritanya, Gazza dan Steven beradu lari menuju toko di lingkungan rumahnya.
Keduanya tak sadar, ada mobil yang melaju kencang dan langsung menghantam Steven. Ia sekarat seketika. Gazza sempat mengangkatnya sebelum akhirnya Steven meninggal.
Dimulailah periode kelam dalam hidup Gazza. Ia menyalahkan diri sendiri akibat kecelakaan tersebut. Keadaan semakin buruk karena orang tua Steven meninggal akibat kanker. Katanya, kanker itu bertambah parah karena memikirkan kematian Steven.
Akibat momen tersebut, Gazza mendapatkan sindrom twitches. Ia berulang kali mengucapkan satu kata yang pernah diucapkannya.
Setelah Piala Dunia 1990 itu pun, Gascoigne kembali menuai trauma. Tahun 1992, ia hengkang ke Italia dan menetap bersama Lazio. Kali ini, menyalahkan diri sendiri akan kematian sepupunya.
ADVERTISEMENT
Cerita ini bermula dari pendapat Gazza yang menegaskan bahwa penderita asma tetap bisa bermain sepak bola, dimuat di media.
Sepupu Gazza itu lantas bertanya kepadanya, apakah ia tetap boleh bermain bola atau tidak. Gazza lantas mengizinkannya. Dua jam setelah pembicaraan melalui sambungan telepon tersebut, sepupunya itu meninggal.
Yang ada di benak Gazza, kalau saja dia tidak menyemangati sepupunya yang penderita asma itu untuk tetap bermain sepak bola, mungkin sepupunya itu masih hidup. Berpangkal dari momen itu, Gazza mulai terserang insomnia dan menjadi pecandu minuman keras.
Yang luluh-lantak akibat kartu kuning tadi tak hanya Gascoigne, tapi juga pelatihnya. “Rasanya, jantung saya waktu itu jatuh hingga menghantam sepatu. Karena, saat itu pula saya sadar, itu menjadi akhir bagi Gascoigne di Piala Dunia. Ia harus angkat kaki dari area.”
ADVERTISEMENT
“Kartu kuning itu bukan sekadar aturan pertandingan, tapi tragedi, buatnya, buat saya, tim, negara, seluruh ranah sepak bola. Sebabnya, ia pemain yang andal, dan penampilannya benar-benar mengesankan.”
“Semakin besar satu pertandingan, maka ia akan semakin hebat. Gascoigne adalah sosok langka. Ia tak pernah tenggelam dalam pertandingan, sebesar apa pun itu,”
Di momen tersebut, Lineker langsung berlari ke arah Robson. Ia meminta Robson untuk mengawasi dan menjaga Gascoigne. Yang ingin dipastikan Lineker, ia tak Gascoigne mengamuk di momen-momen seperti ini. Lineker tak berlebihan, karena Gascoigne memang dikenal sebagai sosok yang meledak-ledak.
"Saya sendiri awalnya tidak sadar bahwa momen Gascoigne menangis itu tertangkap kamera dan menjadi pembicaraan hebat. Sebenarnya, sesaat setelah kartu kuning itu diberikan untuknya, ia belum menangis. Namun, saya sudah melihat bibir bawahnya mulai bergetar. Saat itulah saya meminta Bobby (Robson) untuk berbicara kepadanya."
ADVERTISEMENT
Paul Gascoigne dalam kostum Santa Claus (Foto: Twitter @OldFootball11)
zoom-in-whitePerbesar
Paul Gascoigne dalam kostum Santa Claus (Foto: Twitter @OldFootball11)
"Saya pikir, tangisan itu mengangkat Gazza, dari pesepak bola hebat menjadi sosok yang begitu memukau di seantero negeri, kepribadian yang hebat. Momen itu menjadi waktu saat satu negara menangis dengan seorang pesepak bola Inggris," seperti itu Lineker menggambarkan 'efek' tangisan Gascoigne.
Salah satu spekulasi yang muncul terkait kartu kuning Gascoigne adalah kontroversi. Robson pada dasarnya percaya bahwa, saat itu, Jerman menekan wasit. Namun, dalam satu wawancaranya untuk The Guardian, Wright membantah dengan keras.
"Dengar, tidak ada kontroversi," tegas Wright. “Anak itu menekel lawan dari belakang. Ia bisa saja diusir dari lapangan karena tindakannya itu. Bukan urusan saya jika Gascoigne sudah memiliki kartu kuning."
"Pekerjaan saya adalah menerapkan aturan pertandingan. Dia mencoba berdebat dengan saya dan meminta maaf, tetapi saya memberi tahu dia dalam bahasa Inggris bahwa itu adalah pelanggaran. Lalu, saya melanjutkan permainan. ”
ADVERTISEMENT
"Saya tidak melihat dia menangis waktu itu. Saya baru menyadarinya waktu membaca sejumlah berita tentang pertandingan itu. Beberapa tahun kemudian, saya membaca bahwa tangisan Gascoigne di laga tersebut ibarat percikan air bagi sepak bola Inggris. Ia menyegarkan cinta orang-orang Inggris terhadap olahraga ini," ungkap Wright.
Seharusnya, Gascoigne juga ikut ambil bagian dalam babak adu penalti. Namun, ia berkata kepada pelatihnya bahwa ia tidak siap. Saat bersiap memasuki babak penalti, Robson berusaha menghibur dan menenangkan Gascoigne.
Ia bilang kepadanya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya bakal baik-baik saja karena Gascoigne sudah tampil sebagai pemain terhebat di sepanjang turnamen.
Namun akhirnya, tempat Gascoigne digantikan oleh Chris Waddle. Ironisnya, Waddle menjadi satu dari dua pemain Inggris yang gagal mengeksekusi penalti. Apa boleh buat, babak adu penalti itu pun berakhir dengan skor 5-3 bagi keunggulan Jerman. Inggris tersingkir dari pertarungan di Italia.
ADVERTISEMENT
Wayne Rooney baru berusia lima tahun saat Inggris berlaga di Piala Dunia 1990. Segala hal tentang Gascoigne di turnamen tersebut hanya bisa didengarnya dari cerita orang-orang dan tayangan ulang. Namun, cerita dan tayangan ulang sudah cukup bagi Rooney untuk menaruh hormat pada Gascoigne."
"Anda tidak bakal menangis di lapangan ketika Anda tidak peduli tentang betapa pentingnya bermain untuk negara. Tangisan itu benar-benar hebat," tutur Rooney.
"Jika saya berceita tentang Paul Gascoigne kepada anak-anak saya, maka saya akan menyebutnya sebagai pemain Inggris paling bergairah yang pernah saya lihat. Dia adalah yang terbaik. Gascoigne adalah the special one."
Dalam perjalanan pulang, di dalam pesawat, Lineker mengingatkan Gazza untuk memperhatikan baik-baik dan membuka mata selebar-lebarnya, begitu mereka sampai di Inggris. Ketidakmengertian Gazza akan perkataan Lineker itu terjawab begitu mereka keluar dari pesawat.
ADVERTISEMENT
Gazza disambut bagai pahlawan oleh ratusan ribu orang Inggris. Nama besar menjadi bagiannya. Seonar apa pun tingkahnya, Gazza tetap mendapat tempat di sepak bola Inggris, walau kita tahu, cerita suram Gazza tak kunjung berakhir.