Piala Dunia 1990: Voeller Diludahi Rijkaard, Jerman Juara Kemudian

22 Mei 2018 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rudi Voeller di laga vs Italia (Foto: OMAR TORRES / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rudi Voeller di laga vs Italia (Foto: OMAR TORRES / AFP)
ADVERTISEMENT
Karena Jerman memulai tradisi sepak bolanya dari barak-barak tentara, maka Belanda meladeninya dengan mengibarkan bendera perang di atas lapangan bola.
ADVERTISEMENT
Ungkapan-ungkapan heroik yang menyaru dalam permainan olah kaki menjadikan cerita sepak bola sebagai narasi yang berkisah tentang perjuangan mewakili ideologi tertentu atau pertarungan untuk mempertahankan nilai yang dianggap paling berharga. Contoh kasusnya terjadi pada rivalitas Jerman dan Belanda.
Ambisi tak masuk akal Adolf Hitler untuk menguasai dunia ikut menyeret Belanda sebagai korban dan bulan-bulanan. Belanda diberangus tuntas dalam pertempuran udara bernama The Battle of Netherland pada September 1939. Itu belum termasuk dengan pendudukan pasukan Schutzstaffel (SS) milik NAZI di Belanda pada tahun 1940-an.
Perang memang sudah berakhir, tapi sentimennya belum juga usai, malahan merambat ke ranah sepak bola. Pada pertandingan final Piala Dunia 1974, misalnya. Sejumlah suporter Belanda menonton di stadion dengan mengenakan kaus bertuliskan 'I Want My Bicycle Back'. NAZI di era kekuasaannya merampas apa saja yang menjadi milik orang-orang Belanda, termasuk sepeda.
ADVERTISEMENT
Mereka membawa lara sejarah ke dalam pertandingan sepak bola. Tak bisa disebut gelagat yang berlebihan. Sebabnya, kebengisan NAZI memang meninggalkan trauma turun-temurun.
Piala Dunia 1990 lantas menjadi arena lain bagi rivalitas kedua kubu. Belanda yang dilatih Leo Beenhakker bertemu dengan Jerman yang diasuh oleh Franz Beckenbauer di babak 16 besar. Di laga itu, Beckenbauer mengandalkan Rudi Voeller dan Juergen Klinsmann sebagai ujung tombak serangan. Ketajaman keduanya diuji oleh adangan Frank Rijkaard.
"Pertandingan sudah berlangsung panas sejak awal. Ya, kalian semua tahu, selalu ada sentimen antara pemain Belanda dan Jerman," seperti itu pendapat Voeller mengenai laga tadi.
Anggaplah emosi Rijkaard terpancing oleh sengitnya laga, amarahnya terdorong oleh sentimen masa lampau. Tak cuma melanggar, ia meludahi Voeller yang dalam laga itu memang bergerak gesit. Voeller jelas tidak terima. Ia melayangkan protes ke wasit.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ini bukan hanya masalah pelanggaran. Ia menilai Rijkaard mengintimidasi dengan cara meludahinya. Alih-alih mendengar dan memberikan pembelaan, wasit yang memimpin laga itu justru menghadiahinya dengan kartu kuning.
Beberapa menit setelahnya, Andreas Brehme mengeksekusi tendangan bebas untuk Jerman. Melihat kawannya sedang bersiaga, Voeller berlari ke depan hingga mencapai kotak penalti. Ia bermaksud mengejar bola yang dikirimkan oleh Brehme.
Namun, kiper Belanda saat itu, Hans van Breukelen, lebih dulu menangkap bola. Demi menghindari tabrakan, Voeller melompat dan akibatnya, ia terjatuh di dalam kotak penalti, tepat di depan gawang. Rijkaard yang saat itu memang mengawal Voeller tak terima. Ia menuduh buruannya itu melakukan diving.
Perselisihan terjadi di depan gawang. Rijkaard bahkan terlihat seperti sedang menjewer telinga Voeller. Perselisihan makin sengit karena Van Breukelen ikut marah-marah dan memperburuk keadaan. Dianggap sebagai biang kerok, wasit menghukum Voeller dan Rijkaard dengan kartu merah.
ADVERTISEMENT
Lantas, saat kedua tim bersiap memulai pertandingan dan Voeller berjalan meninggalkan lapangan, Rijkaard kembali meludahi rambut lawannya itu. Apa boleh buat, keputusan wasit berbuah penghinaan. Voeller meninggalkan lapangan dengan memeram amarah, Rijkaard menyudahi pertandingan dengan permusuhan yang belum selesai.
"Apa yang dilakukan Frank Rijkaard itu jelas tidak baik, tapi pertandingan memang tetap harus dilanjutkan. Sebenarnya, saya juga tidak mengerti mengapa wasit malah menghukum saya. Ini menjadi pertanyaan yang saya bawa sampai liang kubur," ujar Voeller menyoal kejadian itu.
Rijkaard tak berhenti berulah. Saat berjalan memasuki ruang ganti, ia melakukan aksi yang sama kepada Voeller. Beruntung, Voeller dapat menahan diri. Bentrokan tak terjadi di lorong stadion, Voeller memasuki ruang ganti tanpa membalas.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan setelah insiden tadi, Rijkaard meminta maaf secara terbuka kepada Voeller. Katanya, ia memang sedang tak waras di sepanjang laga. Tekanan datang bertubi-tubi kepadanya. Bukan hanya tentang beban pertandingan, tapi juga karena sedang menghadapi proses perceraian dengan istrinya.
Fragmen konyol kadang menjadi ciri khas sepak bola. Bertahun-tahun setelah permaafan itu, keduanya kembali bertemu. Bukan dalam pertandingan, tapi di proyek iklan mentega keluaran Belanda. Keduanya didapuk sebagai bintang iklan. Konon, mentega itu menggunakan tagline, 'Everything in Butter (juga digunakan sebagai pelesetan untuk better) Again.'
Permusuhan negara yang mewujud dalam laku kurang ajar Rijkaard lantas menjadi bumbu abadi dalam setiap narasi yang menceritakan Piala Dunia 1990. Keberadaannya mengungkit-ungkit kembali dendam sejarah yang menurut Simon Kuper, sudah basi. Kata Kuper, orang-orang melebih-lebihkan cerita perang sebagai penghangat cerita persaingan Jerman dan Belanda dalam dunia sepak bola.
ADVERTISEMENT
Kuper memang tak menampik bahwa sepak bola Jerman dan Belanda bersaing ketat. Mereka kerap panas bila menyangkut urusan merebut gelar juara, terlebih kalau terlibat dalam sebuah pertandingan yang sama. Namun, rivalitas Belanda dan Jerman di lapangan bola bukan tentang perang melulu.
Bila berbicara soal persaingan keduanya dewasa ini, cerita perang memang beberapa kali diangkat. Tapi, ia cuma penghangat, tanpa pernah menjadi narasi utama.
Selepas Perang Dunia, Jerman melembut. Alih-alih sibuk menciptakan kapal selam, mereka lebih suka membikin mobil serupa katak raksasa. Daripada memamerkan wajah sangar dan gemeretak gigi, mereka memilih untuk membuka pintu lebar-lebar bagi para pengungsi.
Jerman tak lagi berminat dalam perang. Bukan karena negara mereka kekurangan kesatria, tapi karena kini para prajurit terbaiknya ada di lapangan hijau. Di ranah inilah Jerman menggentarkan dunia.
ADVERTISEMENT
Entah kebetulan atau tidak, tapi Jerman tampil sebagai negara yang membawa semangat medan tempur dalam setiap pertandingan sepak bolanya. Perhatikanlah siapa-siapa yang diserahi tugas sebagai kapten di setiap gelaran turnamen akbar -mulai dari Franz Beckenbauer, Lotthar Matthaus, Oliver Kahn, Michael Ballack, hingga Philipp Lahm.
Di gelaran Piala Dunia 1990, sebagian besar suporter Belanda bahkan menyamakan Matthaus dengan Hitler. Bukan karena kemiripan paras, tapi meditasi tentang kegarangan dan semangat tempur dalam pertandingan yang memantik ingatan.
Senapan dan granat tangan tak ada lagi di tangan mereka, tapi tersimpan rapi di tempat tersembunyi di balik kostum Adidas yang biasa mereka kenakan. Mental prajurit yang selalu patuh pada komando sang jenderal mendorong mereka untuk menyasar medan tempur dengan klinis dan padu.
ADVERTISEMENT
Jerman juara Piala Dunia 1990. (Foto: STAFF/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jerman juara Piala Dunia 1990. (Foto: STAFF/AFP)
Permainan-permainan elegan dan cantik, yang menyenangkan para penonton seperti kepunyaan Andrea Pirlo, Diego Maradona, Garrincha, ataupun Ronaldinho menjadi kelangkaan dalam sepak bola Jerman. Di atas lapangan, mereka lebih memilih untuk tampil kokoh. Karena di medan perang, seni dan elegansi memang tak punya tempat. Sepak bola yang gahar ini mengantarkan Jerman merebut dua trofi Piala Dunia sebelum laga tahun 1990 itu.
Sejak kemenangan Jerman di Piala Dunia 1974, beban Belanda bertambah berat. Kekalahan mereka di laga puncak itu bahkan dikenal dengan sebutan 'The Mother of all Defeats' -ibu, induk dari segala kekalahan yang bisa ditanggung Belanda.
Rijkaard yang membawa embel-embel sejarah dan mengingat-ingat bahwa Italia merupakan tempat ia mencari nafkah, menanggung beban lebih. Ia pikir, tamatlah segala nama besarnya bila tak sanggup membantu Belanda memenangi pertandingan melawan Jerman.
ADVERTISEMENT
Bila saat itu isi kepalanya bisa dibedah, maka kita akan menemukan pengakuan bahwa Belanda memang belum bisa mengalahkan Jerman dalam urusan sepak bola. Belanda boleh mengagung-agungkan filosofi sepak bolanya yang lahir dari pemikiran para genius. Namun, bicara soal gelar juara dunia, sepak bola Jerman yang diwariskan oleh para pejuang perang itu jauh lebih digdaya.
Selayaknya orang frustasi, tindakan tak masuk akal sering menjadi muara. Psikolog asal Inggris, Aric Sigman, pun sepakat, apa-apa yang dilakukan Rijkaard di laga itu menunjukkan bahwa ia sedang dalam kondisi yang tak baik. Katanya, meludah seperti Rijkaard itu merupakan ekspresi paling gamblang yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami degradasi mental.
Keduanya berdamai. Bahkan sebelum kejadian meludah yang masyhur itu pun, Rijkaard dan Voeller sudah berteman, walau tak akrab. Kata Rijkaard, keduanya bertemu di Italia. Saat gelaran Piala Dunia 1990 berlangsung, Rijkaard tercatat sebagai pemain AC Milan, sementara Voeller sedang membela AS Roma.
ADVERTISEMENT
"Saya tak pernah bermaksud menghinanya. Saya selalu menaruh hormat pada Rudi Voeller. Namun, saya harus jujur, saya memang mengamuk dengan keputusan wasit. Seusai pertandingan, saya menemuinya dan berbicara empat mata. Saya minta maaf, dan saya sangat senang karena dia mau memaafkan saya."
"Sampai sekarang, saya tak punya prasangka apa pun tentang Rudi (Voeller). Bahkan kalian semua tahu, bertahun-tahun setelahnya, kami membintangi iklan yang lucu," seperti itu ungkapan Rijkaard dalam wawancaranya kepada Kuper.
Ya, begitulah, kekalahan yang tak terbalas memang tak jarang berbuah laku frustasi. Kekonyolan macam ini pada dasarnya bukan barang baru dalam sepak bola. Tak cuma dalam kompetisi akbar macam Piala Dunia, pertandingan persahabatan pun pada akhirnya sering gagal menjadi laga yang bersahabat karena kelakuan macam ini. Tapi, seperti itulah sepak bola. Segala hal tentangnya memang sering tak sesuai dengan akal sehat.
ADVERTISEMENT
Dan sebagai imbalan tindakan tak masuk akal tadi, Belanda menanggung ganjarannya. Mereka belum berhasil menjuarai Piala Dunia, sementara Jerman empat kali menjadi juara dunia.