news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Piala Dunia 1998: Dennis Bergkamp dan Gol yang Tak Sederhana

11 Mei 2018 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bergkamp merayakan gol di laga vs Argentina. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Bergkamp merayakan gol di laga vs Argentina. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
ADVERTISEMENT
Karena ruang selalu menjadi barang mewah untuk orang-orang Belanda, maka di atas lapangan bola, Dennis Bergkamp tak lagi tergagap untuk bertahan hidup dalam ruang yang sempit.
ADVERTISEMENT
4 Juli 1998, bertepatan dengan hari ulang tahun Amerika Serikat dan entah berapa juta manusia di Bumi, ribuan pasang mata takjub dengan gol yang dicetak Bergkamp ke gawang Argentina.
Hari itu Piala Dunia 1998 memasuki babak perempat final, Argentina dan Belanda menjadi dua tim yang saling berlawanan. Di Stade de Velodrome, Marseille, Prancis, mereka berebut satu tiket ke babak semifinal. Hingga dua menit menjelang waktu normal pertandingan berakhir, kedua tim membuktikan bahwa mereka sama kuat. Skor masih bertahan imbang 1-1.
Suporter kedua kesebelasan dan siapa pun yang menyaksikan pertandingan itu bukan orang-orang naif, mereka percaya bahwa laga bakal berlanjut hingga babak tambahan. Kali ini, babak adu penalti bahkan bukan menjadi kejadian yang mustahil terjadi.
ADVERTISEMENT
Di menit itu, Bergkamp ada di lini depan, tapi bola sedang tak ada di kakinya. Adalah sang kapten, Frank de Boer, yang menguasai bola di area bertahannya. Mengirimkan bola kepada Bergkamp sama dengan mengambil risiko. Bek tengah Argentina, Roberto Ayala, ketat menjaga Bergkamp.
Kalau bola harus dikirimkan ke Bergkamp, maka umpan lambung akurat menjadi satu-satunya cara. Itupun ada syaratnya, Bergkamp harus liat, licin melepaskan diri dari penjagaan lawan terlebih dahulu.
Sepak bola adalah perkara aneh. Seringkali, pembicaraan ‘intim’ terjadi tanpa kata-kata, tapi lewat kontak mata yang tak rakus memakan waktu: hanya sepersekian detik.
Itu pulalah yang terjadi antara De Boer dan Bergkamp. Mereka berbicara tanpa kata-kata. Entah latihan seperti apa yang dilakukan keduanya sehingga bisa saling memahami tanpa sepatah kata.
ADVERTISEMENT
Sandi apa pun yang dikirim De Boer kepada Bergkamp, yang jelas Bergkamp sadar bahwa kaptennya itu akan segera melepaskan umpan lambung padanya. Jaraknya cukup jauh, lebih dari 50 meter bila dihitung-hitung.
Ayala tak bisa mempertahankan kekangannya pada Bergkamp dalam waktu lama. Lawannya itu pada kenyataannya mampu membebaskan diri. Tak cuma bebas, kaki kanannya menjadi rumah singgah sementara bagi bola yang dikirimkan De Boer. Ayala sadar bahwa situasi genting sedang dialami timnya. Ia lantas berusaha merebut bola dari kaki sang lawan.
Di kalangan pesepak bola, Bergkamp adalah pria baik-baik, maka ia pun memperlakukan bola di kaki kanannya itu dengan baik. Masih dengan kaki kanannya, Bergkamp yang kala itu sudah berusia 29 tahun mengubah arah bola. Ayala ketiban sial, sentuhan kedua Bergkamp itu menipu Ayala.
ADVERTISEMENT
Ruang tembak yang didapat Bergkamp kepalang sempit. Namun, Timnas Belanda dipenuhi oleh orang-orang yang paham bagaimana caranya mengeksploitasi ruang. Luas atau sempitnya ruang bergantung pada benak.
Orang-orang Belanda terdidik untuk tak sekadar bertahan hidup, tapi hidup dengan kualitas yang baik, di atas ruang yang sempit. Kondisi alam memaksa mereka demikian. Hampir separuh tanahnya berada di bawah permukaan laut, sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.
Pelajaran itulah yang sebaik-baiknya diamalkan oleh Bergkamp di atas lapangan bola, termasuk dalam laga melawan Argentina ini. Ia sadar ia hanya punya waktu dan ruang yang sempit.
Bergkamp mengambil keputusan. Bola tadi ditendangnya dengan kaki kanan bagian luar. Bukan tindakan yang sia-sia, karena kiper Argentina saat itu, Carlos Roa, tak sanggup menghalau bola dan mengamankan gawangnya.
ADVERTISEMENT
Di menit 89, tembakannya membalikkan keadaan menjadi 2-1. Hanya dalam waktu 2,11 detik, ia berhasil menjungkirbalikkan ekspektasi orang-orang yang menolak menjadi naif. Bila 'sempurna' menjadi satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut Ruud Gullit saat menyaksikan gol tadi, maka pelatih Belanda saat itu, Guus Hidink, hanya bisa mengucapkan kata 'fantastis'.
Nick Hornby, penulis Inggris yang menelurkan The Fever Pitch dan tergila-gila pada Arsenal pernah bertanya satu hal menyoal Bergkamp. Katanya, "Apakah Bergkamp memiliki tiga kaki?"
Pertanyaan itu lantas dijawab oleh Simon Kuper yang juga seorang penulis lewat tulisannya untuk Financial Times yang berjudul 'No More Walking in a 'Burgcamp' Wonderland'. Menurut Kuper, apa yang dilakukan Bergkamp bukan perkara kekuatan fisik. Ia menyebut Bergkamp sebagai 'master of space', penguasa ruang, di atas lapangan bola.
ADVERTISEMENT
Bagi Kuper, Bergkamp ibarat sosok yang bisa menemukan dimensi lain. Permainannya di atas lapangan bola seperti membuktikan bahwa ia selalu bisa melihat ruang yang tidak kasatmata bagi pemain lain, termasuk oleh rekan-rekan setimnya sendiri.
"Itu seperti menyelesaikan sebuah puzzle," kata Bergkamp kepada Four Four Two International. "Di dalam kepala saya, selalu ada gambaran tentang apa yang bakal terjadi dalam dua atau tiga detik ke depan. Saya bisa menghitungnya dengan cermat. Ada kenikmatan luar biasa saat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain."
"Anda tidak akan pernah melakoni pertandingan yang sempurna. Namun, momen itu sendiri (saat mencetak gol ke gawang Argentina), saya pikir, adalah momen yang sempurna."
'Saya pikir' menjadi frasa kunci. Di momen itu, Bergkamp benar-benar berpikir. Dalam salah satu wawancaranya yang dilansir The Guardian, ia menjelaskan apa yang sebenarnya berkecamuk dalam pikirannya sesaat sebelum mencetak gol kemenangan Belanda tadi.
ADVERTISEMENT
Dennis Bergkamp dan rekan-rekan setimnya. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dennis Bergkamp dan rekan-rekan setimnya. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
"Umpan De Boer itu termasuk umpan yang kencang. Bolanya terlalu tinggi untuk kaki saya, tapi terlalu rendah untuk saya terima dengan dada. Jadi, saya harus bergerak ke kiri dan sedikit melompat sehingga saya dapat menerimanya dengan kepala. Namun, saya melihat dengan ekor mata saya bahwa Kluivert sedang berlari di dekat Chamot."
"Jika saya menyundul bola tadi kepadanya yang notabene diapit oleh (Roberto) Sensini dan (Jose) Chamot, maka kontrol bolanya akan menjadi terlalu sulit. Terlebih, tidak ada ruang yang cukup, jaraknya dengan Sensini terlalu rapat. Apalagi, Sensini sedang berlari ke arah saya karena Ayala sudah hendak bersiap menggagalkan aksi De Boer.
"Kalau saya menggunakan kepala, maka tembakannya akan lebih pelan, jadi saya memilih untuk menggunakan kaki. Kalaupun tembakan itu keluar, saya pikir (Patrick) Kluivert juga dapat menyambar dan menyelesaikannya dengan lebih mudah."
ADVERTISEMENT
Tendangan tadi bukan tendangan sporadis. Ia tidak lahir tanpa pemikiran matang, tidak muncul dari frustrasi akibat kepungan lawan. Bergkamp, dalam waktu yang kepalang singkat itu benar-benar berpikir. Ia menafsir ruang, menghitung kemungkinan, dan mengambil keputusan.
Tak ada pertaruhan, segala sesuatunya hadir sebagai buah dari pemikiran yang sempurna. Bergkamp lantas menganggap gol ke gawang Argentina tadi sebagai gol terbaik yang pernah ia buat di sepanjang kariernya sebagai pesepak bola.
Di kalangan teman-temannya, Bergkamp dikenal sebagai orang yang selalu mengupayakan kesempurnaan. Patrick Vieira pernah menjelaskan, dalam latihan saja, segala sesuatunya harus sempurna. Untuk setiap hal, bahkan yang terkecil sekalipun, Bergkamp harus menuntaskannya dengan sempurna.
Itulah sebabnya, jangan heran bila melihat lemari pakaian Bergkamp yang tertata dengan begitu rapi. Ia sendiri pula yang menjadi aktor di balik kerapian lemari itu. Amy Lawrence, penulis sepak bola untuk The Guardian, bahkan pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, seketat apa kaus kaki Bergkamp yang dipakainya dalam sesi wawancara tahun 2003.
ADVERTISEMENT
Seperti apa Bergkamp memanfaatkan ruang dengan sempurna juga tergambar jelas dari gol ajaibnya ke gawang Newcastle United pada tahun 2002. Saat pertandingan baru berlangsung selama 10 menit, Robert Pires yang diadang oleh dua pemain Newcastle mengirimkan umpan kepada Bergkamp. Sekilas, umpan itu tidak akan berbuah gol. Biasa saja, mendatar, dan tak kencang.
Namun, umpan biasa pun cukup untuk Bergkamp. Sesaat sebelum Pires melepaskan umpan, Bergkamp mengangkat tangan kanannya. Seperti tanda seorang murid yang siap menjawab pertanyaan guru, ia pun siap menerima umpan Pires.
Di pertandingan ini, kesiapan Bergkamp berarti kesanggupan untuk mencetak gol karena ia sudah memiliki cara untuk melepaskan diri dari tiga pemain Newcastle yang mengepungnya.
ADVERTISEMENT
Sambil berputar sehingga posisinya membelakangi bek Newcastle, Nikos Dabizas, Bergkamp menerima bola tadi dan melakukan sentuhan kecil dengan kaki kirinya supaya bola melintas di sisi kanan lawan. Begitu sentuhannya tadi berhasil mendorong bola sedikit melewati jangkauan bek, sepakan mendatarnya dengan kaki kanan menjadi awal dari keunggulan pertama Arsenal di menit 11.
"Pertama, saya menerima bola dari Robert (Pires). Tapi, bola itu terlalu ke belakang, sehingga saya harus memutar badan demi mengontrol bola tadi dan menjaganya dari bek yang siap merebut."
"Begitu bola tadi berhasil saya dorong sedikit melebihi jangkauan pertama bek, saya berpikir, tugas selanjutnya adalah menipu kiper. Jadi, saya berlari, dan menyepak bola tadi dengan kaki kanan dengan arah yang sedikit melebar. Dan itu membuat kiper benar-benar salah langkah," seperti itu Bergkamp menjelaskan proses gol tadi.
ADVERTISEMENT
Bergkamp adalah antinomi dari dunia sepak bola yang begitu memuja permainan cantik dan trik-trik yang membelalakkan mata. Baginya, sepak bola adalah tentang sentuhan pertama, kontrol, dan umpan. Ia seperti ekonom yang menghidupi sepak bola, akademisi yang menolak untuk menulis jurnal dengan kalimat berbunga-bunga. Semuanya serba lugas, serba tepat guna.
Di Piala Dunia 1998 itu, Belanda memang gagal juara. Mereka bahkan hanya mampu menduduki peringkat keempat. Namun, kalah-menang adalah satu soal, dan gol Bergkamp adalah persoalan lain. Di pertandingan itu, di hadapan pemain-pemain Argentina, di Kota Marseille, Bergkamp membuktikan bahwa selalu ada pemikiran di balik setiap tembakan.